Headlines
Loading...

Oleh. Rita Mutiara
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Saat menulis untuk dakwah, saya akan benar-benar duduk diam, merenung, dan berbicara dalam hati. Menulis tentang nilai-nilai Islam yang berarti, mengajak orang melakukan kebaikan, sungguh berbeda dengan menulis teks lainnya. Ada pertanyaan mendasar yang harus saya jawab: "Apakah saya sudah melaksanakan hal yang saya dakwahkan?" Pertanyaan inilah yang selalu membuat hati bergetar.

Allah berfirman dalam QS As-Shaff ayat 3:

كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ

"Sangat besarlah kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan."

Berdasarkan ayat tersebut, jika kita tidak melakukan apa yang kita katakan, Allah akan murka. Inilah kebiasaan orang-orang munafik: mengatakan apa yang tidak dikerjakan, bermuka dua, serta tidak ada kesatuan antara kata dan perbuatan.

Oleh karena itu, setiap kali saya menulis untuk mengajak orang lain berbuat kebaikan atau berdakwah, seolah-olah saya sedang bermuhasabah. Jangan sampai saya menulis dan mengajak orang pada kebaikan, tetapi saya sendiri tidak melakukannya. Jika tidak ada kesesuaian antara kata dan perbuatan saya, berarti saya mengundang murka Allah. Sungguh, hal itu membuat saya takut.

Imam Al-Ghazali menulis bahwa orang yang cerdas adalah orang yang menghitung dirinya sebelum ia dihitung di hari kiamat. Kalimat itu mengingatkan kita untuk selalu bermuhasabah.

Kemudian, pertanyaan selanjutnya diungkapkan Al-Ghazali, "Apa yang sudah saya lakukan untuk Allah?" Ini adalah pertanyaan yang harus diajukan pada diri sendiri. Sebuah pertanyaan yang menghujam, terasa keras mengetuk dada. Selama ini, saya hanya banyak meminta kepada-Nya: meminta kesehatan, rezeki, dan agar anak-anak tumbuh dalam kebaikan. Namun, apa yang sudah saya berikan? Apa yang sudah saya persembahkan untuk-Nya? Saya merasa sangat kecil.

Lalu, Al-Ghazali mengajukan pertanyaan lagi yang lebih menusuk: "Apakah saya rida kepada Allah?" Saya teringat bagaimana dulu saya pernah kecewa ketika doa saya tidak dikabulkan. Pernah marah dalam hati ketika merasa hidup terlalu berat. Pernah mempertanyakan, "Kenapa saya?" saat ujian datang bertubi-tubi. Padahal, semua itu bukan karena Allah tidak sayang. Justru karena Allah ingin mendidik dan membentuk saya menjadi hamba yang kuat, yang hanya bergantung kepada-Nya.

Saya menarik napas panjang, perlahan, dan berkata dalam hati: "Ya Allah... mungkin saya belum banyak melakukan sesuatu untuk-Mu. Tapi saya ingin... Saya ingin lebih dekat. Saya ingin Engkau rida kepada saya. Saya ingin belajar untuk benar-benar rida kepada-Mu, dalam semua takdir-Mu."

Buku Al-Ghazali telah menggugah hati saya. Saya seperti baru saja dibangunkan dari tidur panjang. Saya tersadar. Kesadaran ini mendorong saya untuk melakukan langkah-langkah kecil agar menjadi hamba yang lebih takwa di hadapan-Nya, agar mendapat surga yang telah Allah janjikan.

Namun, jalan menuju surga tidak mudah. Ada firman Allah yang menyatakan:
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti yang dialami orang-orang sebelum kamu?" (QS. Al-Baqarah: 214)

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah akan memberi ujian kepada hamba-Nya dengan berbagai cobaan, baik berupa kesenangan maupun penderitaan, sebagaimana umat terdahulu. Ujian dan cobaan ini merupakan suatu keniscayaan yang tidak berubah sampai kapan pun. Oleh karena itu, saya menguatkan hati ketika mendapat ujian, karena ujian dan cobaan merupakan keniscayaan untuk membuktikan keimanan. Selain itu, saya juga harus istiqamah dalam menjalankan ibadah.
Jika kita lalai dalam menjalankan ibadah, Imam Al-Ghazali menyampaikan dalam buku Ihya Ulumuddin bahwa muhasabah bukan hanya mengenali kesalahan, tapi menghukum diri dengan penuh kasih sayang.

Saya belum mampu menghukum diri dengan penuh kasih sayang, sebagaimana yang sahabat-sahabat Rasulullah lakukan. Meski dengan melakukan hal ini tidak menjadi manusia sempurna, setidaknya bisa menjadi orang yang lebih baik dari hari kemarin.

Muhasabah mengajari saya untuk sadar mengakui kesalahan dengan jujur dan bertobat agar Allah mengampuni kelalaian dan dosa. Kini, saya sering bermuhasabah—setidaknya saya sedang dalam perjalanan lebih dekat kepada Allah dengan terus memperbaiki diri. Sebagaimana pesan Imam Al-Ghazali: "Barang siapa yang tidak menghisab dirinya, maka ia seperti binatang yang hanya tahu makan dan tidur, tanpa tahu ke mana ia akan pergi."

Kita adalah makhluk yang lebih mulia dari binatang. Hidup bukan sekadar mencari uang untuk memenuhi kebutuhan biologis. Tetapi kita adalah khalifah fil ard, wakil Allah di muka bumi yang bertanggung jawab untuk mengelola dan memakmurkan bumi, serta menjalankan segala perintah Allah di muka bumi. Konsep ini menegaskan posisi manusia sebagai makhluk mulia yang diberikan tanggung jawab untuk menjaga dan mengembangkan alam semesta sesuai dengan kehendak Allah. [My]

Baca juga:

0 Comments: