Headlines
Loading...
Tanah Rakyat Dirampas, Para Kapitalis Tertawa Bebas

Tanah Rakyat Dirampas, Para Kapitalis Tertawa Bebas

Oleh. Mardotillah 
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021. Dan ini ditegaskan langsung oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) bahwa tanah yang dibiarkan tidak digunakan atau tanah telantar selama dua tahun berpotensi diambil alih negara.

Dan yang bisa dianggap sebagai objek tanah telantar yang sesuai dengan hukum pertanahan di Indonesia itu terdiri dari hak milik, hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha (HGU), hak pengelolaan (HPL), dan hak pakai. Bagi pemilik lahan HGU dan HGB wajib melampirkan proposal usaha, rencana bisnis, hingga studi kelayakan saat pendaftaran. 

Sengaja tidak digunakan atau dimanfaatkan lahan yang berstatus tanah hak milik, maka menurut hukum pertanahan di Indonesia tanah ini bisa ditetapkan sebagai tanah telantar dan pihak lain boleh mengklaim atau mengambilnya. Dan status tanah akan berubah menjadi permukiman, selama 20 tahun tanpa sepengetahuan pemilik atau tanpa hubungan hukum. Akibatnya muncullah konflik lahan yang tidak berkesudahan karena tanah hak milik bisa jadi tanah telantar, lahan yang dianggap sebagai tanah kosong. 

Adapun seperti pekarangan atau rumah warisan, ini termasuk tanah hak milik yang  tidak masuk kategori tanah telantar karena umumnya bersifat turun-temurun,  kepemilikan jelas, warga juga tahu pemiliknya dan sudah ada sertifikat tanah. 

Kapitalisme Menjadikan Tanah sebagai Komoditas 

Sungguh sangat manis di mulut, tapi sangat pahit di kenyataan. Inilah ungkapan yang bisa kita berikan dengan berita tentang aturan tanah telantar yang diambil oleh negara. Dan ini tidak terlepas dari pengurusan dan pengelolaan tanah yang ada dalam sistem kapitalisme. 

Bagi pemerintah bukanlah masalah yang besar kalau berkaitan dengan kekuasaan dan keuntungan. Mereka bisa mengorbankan rakyatnya untuk mencapai tujuannya. Bukan untuk kesejahteraan rakyat, tapi kesejahteraan para elit oligarki dan para kapital tentunya. Dan itu sudah cukup terbukti bagaimana rakyat menderita atas nama aturan yang dibuat untuk kebaikan bersama. Banyak tanah rakyat dirampas secara paksa tanpa ada negosiasi yang baik, dan ganti rugi yang baik juga.

Proyek Strategis Negara (PSN) contohnya, tanah rakyat dan hutan adat  yang jadi korban atas nama negara. Sebenarnya ini bukan untuk negara, legalitasnya saja yang  seolah-olah diatur negara, tapi pelaksana dan sumbernya dari para pengusaha (swasta). Dan tentu lagi-lagi rakyat yang jadi menderita, banyak rakyat yang kehilangan tempat tinggal, tempat mencari nafkah, lahan perkebunan, dan lahan sawahnya. Tapi bagi pemerintah ini bukanlah masalah.

Masih hangat juga dalam ingatan kita bagaimana perlakuan pemerintah terhadap warga Rempang Eco-City atau proyek pembangunan Bendungan Bener di Desa Wadas. Pemerintah mengklaim bahwa tanah tersebut adalah tanah milik negara, dan diperkuat dengan alasan demi kepentingan umum. Sebenarnya ini dilakukan biar tidak tampak sebagai perampasan. 

Negara memberikan hak guna atau konsesi kepada perusahaan biar tidak dipermasalahkan nantinya. Bukannya melindungi dan mengayomi rakyat, negara malah bekerja dengan perusahaan-perusahaan dengan memanfaatkan kurangnya pengetahuan masyarakat dan lemahnya bukti kepemilikan rakyat atas tanah sebagai argumentasi. Tidak hanya itu rakyat juga sangat rentan jadi korban mafia tanah karena kacaunya sistem administrasi. 

Anehnya lagi, dengan kebijakan tanah rakyat diambil alih oleh negara karena tidak digunakan atau dimanfaatkan, tapi faktanya banyak tanah milik negara yang tidak diolah. Bahkan  pemerintah malah banyak menjual tanah negara ke asing atas nama investasi untuk kesejahteraan rakyat. Bukannya dengan menjual tanah milik negara malah mempermudah asing untuk menjajah kekayaan alam. Negara yang dikenal sebagai negara yang kaya akan SDA tapi rakyatnya malah banyak yang miskin, pengangguran, dan kelaparan juga. 

Lagi-lagi karena kebijakan dari pemerintah yang seenak jidatnya buat aturan untuk mempermudah asing dan memperkaya dirinya. 

Pengolahan Tanah dalam Islam 

Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan manusia. Kepemilikan lahan sedari awal dalam hukum Islam telah diklasifikasikan dengan jelas, yakni milik umum, milik pribadi, dan milik negara. Islam pun telah memberikan perlindungan yang jelas atas kepemilikan lahan ini. 

Dalam Daulah Islam pengelolaan kepemilikan umum dan kepemilikan negara mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk menyejahterakan masyarakatnya. Ini terlihat dari sikap para penguasa dalam Islam yang sangat memperhatikan kesejahteraan masyarakat yang tinggal dalam daulah. Dalam kisah penguasa Umar Bin Abdul Aziz, Islam di masa kekhilafahan Bani Umayyah yang tidak ada orang yang mau menerima harta zakat.

Dalam Daulah Islam, harta milik umum itu diolah oleh negara dan dikembalikan lagi ke masyarakatnya secara penuh. Harta milik umum baik itu berupa hasil hutan, hasil bumi, atau hasil lautnya, semuanya diolah lalu dikembalikan kepada masyarakatnya. Lalu negara mengembalikannya dalam bentuk pembangunan infrastruktur, bangunan, jalanan, sekolahan, rumah sakit, fasilitas umum, dll. Bahkan dalam pengelolaannya pun diatur oleh dalam Islam. Wilayah yang boleh diambil dan tidak boleh diambil hasil buminya. Tidak boleh diekspor secara besar-besaran, jauh dari pemukiman masyarakat dan tidak boleh menimbulkan kerugian masyarakat. Dan yang terpenting bukan pihak swasta yang mengelolanya, tapi benar-benar pihak negara yang turun langsung untuk mengelolanya. Bahkan dalam Daulah Islam, pihak swasta dilarang keras untuk ikut serta dalam mengolah harta milik negara dan umum.

Begitu pengaturan harta kepemilikan dalam Islam yang memang sangat detail untuk mengatur harta kepemilikan ini. Berbeda sekali dengan pengaturan harta kepemilikan dalam sistem kapitalisme saat ini, yang hanya mengorbankan hak rakyatnya. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: