Headlines
Loading...

Oleh: Erna Kartika Dewi
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.ComTeteh. Begitulah panggilan sayangku kepada putri sulungku. Panggilan ini sangat khas bagi kami yang berasal dari suku Sunda.
Aku ingin bercerita tentang sosok sulungku ini. Bukan karena aku ingin membedakannya dengan anak bungsu kami. Keduanya adalah anugerah terindah dari Allah yang kumiliki. Namun, sulungku ini mempunyai banyak cerita perjuangan, terutama di balik minimnya ilmuku sebagai orang tua baru saat melahirkannya ke dunia.

Perjuangan Melahirkan dan Kebahagiaan Menjadi Ibu

26 Agustus 2006. Aku masih ingat jelas, sejak Jumat malam aku sudah merasakan kontraksi dan kesakitan yang luar biasa. Sempat terpikir dalam benakku, "Seperti inikah rasanya menjadi seorang ibu?", "Harus sesakit inikah?", "Apakah aku sanggup?".

Namun, naluri seorang ibu membuatku bertahan hingga saatnya tiba. Pagi itu, Allah menghadirkan seorang putri cantik nan salihah di antara aku dan suamiku. Begitu lengkap dan sempurna, tanpa kurang suatu apa pun. Semua rasa sakit yang sempat kurasakan seakan tak ada artinya dibandingkan kebahagiaanku saat itu. Tak percaya, tapi nyata. Pada hari itu, aku akhirnya menyandang status baru sebagai seorang ibu dengan panggilan "bunda".

Hari demi hari terus berlalu, kutemani putri kecilku ini dengan penuh kasih sayang. Meskipun saat itu, aku merasa belum menjadi sosok ibu yang baik dan sempurna untuknya. Sulungku terus menemani perjalanan panjang dalam rumah tangga ini. Seolah menjadi saksi suka dan dukaku, tetapi wajahnya selalu menyejukkan hati dan pikiranku. Hatinya selalu penuh dengan kata maaf, dan darinya ada banyak sekali pelajaran hidup yang aku dapatkan.

Kedewasaan dan Kebijaksanaan Teteh

Kini, sulungku telah beranjak dewasa. Di usianya sekarang, ia telah tumbuh menjadi seorang gadis salihah yang mandiri, penyabar, penyayang, dan sangat peka terhadap orang-orang di sekitarnya. Alhamdulillah, di usianya ini, sulungku juga telah belajar tentang Islam dalam syarikah yang sama denganku. Ia bahkan sudah bisa memutuskan sendiri pilihan kuliah dan pekerjaannya, tanpa campur tangan aku maupun ayahnya.

Terkadang aku merasa malu. Ketika berada di usia yang sama seperti putri sulungku, pemikiran seperti yang ada padanya nyaris tak pernah ada dalam benakku. Ya Allah, terima kasih telah memberikan aku putri salihah yang baik hatinya, yang penyayang, dan juga penyabar. Putri salihah yang selalu memberikan kesejukan dan ketenangan buatku.

Teteh, anakku, permata pertamaku yang salihah, dalam setiap hela napas ini tak henti-hentinya bunda mengucap syukur. Dalam setiap sujud panjang ini, nama Teteh tak pernah berhenti disebut dalam doa-doa bunda. Teteh adalah permata pertama yang Allah titipkan kepada ayah dan bunda. Teteh adalah anak sulung, putri salihah yang tumbuh dengan kelembutan hati dan ketulusan yang membuat bunda selalu merasakan keharuan yang teramat dalam.

Terkadang bunda tak tahu bagaimana cara Teteh belajar menjadi begitu peka. Bahkan, saat bunda terdiam, mata Teteh bisa membaca kelelahan ini. Saat bunda mencoba tersenyum menutupi letih dan kesedihan, pelukan Teteh seakan menjadi jawaban yang tak bisa bunda beli dengan apa pun di dunia ini. Teteh hadir di dunia ini, bukan hanya sebagai anak, tetapi juga sebagai sahabat, penyemangat, dan kekuatan untuk bunda.

Ketika bunda terdiam karena sakit, Teteh selalu datang sambil membawakan obat apa pun yang bunda perlukan. Ia selalu berkata, "Bunda sehat, ya. Bunda jangan sakit, kalau Bunda sakit, duniaku terasa sepi dan gelap."

Saat itu, air mata bunda nyaris tumpah. Belum sempat bunda menjawab, Teteh sudah duduk di samping sambil memijit, karena ia tahu tubuh bunda sering kelelahan akibat banyaknya aktivitas. Perlakuan Teteh tampak sederhana, tetapi mengandung ketulusan besar yang sangat berarti buat bunda. Bunda merasa Allah mengirimkan Teteh untuk menjadi penenang, penguat, dan pengingat agar bunda jangan pernah merasa sendiri.

Teteh juga bukan hanya peduli pada fisik bunda, tetapi juga pada jiwa bunda. Dalam lelah yang bunda rasakan, sering kali Teteh datang hanya untuk berkata, "Bunda harus bahagia, ya. Kalau Bunda bahagia, aku juga ikut tenang. Tenang saja, Bun, kita pasti akan bisa melewati semuanya dengan baik."

Masya Allah, Nak. Kalimat sederhana, tetapi bagi bunda itu seperti pelukan dari langit. Sejak kapan kau tumbuh sebijaksana itu, Nak?

Sebagai anak sulung, beban Teteh tak sedikit. Namun, ia menjalaninya tanpa banyak mengeluh. Teteh menjaga adik semata wayangnya dengan penuh kasih sayang, membantu urusan rumah dengan ringan, dan tetap menjaga bunda dengan perhatian penuh.

Teteh, bunda tahu, bunda bukanlah ibu yang sempurna. Banyak kekurangan yang bunda miliki. Tetapi, Teteh tetap menghormati, mencintai, bahkan sering kali memeluk bunda saat bunda merasa tak mampu. Kadang bunda berpikir, mungkin inilah yang disebut cinta tanpa syarat. Cinta dari seorang anak salihah yang tumbuh bukan hanya dengan ilmu, tetapi juga dengan akhlak dan kasih sayang.

Teteh, mungkin kamu tak sadar betapa besar artinya dirimu dalam hidup bunda. Kamu adalah jawaban dari doa-doa bunda dulu, ketika bunda memohon kepada Allah agar diberikan anak yang bukan hanya cerdas, tetapi juga berhati lembut dan bertakwa. Dan kini, setiap hari, bahkan setiap saat, bunda melihat jawabannya di hadapan bunda, yaitu hadirnya Teteh dalam hidup bunda.

Bunda bangga, Teh. Tapi lebih dari itu, bunda terharu dan bersyukur, karena di dunia yang semakin keras ini, Allah masih berkenan menitipkan seorang anak seperti Teteh. Kamu membuat bunda merasa dicintai tanpa syarat, dihargai tanpa diminta, dan diperhatikan, bahkan dalam diam.

Terima kasih, Nak, untuk segala hal yang tak bisa bunda balas dengan apa pun. Semoga Allah menjaga hatimu tetap lembut, langkahmu tetap di jalan-Nya, dan kehidupanmu selalu diberkahi. Bahagia selalu anakku sayang. Semoga Allah senantiasa menaungi Teteh dengan keberkahan dan kasih sayang-Nya yang tiada henti. Doa bunda selalu bersama Teteh. Aamiin... Aamiin ya Rabbal 'Alamiin. [US]

Baca juga:

0 Comments: