Oleh. Ummu Fahhala, S.Pd.
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Kehadiran di media sosial tidak selalu berarti hadirnya kehangatan. Seseorang bisa terlihat aktif di TikTok, Instagram, atau Twitter, tetapi tetap larut dalam sepi. Penelitian mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY membuktikan hal itu. Dalam riset berjudul “Loneliness in the Crowd”, mereka menemukan banyak orang merasakan kesepian di tengah keramaian dunia digital. (Detik, 19/9/2025)
Menurut teori hiperrealitas, representasi digital sering dianggap lebih nyata daripada kenyataan. Emosi yang terbentuk dari konten audiovisual dapat memengaruhi kesehatan mental dan hubungan sosial seseorang. Dunia maya tampak riuh, tetapi jiwa justru kian sunyi.
Fenomena ini menunjukkan paradoks zaman. Media sosial yang menjanjikan keterhubungan justru melahirkan keterasingan. Penulis melihat akar persoalan tidak sekadar kurangnya literasi digital atau lemahnya manajemen gawai. Masalah ini terkait dengan sistem besar yang membentuk pola pikir dan gaya hidup masyarakat.
Pengamat media, Pompy Syaiful, menyatakan banyak remaja menderita gangguan mental akibat media sosial. Mereka mengalami depresi, cemas, bahkan minder. Semua itu muncul karena terus-menerus membandingkan diri dengan konten pamer kekayaan, kesuksesan, atau gaya hidup yang jauh dari jangkauan mereka. “Ini menyebabkan depresi,” tegasnya. (Khilafah News, 7/6/2023)
Akar Ideologis Kesepian
Lebih jauh, masyarakat di era digital hanyut dalam arus kapitalisme. Media sosial dikuasai algoritma dan industri. Konten disusun untuk menjerat perhatian, lalu diarahkan pada iklan, promosi, dan konsumsi. Tiket konser, produk baru, hingga gaya hidup instan didesain untuk menimbulkan rasa takut tertinggal. Akibatnya, jiwa anak muda terus cemas dan terikat pada dunia maya.
Kapitalisme tidak sekadar membentuk budaya konsumtif, ia juga merusak relasi sosial. Pola komunikasi keluarga menjadi renggang. Seseorang lebih banyak berbicara dengan layar daripada dengan sesama. Padahal, potensi besar generasi muda seharusnya bisa menghasilkan karya produktif. Tetapi kini, energi mereka terkuras pada konten yang melelahkan batin.
Pompy menegaskan, media sosial itu ibarat pisau bermata dua: bisa positif, bisa negatif. Jika diarahkan pada kebaikan, ia bermanfaat. Namun, jika dibiarkan, ia menjerumuskan. Algoritma bubble membuat orang hanya terpapar konten sesuai minatnya. Akhirnya, ia terjebak dalam ruang sempit, sulit menerima realitas berbeda, dan makin asosial.
Kondisi ini berbahaya. Masyarakat yang terperangkap dalam kesepian massal akan lemah. Rasa peduli terhadap persoalan umat pun memudar. Bagaimana mungkin generasi muda yang diliputi depresi dan rasa hampa mampu memikul tanggung jawab besar untuk memperbaiki masyarakat?
Islam Menawarkan Jalan Keluar
Islam melihat media sosial bukan sekadar alat, tetapi sarana yang harus diarahkan pada kebaikan. Rasulullah saw. bersabda:
“Imam adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas mereka.”
(HR. Bukhari-Muslim)
Negara dalam Islam tidak boleh membiarkan media menjadi alat kerusakan. Ia wajib mengarahkan penggunaannya agar mendidik, menenangkan jiwa, dan mempererat ukhuwah.
Islam juga memandang pendidikan dan pekerjaan sebagai bagian dari ibadah. Setiap aktivitas dibingkai dengan iman, sehingga tidak lahir sekadar generasi pengguna, tetapi generasi pembawa risalah. Konten media diarahkan untuk dakwah, membangun karakter, dan menghidupkan kesadaran umat.
Dr. Fika Komara dari IMuNe menegaskan, Khilafah akan melawan dominasi buruk media sosial dengan menciptakan jaringan, aplikasi, dan perangkat lunak buatan umat Islam sendiri. Komunikasi elektronik tidak boleh dimonopoli perusahaan asing. Teknologi diarahkan untuk dakwah Islam sebagai rahmatan lil ’alamin, bukan alat kapitalisme yang menjerat jiwa.
Negara Islam tidak akan memata-matai rakyatnya seperti rezim sekuler-liberal hari ini. Ia justru melindungi rakyat, menguatkan mental mereka, dan menyalurkan energi generasi muda ke arah produktif. Dengan begitu, umat tidak lagi menjadi korban kesepian di tengah keramaian. Sebaliknya, mereka menjadi pelopor peradaban yang menebar kebaikan. [My]
Baca juga:

0 Comments: