Fatherless Kian Populer, Buah Kehidupan Kapitalistik Sekuler
Oleh: Pudji Arijanti
(Pegiat Literasi untuk Peradaban)
SSCQMedia.Com—Inilah yang terjadi saat ini: jutaan anak Indonesia mengalami fatherless, yakni ketiadaan peran ayah baik secara biologis maupun psikis. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai riset dan pemberitaan menunjukkan meningkatnya jumlah anak yang tumbuh tanpa figur ayah yang kuat.
Fenomena ini tentu tidak terjadi tanpa sebab. Ada faktor-faktor yang memengaruhinya, yakni buah dari diterapkannya sistem kapitalisme sekuler yang menyingkirkan nilai-nilai keluarga dan melemahkan peran ayah dalam kehidupan anak. Hal ini tidak dapat dipungkiri; akibatnya, banyak anak tumbuh tanpa bimbingan dan keteladanan yang pada akhirnya berdampak pada pembentukan karakter dan stabilitas emosional mereka.
Respons masyarakat pun bermunculan. Baik mereka yang mengalami langsung maupun para ahli, banyak yang menyoroti dampak sosial dan psikologis dari maraknya fenomena fatherless ini. Menurut laporan Kompas (10/10/2025), fenomena ini bahkan mulai dianggap sebagai isu sosial yang perlu mendapat perhatian serius karena berkaitan erat dengan masa depan generasi bangsa.
Jika ditelusuri lebih dalam, fatherless tidak dapat dilepaskan dari gaya hidup masyarakat modern yang dibentuk oleh sistem kapitalistik. Banyak ayah terseret dalam arus kesibukan mencari nafkah demi memenuhi tuntutan ekonomi yang terus meningkat. Akibatnya, peran mereka sebagai pendidik dan pembimbing anak menjadi terabaikan. Dalam sistem kapitalisme, ukuran keberhasilan hidup ditentukan oleh materi, bukan oleh kualitas keluarga. Karena itu, kehadiran ayah di rumah sering kali digantikan oleh uang dan fasilitas.
Sistem ini telah menjerat para ayah dalam lingkaran produktivitas tanpa akhir. Mereka dituntut untuk terus bekerja, bahkan rela kehilangan waktu berharga bersama anak dan keluarga. Padahal, dalam Islam, ayah memiliki fungsi qawwam, yaitu pemimpin, pelindung, dan penanggung jawab bagi keluarganya. Ketika fungsi ini hilang, rumah tangga kehilangan arah, dan anak-anak tumbuh tanpa sosok pemimpin moral. Dengan demikian, jelaslah bahwa problem fatherless bukan sekadar urusan domestik, melainkan buah dari sistem hidup yang menjauhkan manusia dari nilai-nilai Islam yang menempatkan ayah sebagai penjaga keluarga dan penopang peradaban.
Islam memiliki pandangan yang komprehensif terhadap peran keluarga. Dalam Islam, ayah dan ibu memiliki fungsi penting yang saling melengkapi. Ayah berperan sebagai pemberi nafkah sekaligus teladan dalam pendidikan anak, sebagaimana dicontohkan dalam kisah Luqman yang menasihati anaknya dengan penuh hikmah. Sementara itu, ibu berperan dalam mengasuh, menyusui, serta mengatur urusan rumah tangga agar tercipta lingkungan yang penuh kasih dan ketenangan (sakinah).
Selain itu, sistem Islam memastikan bahwa peran ayah tidak tergantikan oleh tekanan ekonomi. Negara dalam sistem Islam akan hadir untuk menyediakan lapangan kerja yang memadai, memberikan upah yang layak, serta menjamin kebutuhan dasar rakyat. Dengan demikian, ayah tidak harus mengorbankan waktu kebersamaan dengan anak demi mencari nafkah. Sebaliknya, mereka dapat menjalankan fungsinya sebagai pendidik dan teladan utama bagi anak-anaknya.
Negara dalam sistem Islam bukan hanya mengatur ekonomi, tetapi juga berperan menjaga ketahanan keluarga. Melalui kebijakan yang adil, negara memastikan setiap keluarga mendapatkan dukungan yang cukup untuk menjalankan fungsinya. Di samping itu, sistem perwalian dalam Islam menjamin bahwa setiap anak akan tetap memiliki figur ayah atau wali yang bertanggung jawab atas dirinya. Hal ini membuat tidak ada anak yang tumbuh tanpa sosok pelindung sebagaimana yang banyak terjadi dalam sistem sekuler saat ini.
Fenomena fatherless sejatinya bukan hanya masalah keluarga, melainkan cerminan rusaknya sistem kehidupan yang menyingkirkan agama dan menuhankan materi. Selama kapitalisme sekuler masih menjadi dasar tatanan sosial, para ayah akan terus kehilangan jati diri, keluarga akan rapuh, dan generasi akan tumbuh tanpa arah.
Islam menawarkan jalan yang berbeda. Ia menempatkan keluarga sebagai pilar utama peradaban, memberi peran terhormat bagi ayah dan ibu, serta menghadirkan negara yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. Dengan penerapan sistem Islam secara kafah, peran ayah sebagai qawwam dapat kembali tegak, keluarga menjadi kuat, dan generasi tumbuh dalam suasana penuh cinta, ketaatan kepada Rabb-nya, serta tanggung jawab sebagai manusia seutuhnya.
Diperlukan perubahan sistemik yang mampu membangun tatanan kehidupan keluarga, masyarakat, dan negara di atas asas akidah Islam. Hanya dengan cara inilah problem fatherless dapat diselesaikan dari akarnya, sehingga melahirkan peradaban yang kokoh dan berkeadilan. Namun demikian, semua itu akan terwujud jika sistem Khilafah telah hadir.
Untuk itu, marilah kita perjuangkan bersama agar sistem kehidupan yang diridai Allah Swt. ini kembali tegak. Wallahualam bissawab. [Ni]
Baca juga:
0 Comments: