Headlines
Loading...

Oleh. Ummu Fahhala, S.Pd.
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com — Fenomena job hugging kini melanda kaum muda. Di Indonesia maupun Amerika, semakin banyak anak muda bertahan di pekerjaan yang tidak lagi mereka cintai. Hal ini disebabkan ekonomi yang lesu, meningkatnya PHK, pasar kerja yang tak bergairah, serta perusahaan yang tak mampu memberi kinerja optimal.

Guru Besar UGM, Prof. Eko Suwardi, menyebut tren ini lahir dari ketidakpastian pasar kerja. Para lulusan perguruan tinggi memilih bertahan di pekerjaan yang membosankan demi keamanan finansial. Lebih baik asal bekerja daripada menjadi pengangguran intelektual.
(Kompas.com, 19/9/2025)

Fenomena ini bukan sekadar cerita kantor, melainkan cermin getir kegagalan sistem. Media CNBC Indonesia melaporkan banyak karyawan memilih bertahan meski batin mereka merana. Job hugging hanyalah bentuk cari aman di tengah ketidakpastian.
(CNBCIndonesia.com, 19/9/2025)

Kondisi ini menegaskan satu hal, yaitu sistem yang berjalan hari ini tidak memberi jaminan atas pekerjaan yang layak. Kapitalisme global hanya menyodorkan pilihan pahit: tetap bekerja tanpa semangat atau menganggur tanpa penghasilan.

Kapitalisme Akar Masalah

Mengapa job hugging semakin meluas? Jawabannya jelas, kapitalisme global gagal menjamin pekerjaan bagi rakyat. Negara menyerahkan tanggung jawabnya kepada swasta. Sumber daya alam maupun manusia jatuh ke tangan segelintir kapitalis. Ekonomi lebih banyak digerakkan praktik nonriil dan ribawi yang minim penyerapan tenaga kerja.

Lebih jauh, liberalisasi perdagangan membuat negara lepas tangan. Kurikulum pendidikan tinggi diarahkan agar “adaptif” dengan dunia kerja. Namun pada praktiknya, pekerjaan tetap sulit. Generasi terdidik pun banyak yang menganggur.

Bank swasta seperti BCA bahkan mengambil alih peran negara. Mereka melatih dan memberi program beasiswa kepada Gen Z agar siap menyambut 2045.
(Kompas.com, 16/11/2025)
Data BPS 2023 menunjukkan, 22 persen dari 44 juta Gen Z akan menganggur. Program pelatihan memang ada, tetapi apakah cukup? Faktanya, pengangguran tetap tinggi meski keterampilan mereka mumpuni.

Fenomena ini menyingkap wajah asli kapitalisme yang menjadikan negara abai, rakyat sengsara. UU Cipta Kerja yang digadang-gadang mampu membuka lapangan kerja justru gagal. Data BPS membuktikan, sejak 2014 hingga 2024, penyerapan tenaga kerja formal menurun drastis.

Program Kartu Prakerja pun tak memberi hasil. Alih-alih menekan angka pengangguran, jumlah pengangguran Gen Z justru mencapai 9,9 juta orang pada 2025. Banyak dari mereka akhirnya bekerja ke luar negeri. Tak jarang, janji manis agen ilegal berakhir dengan penderitaan.

Inilah bukti telanjang bahwa kapitalisme bukan sekadar cacat teknis, melainkan sistem yang menelantarkan manusia. Ia membiarkan rakyat mencari hidup di negeri orang, tanpa perlindungan, bahkan sering menjadi korban eksploitasi.

Solusi Islam yang Hakiki

Islam menawarkan solusi menyeluruh. Rasulullah saw. menegaskan:

“Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.”
(HR. Bukhari-Muslim)

Negara dalam Islam wajib memastikan rakyat terpenuhi kebutuhan pokoknya, termasuk pekerjaan.

Khilafah menata kepemilikan dengan adil. SDA dikelola negara, bukan korporasi. Negara membuka lapangan kerja melalui industrialisasi, pengelolaan tanah mati (ihya’ al-mawat), hingga pemberian modal dan keterampilan. Dalam Muqaddimah Dustur karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, pasal 153 menegaskan kewajiban negara menyediakan pekerjaan bagi setiap laki-laki yang mampu bekerja.

Dalam Islam, bekerja bukan sekadar mencari uang, melainkan terikat ruh ibadah. Setiap aktivitas tunduk pada halal dan haram. Pendidikan pun diarahkan untuk mencetak SDM unggul yang beriman, bukan sekadar siap pasar.

Islam membiayai pengelolaan negara melalui baitulmal. Sumbernya jelas: zakat, kharaj, fai, usyur, hingga pengelolaan kepemilikan umum seperti tambang dan hutan. Jika baitulmal kosong, barulah negara menarik pajak temporer. Tidak seperti kapitalisme yang menjadikan pajak beban abadi rakyat.

Dengan sistem ini, roda ekonomi bergerak sehat. Pekerjaan tersedia luas. Pengangguran terurai. Rakyat hidup sejahtera, bukan sekadar selamat.

Islam bukan utopia. Ia nyata diterapkan pada masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin, ketika negara menjamin pekerjaan, melindungi rakyat, dan menjaga martabat mereka.

Wallahualam bissawab.
[ry]


Baca juga:

0 Comments: