KBC: Transformasi Humanis vs Sekularisasi Pendidikan Islam
Oleh. Aqila Fahru
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Kementerian Agama Republik Indonesia secara resmi meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai wajah baru pendidikan Islam yang diklaim lebih humanis, inklusif, dan spiritual. Menteri Agama Prof. Nasaruddin Umar menyebut KBC sebagai langkah transformasi besar dalam ekosistem pendidikan nasional, yang hadir sebagai respons terhadap krisis kemanusiaan, meningkatnya intoleransi, dan kerusakan lingkungan yang makin mengkhawatirkan.
KBC dibangun di atas lima nilai utama yang disebut Panca Cinta: cinta kepada Tuhan, cinta kepada sesama, cinta kepada ilmu, cinta kepada lingkungan, dan cinta kepada bangsa. Nilai-nilai ini diintegrasikan ke seluruh mata pelajaran, tidak hanya dalam pendidikan agama. Tujuannya adalah membentuk generasi yang peduli, toleran, dan matang secara spiritual.
Menurut Prof. Nurhayati, Rektor UIN Sumatera Utara, KBC adalah kebutuhan mendesak dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan hari ini terlalu berorientasi pada capaian akademik dan hafalan, sementara empati, kepedulian sosial, dan penghormatan terhadap sesama mulai terpinggirkan.
KBC juga memberi ruang bagi pembaruan pendidikan agama. Ia mendorong lahirnya generasi yang taat beragama sekaligus toleran terhadap perbedaan. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, pendekatan ini sangat relevan dan strategis untuk membangun harmoni sosial yang berkelanjutan (Antara News, 25/07/2025).
Sekilas, gagasan ini tampak menjanjikan. Namun, di balik narasi cinta yang terdengar lembut, terdapat kekhawatiran serius yang perlu dikritisi secara mendalam. KBC berpotensi menjadi instrumen deradikalisasi dini yang justru menyasar generasi Muslim yang ingin menjalankan Islam secara kāffah. Mereka yang berpegang teguh pada syariat Islam sering kali diberi label radikal, ekstrem, bahkan dipersekusi. Pengajian dibubarkan, dakwah dibatasi, dan ekspresi keimanan yang kuat dianggap ancaman.
Sebaliknya, pendekatan terhadap non-Muslim dalam kurikulum ini justru sangat lunak dan akomodatif. Rumah ibadah mereka dijaga, hari raya dirayakan bersama, dan sikap santun ditonjolkan secara berlebihan. Sementara sesama Muslim yang berbeda pandangan justru diperlakukan dengan keras dan penuh kecurigaan. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam penerapan nilai cinta yang seharusnya adil dan proporsional.
Lebih jauh, KBC tampak berakar pada prinsip sekularisme, yakni akal dijadikan sumber hukum dan penentu nilai, bukan wahyu. Dari sudut pandang Islam, sekularisme merupakan ide yang batil karena memisahkan agama dari kehidupan. Seharusnya, pendidikan didasarkan dan dibangun di atas fondasi akidah Islam, bukan pada nilai-nilai humanisme sekuler yang menjauhkan generasi dari syariat Allah.
Akidah adalah fondasi kehidupan seorang Muslim, dan negara memiliki kewajiban untuk menjaga akidah rakyatnya, termasuk melalui sistem pendidikan. Ketika akidah menjadi dasar kurikulum, generasi akan tumbuh dengan ketaatan total kepada syariat, mampu menyelesaikan persoalan hidup dengan tuntunan wahyu, bukan semata logika manusia.
Maka, meskipun KBC dikemas dengan narasi cinta dan kemanusiaan, umat Islam perlu waspada terhadap arah ideologis yang dibawanya. Pendidikan adalah medan strategis dalam membentuk masa depan bangsa. Jika kurikulum tidak berlandaskan akidah Islam, generasi yang lahir bukan hanya kehilangan jati diri, tetapi juga rentan terhadap arus pemikiran yang menjauhkan mereka dari Islam sebagai sistem hidup yang sempurna. [An]
Baca juga:
0 Comments: