Headlines
Loading...
Kapitalisme: Mesin Pencetak Kemiskinan Paling Tokcer

Kapitalisme: Mesin Pencetak Kemiskinan Paling Tokcer


Oleh. Ummu Arrosyidah
(Kontributor SSCQMedia.com)

SSCQMedia.com—Tahniah! Badan Pusat Statistik (BPS) mengabarkan bahwa angka kemiskinan turun menjadi 8,47 persen pada Maret 2025. Namun, turunnya angka kemiskinan tersebut dinilai tidak menggambarkan adanya perbaikan angka kesejahteraan.

Kesejahteraan masih menjadi impian mayoritas masyarakat negeri ini. Hal ini tergambar dari kebutuhan papan, pangan, dan sandang—yang merupakan kebutuhan pokok—namun masyarakat belum mampu memenuhinya secara layak.

Kita bisa melihat aura kemiskinan masih menggelayuti sudut-sudut kota. Rumah-rumah bedeng dengan dinding papan dan atap seng seadanya berdesakan satu dengan yang lain. Tumbuh bak jamur di musim hujan.

Jumlah anak dengan tubuh "cungkring" makin menggemuk (maksudnya, jumlah anak dengan tubuh kurus semakin banyak). Orang tua mereka tak mampu memenuhi kebutuhan nutrisi mereka. Jangankan makan bergizi, bisa membeli beras setiap hari saja mereka kesulitan.

 Meski para bapak telah memeras keringat untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah, namun biaya hidup terlalu rakus menggerogoti dompet mereka. Belum lagi bicara tsunami PHK dan tingginya pengangguran yang turut andil memengaruhi angka kemiskinan.

Inikah yang disebut dengan penurunan angka kemiskinan oleh BPS? Mengapa data jauh dari realitas?

Esther Sri Astuti, Direktur INDEF, meragukan data yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik tersebut. Pasalnya, data yang disajikan tidak sesuai realitas. Hal ini karena tingkat kemiskinan masih dijadikan sebagai komoditas politik sehingga mengambil standar terendah. Dengan standar 'kurang manusiawi' tersebut, angka kemiskinan dapat ditekan meski hanya di atas kertas (Tirto.id, 26-07-2025).

Kapitalisme dan Kemiskinan

Kemiskinan yang tinggi adalah konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme. Kapitalisme meniscayakan kekayaan hanya dikuasai segelintir pihak, sementara pihak yang lain hanya dapat menikmati 'remah-remahnya'.

Konsekuensi lain penerapan sistem ini adalah negara kehilangan kekuatan untuk meriayah rakyat. Sumber daya alam yang seharusnya dikelola negara dan hasilnya digunakan untuk menjamin kesejahteraan rakyat, justru dikuasai swasta dan keuntungannya masuk ke kantong pribadi. Alhasil, negara mengandalkan utang dengan bunga mencekik serta pajak yang memberatkan rakyat sebagai sumber pendapatan utama.

Kemiskinan akan terus bertumbuh dalam sistem kapitalisme karena sejatinya sistem ini tidak ubahnya seperti mesin pencetak kemiskinan.

Islam Memandang Kemiskinan

Bagaimana Islam memandang kemiskinan? Dalam Islam telah jelas siapa saja yang masuk dalam kategori miskin. Dalam Mu'jam Al-Wasith disebutkan bahwa miskin adalah orang yang tidak mendapati penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan. Maka, siapa saja yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, meski memiliki pekerjaan, dia terkategori miskin dan berhak menerima zakat.

Berbeda dengan kapitalisme, Islam membagi kepemilikan dalam tiga kriteria:
 * Kepemilikan pribadi, bisa didapatkan dari hasil bekerja, hadiah, dan sebagainya.
 * Kepemilikan umum, yaitu barang-barang yang jumlahnya melimpah dan dibutuhkan oleh orang banyak, misal: barang tambang, air. Kepemilikan umum haram dimiliki individu.
 * Kepemilikan negara, misal: zakat, gonimah, dan sebagainya.

Dengan pos-pos pemasukan yang sedemikian banyak serta ketakwaan para pemimpin, negara dalam Islam mampu menjamin kebutuhan rakyat per individu. Bahkan telah masyhur dikisahkan tiada lagi orang-orang yang berhak menerima zakat pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Artinya, tidak ada golongan yang masuk delapan asnaf, yang salah satunya adalah orang miskin.

Betapa tokcer (efektifnya) sistem hidup yang diturunkan Allah untuk mengatasi kemiskinan, berbeda dengan sistem kapitalisme saat ini. Jago merusak alam, jago membuat negara 'klepek-klepek' tidak berdaya mengurus rakyat, serta sukses membuat kemiskinan membuncit.
Wallahu alam. [My]

Baca juga:

0 Comments: