Pesta Gay, Lonceng Bahaya Sekularisme
Acara ini dikemas dalam label family gathering, dipungut biaya Rp200.000, dan diisi kontes lipsync, dancing, hingga singing. Namun, jelas bahwa isinya bukan ajang silaturahmi, melainkan tempat memuaskan syahwat menyimpang. Mirisnya, dari hasil pemeriksaan Dinas Kesehatan Bogor, 30 orang dinyatakan reaktif HIV dan sifilis (news.detik.com, 24/5/2025).
Ini bukan angka kecil. Ini merupakan bukti bahwa penyimpangan seksual, terutama homoseksualitas, adalah jalur utama penularan penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang mematikan. Bahkan, WHO menyebut kaum homoseksual sebagai kelompok paling berisiko dalam epidemi HIV global.
Ironisnya, meski fakta medis mengerikan terpampang jelas, gaya hidup ini justru seolah makin ditoleransi. Dalam penggerebekan tersebut, polisi memang menyita alat kontrasepsi dan obat-obatan. Namun, para peserta pesta dipulangkan begitu saja tanpa hukuman yang jelas dan tegas.
Sebagaimana diberitakan pusiknas.polri.go.id (30/6/2025), hanya empat panitia yang diperiksa, dan itu pun hanya dijerat dengan UU Pornografi serta Pasal 296 KUHP. Tidak ada satu pun pelaku penyimpangan seksual yang diproses secara hukum.
Negara terlihat gamang, bahkan tunduk pada jargon kebebasan dan hak asasi manusia. Atas nama liberalisme, hubungan sesama jenis tidak dianggap sebagai kejahatan, melainkan sekadar penyimpangan orientasi seksual. Inilah wajah nyata sistem sekularisme yang menjauhkan agama dari kehidupan dan membiarkan kerusakan merajalela.
Kasus ini bukan yang pertama. Pada awal Februari 2025, pesta serupa juga digerebek di sebuah hotel di kawasan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Sebanyak 56 pria terjaring. Maka, apa yang terungkap di publik sangat mungkin hanyalah puncak gunung es dari praktik homoseksual yang lebih luas, terselubung, dan dilindungi sistem.
Fenomena ini semestinya bukan sekadar kriminalitas biasa, tetapi kriminalitas dahsyat yang merupakan gejala kronis dari kerusakan sistemik. Yakni sistem kapitalisme penjaga paham sekularisme-liberalisme yang telah gagal menjaga moral, kesehatan, dan generasi. Negara telah gagal dalam menetapkan standar benar dan salah karena menjauhkan wahyu dari hukum serta kebijakan. Akibatnya, gaya hidup sesat ini dibiarkan menjalar dan tumbuh subur, sekalipun mengundang penyakit mematikan.
Islam tidak hanya mencela hubungan homoseksual (liwath) sebagai dosa besar, tetapi juga menetapkannya sebagai kejahatan yang merusak tatanan masyarakat. Islam hadir bukan sekadar untuk mengobati, melainkan untuk mencegah dan melindungi umat dari akar kehancuran moral dan sosial.
Upaya Islam menciptakan masyarakat yang bersih dari penyimpangan seksual dilakukan secara menyeluruh. Mulai dari pendidikan Islam sejak dini yang menanamkan fitrah seksual yang lurus dan ketakwaan kepada Allah, pengawasan media dan ruang publik agar tidak menjadi sarana promosi gaya hidup sesat, hingga penerapan sanksi syar‘i yang tegas terhadap pelaku liwath guna menjaga kemuliaan umat.
Pendapat kuat menyatakan bahwa dalam Islam, pelaku liwath dihukum mati, sebagaimana yang dilakukan Khalifah Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib r.a. Ini bukan bentuk kekejaman, melainkan penjagaan terhadap masyarakat dari penyimpangan yang menghancurkan akal, fisik, dan ruh.
Laksana bom waktu yang akan menghancurkan umat, pesta gay dan menyebarnya wabah infeksi menular seksual (IMS) adalah lonceng bahaya dari penerapan sekularisme. Untuk mencegahnya, sudah saatnya negeri ini kembali kepada syariat Islam secara kaffah di bawah naungan Khilafah. Hanya Islam yang mampu menghentikan arus kehancuran ini. [Ni]
Baca juga:

0 Comments: