Headlines
Loading...
Tarif Trump Turun, Peluang atau Ancaman?

Tarif Trump Turun, Peluang atau Ancaman?


Oleh. Arik Rahmawati
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Pidato mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang berapi-api dan penuh semangat memuji kehebatan Presiden Prabowo Subianto telah menjadi viral. Trump terkesan puas, bahagia, dan bangga atas kesepakatan dagang terbaru yang disetujui Indonesia, yaitu penurunan tarif impor dari 32% menjadi 19%.

Namun, yang membuat Trump tampak begitu gembira adalah konsekuensi lain dari kesepakatan dagang resiprokal antara Indonesia dan AS yang harus diterima oleh Indonesia. Yakni, AS mendapatkan akses penuh terhadap pasar Indonesia, yang ia sebut belum pernah terjadi pada periode presiden-presiden sebelumnya, dan sekaligus menjadi tonggak sejarah baru dalam hubungan dagang kedua negara.

Trump berulang kali menyatakan bahwa AS akan mendapatkan akses penuh untuk memasuki pasar Indonesia tanpa membayar sepeser pun, sementara Indonesia harus membayar tarif sebesar 19% kepada AS. Apalagi, Indonesia memiliki produk berkualitas sangat bagus seperti tembaga dan mineral tanah jarang yang akan mereka manfaatkan.

AS Mendapatkan Keuntungan Besar

Kesepakatan tarif impor 19% ini ternyata dibarengi dengan persyaratan-persyaratan yang cukup memberatkan Indonesia. Pernyataan Trump di platform media sosial miliknya, Truth Social (16 Juli 2025), yang dikutip dari AFP, menyebutkan: "Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Indonesia telah berkomitmen untuk membeli energi AS senilai US15 miliar, produk pertanian Amerika senilai US4,5 miliar, dan 50 pesawat Boeing Jet, di antaranya adalah 777."

Kesepakatan ini jelas akan memungkinkan ekspor barang Amerika ke Indonesia semakin banyak dan menguntungkan AS. Bagaimana tidak, ekspor barang dari AS ke Indonesia tidak dikenai pajak sama sekali, sementara barang Indonesia yang masuk AS dikenai pajak 19%. Ini jelas tidak adil dan bukan merupakan perdagangan resiprokal.

Kebijakan seperti ini berpotensi menimbulkan risiko, baik jangka menengah maupun jangka panjang, bagi perekonomian Indonesia. Kebijakan ini akan memunculkan berbagai risiko turunan yang akan melemahkan beragam sektor, termasuk sektor manufaktur yang selama ini menjadi tumpuan dan penyerap tenaga kerja terbesar.

Para pengusaha akan merasa cemas jika kebijakan tarif 0% bagi barang AS ini membalikkan keadaan. Barang AS bisa saja membanjiri pasar Indonesia, sementara barang Indonesia akan kesulitan masuk ke AS. Padahal, diketahui sebelumnya, tingkat ketergantungan industri mebel Indonesia terhadap pasar AS mencapai 54% dari total ekspor. Namun, dengan kebijakan ini, harga barang-barang mebel impor AS bisa jadi lebih murah dan membanjiri pasar Indonesia.

Situasi serupa bisa menimpa industri-industri lain, seperti pertanian, elektronik, alat kesehatan, obat-obatan, tekstil, alas kaki, karet, hingga perikanan yang selama ini mengandalkan AS sebagai tujuan utama ekspor Indonesia. Biaya ekspor barang ke AS bisa jadi meningkat tajam seiring dengan kebijakan 0% barang AS masuk ke Indonesia. Jelas, ini akan melemahkan daya saing para produsen lokal yang harga barangnya bisa jadi lebih mahal dari barang impor AS yang lebih murah.

Dengan kondisi seperti ini, para pengusaha dan masyarakat Indonesia harus bersiap menghadapi potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang mengancam akibat kebijakan yang sangat merugikan ini.

Kebijakan Tarif Trump sebagai Strategi Hegemoni Amerika

Amerika tetaplah Amerika. Amerika dulu dan Amerika sekarang tidak ada bedanya. Mereka adalah kampiun negara kapitalis yang akan terus menjaga dan memperluas pengaruhnya di seluruh dunia. Hari ini, AS sedang dilanda kondisi keuangan yang sangat buruk. Ekonomi AS terus mengalami pelemahan dari hari ke hari, baik karena dukungan penuhnya kepada Zionis Israel atas penjajahan di Palestina maupun peristiwa di dalam negeri sendiri, seperti pengangguran yang terus meningkat.

Dengan demikian, AS tentunya tidak akan tinggal diam. Mereka pasti akan mempertahankan posisinya sebagai negara adidaya yang direbut sejak Perang Dunia II. Inilah yang menjadi latar belakang mengapa Trump mengambil kebijakan politik ekonomi dan politik luar negerinya dengan strategi "America First".
Strategi "America First" ini mengutamakan kepentingan nasional Amerika di peta perdagangan global. Penerapan tarif tinggi ini bertujuan untuk memproteksi industri dalam negeri AS dan menciptakan lapangan kerja di negaranya. Dengan cara inilah AS akan melindungi, memperkuat, dan mendorong pertumbuhan ekonomi domestik, serta meningkatkan neraca perdagangannya yang defisit.

Dengan cara inilah AS berupaya menekan negara-negara yang memiliki akses perdagangan yang tinggi di dalam negerinya. AS terus mengutak-atik tarif dagang agar Amerika tetap menjadi pemegang kendali dalam konstelasi ekonomi global dan dapat menghegemoni atau menekan negara-negara lain agar tetap dalam cengkeraman penjajahannya selama ini.

Indonesia termasuk negara yang berada dalam cengkeraman hegemoni AS. Dalam pidatonya, Trump dengan berapi-api mengatakan akan mendapatkan akses penuh untuk menguasai sumber daya alam (SDA) Indonesia. Demikian pula, Indonesia akan dijadikan daerah pemasaran produk-produk mereka. Inilah bentuk penjajahan ekonomi AS atas Indonesia. Jadi, menganggap penurunan tarif Trump itu sebuah keberuntungan adalah kesimpulan prematur yang terlalu polos dan percaya diri.

Adapun dalam konstelasi politik global, AS masih memegang kendali, terutama melalui lembaga-lembaga internasional, termasuk ikut campur tangan dalam aksi genosida oleh Zionis Israel di Palestina. Penggunaan dolar sebagai standar kurs internasional juga merupakan bukti bahwa AS masih dominan dalam ekonomi global.
Begitu pula dalam bidang budaya. Apa pun yang menjadi tren di Amerika akan selalu diikuti oleh negara-negara lain. Hampir tidak ada perlawanan sama sekali untuk menolak kebudayaan yang berasal dari negara tersebut.

Dominasi Amerika Tidak Akan Berlangsung Lama

Dalam Al-Qur'an, Allah menjelaskan bahwa posisi umat Islam sebenarnya menduduki posisi yang paling utama di kancah dunia internasional. Umat Islam sejatinya adalah umat terbaik di antara umat-umat lainnya, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an surah Ali Imran ayat 110, yang berbunyi, "Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…"

Namun, kenyataan yang ada hari ini malah sebaliknya. Umat Islam menjadi yang paling lemah, terzalimi, dan tertindas. Kita bisa melihat Gaza hari ini; mereka digenosida padahal dikelilingi oleh negeri-negeri Muslim.

Hari ini, semua potensi yang ada pada kaum Muslimin tidak membawa kebaikan, bahkan membawa malapetaka. Sumber daya alam yang melimpah serta sumber daya manusia yang sangat besar justru tidak membawa kaum Muslim keluar dari kemiskinan dan kehinaan.

Semua ini terjadi bukan datang tiba-tiba, melainkan karena jauhnya masyarakat dari ajaran Islam serta jauhnya mereka dari negara yang menerapkannya, yakni Daulah Khilafah Islamiyah. Sejarah Islam mencatat bahwa 3 Maret 1924 adalah hari ketika Inggris beserta antek-anteknya meruntuhkan khilafah yang telah tegak selama belasan abad tersebut.

Seluruh urusan atau problem umat Islam diatur berdasarkan syariat Islam sejak masa Rasulullah hingga masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin serta para khalifah selanjutnya. Di sinilah kaum Muslim bersatu dalam satu kepemimpinan yang sangat kuat. Syariat Islam menjadi solusi atas berbagai masalah yang mendera umat Islam. Sejak saat itulah kaum Muslimin menjadi pemimpin peradaban yang sangat disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan. Kaum Muslimin hidup dalam kemuliaan dan menjadi pemimpin peradaban yang cemerlang.

Para ahli sejarah mengakui kehebatan negara Khilafah di masanya. Kesejahteraan masyarakatnya dan kewibawaan negaranya menjadikan posisi kaum Muslim unggul dibanding bangsa-bangsa lain yang ada di seluruh dunia waktu itu. Inilah negara pertama yang sangat ditakuti lawan-lawannya.

Hari ini, umat Islam terlepas dari rahasia kekuatannya. Mereka hidup tanpa adanya khilafah. Mereka hidup dengan "resep" yang diberikan oleh musuh-musuhnya, yakni nasionalisme dan sekularisme. Kaum Muslim semakin menderita seiring dengan lenyapnya Khilafah dari muka bumi. Kaum Muslim hidup dalam batas-batas negara imajiner buatan penjajah. Mereka diatur dengan aturan kapitalis sekuler yang cenderung destruktif dan eksploitatif karena tidak mengerti nilai-nilai kebaikan, apalagi halal dan haram.

Sudah seharusnya kita segera beralih ke habitat asli kaum Muslimin: bersatu dalam kepemimpinan dan menggunakan syariat Islam dalam mengatur seluruh kehidupan. Islam menolak segala bentuk penjajahan. Allah Swt. berfirman, "… Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman." (TQS. An-Nisa: 141)

Untuk itulah, harus ada penyadaran secara massal terhadap umat Islam agar kembali kepada ajaran Islam yang murni dan konsekuen, karena itulah sebenarnya sumber dari kekuatan dan kebangkitan umat Islam hari ini. Ajaran Islam harus dipahami sebagai jalan hidup ( way of life ) bukan sebagai ajaran moral dan ajaran yang bersifat spiritual yang tidak memberi pengaruh apa pun dalam kehidupan.

Musuh-musuh Islam menyadari bahwa hanya Islamlah yang bisa menggulung eksistensi ideologi kapitalisme global pada masa depan. Dengan demikian, mereka tak henti-hentinya membuat narasi yang memonsterisasi ajaran Islam. Mereka membuat narasi terorisme dan radikalisme yang selalu disematkan pada diri kaum Muslimin. Adanya kebijakan kenaikan tarif itu hanyalah setitik dari semua kebijakan rusak yang diproduksi oleh ideologi kapitalisme ini. Semua ini hanya mampu dilawan oleh Islam ideologis.

Sejatinya, dominasi AS itu tidak akan berlangsung lama, asalkan ada azzam (tekad kuat) dalam diri umat untuk bersatu dalam naungan Khilafah Islamiyah yang menerapkan syariat Islam yang kaffah sebagai satu-satunya kunci kebahagiaan dan kebangkitan umat hari ini. [My]

Baca juga:

0 Comments: