Headlines
Loading...

Oleh. Ummu Fahhala
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)

SSCQmedia.com—Di pinggir sawah yang mulai kering di musim kemarau itu, Pak Jamal duduk memeluk lutut.

Ia ditemani Rafi, anak semata wayangnya, menatap petak tanah kosong di depannya, tanah yang dulu ditanami jagung, sekarang dipenuhi ilalang.

“Pak, kenapa tanah ini dibiarkan kosong terus?”

Pak Jamal menarik napas panjang. “Ayah sudah mencoba, Nak... Tapi pupuk mahal, air susah, dan harga panen tidak pernah cukup untuk makan.”

Tanah itu memang miliknya. Tapi sejak dua tahun terakhir, ia tidak bisa mengelolanya lagi. Badan sudah tak sekuat dulu, bantuan pun tak kunjung datang. Tanah itu jadi diam. Menunggu, seperti dirinya. Sampai kabar itu datang.

Beberapa waktu lalu, pemerintah mengumumkan kebijakan baru. Negara akan mengambil alih tanah yang tidak digunakan selama dua tahun, seperti dinyatakan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Kebijakan ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. (Kompas, 18 Juli 2025)

Pak Jamal membacanya dari layar ponsel milik tetangganya. Ia terdiam lama.

“Apa negara akan ambil tanah ini, Rafi?” tanyanya pelan.

“Kalau diambil, untuk siapa, Pak?” balas Rafi, matanya cemas.

Di Antara Harapan dan Ketakutan

Di satu sisi, kebijakan ini memberi harapan. Negara bisa mengelola tanah yang terbengkalai agar bermanfaat. Tapi bagi orang-orang seperti Pak Jamal, kabar itu menakutkan. Mereka bukan malas. Mereka hanya kalah oleh sistem.

Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, menyebutkan, “Selama belum ada skema pendistribusian yang berpihak pada rakyat kecil, tanah-tanah itu rawan jatuh ke tangan korporasi.” (Tempo, 2024)

Pak Jamal tak punya modal. Tapi ia punya kehendak. Ia ingin tanah itu kembali hidup. Tapi mungkinkah?

Rafi pernah belajar di sekolah bahwa tanah adalah warisan bangsa. Tapi dalam kenyataannya, tanah lebih sering menjadi rebutan. Bukan oleh petani, tapi oleh pemilik modal besar.

“Pak, kenapa tanah bisa jadi milik orang kaya?” tanya Rafi.

“Karena dunia ini sudah diatur oleh orang yang bisa beli, bukan yang bisa menggarap,” jawab Pak Jamal pelan.

Tanah dalam sistem hari ini bukan amanah, tapi komoditas. Ia berpindah tangan bukan karena kebutuhan, tapi karena kekuatan uang. Negara pun kadang lebih sigap memfasilitasi investor daripada mendengarkan suara petani.

Ironisnya, banyak tanah milik negara juga dibiarkan terbengkalai. Tak ada petani. Tak ada program. Tak ada arah.

Jika tanah rakyat yang terlantar diambil, lalu tanah negara yang terbengkalai untuk siapa? Tanpa perencanaan yang jelas, tanah itu bisa kembali masuk ke lingkaran kekuasaan segelintir orang. Petani tetap tidak punya lahan. Yang kaya tetap kaya.

Pandangan Islam

Dalam Islam, tanah bukan barang dagangan. Tanah harus dikelola dengan adil. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Abu Dawud)

Tapi Islam juga menetapkan syarat. Jika pemilik tanah menelantarkan lahan lebih dari tiga tahun, negara boleh mengambil alih. Namun, tujuannya bukan untuk dijual ke investor. Negara wajib memberikannya kepada orang yang mau mengelola dari rakyat kecil, bukan pemilik modal besar.

Di masa Khalifah Umar bin Khattab, negara mengelola tanah dengan hati-hati. Setiap jengkal tanah digunakan untuk kesejahteraan umat: untuk pertanian, pemukiman, dan infrastruktur umum. Tidak ada yang dijadikan alat spekulasi.

Negara Seharusnya Jadi Pelindung, Bukan Pedagang

Pak Jamal menatap Rafi dengan mata basah.

“Kalau negara benar-benar berpihak, tanah ini tidak akan disia-siakan, Nak.”

Rafi menggenggam tangan ayahnya. “Kita tetap tanam, ya, Pak. Walau sedikit.”

Tanah itu mungkin tidak sempurna. Tapi ia saksi dari perjuangan rakyat. Negara harus melihatnya bukan sebagai angka atau data. Tapi sebagai bagian dari kehidupan.

Islam mengajarkan bahwa tanah adalah berkah. Tapi berkah itu hanya turun jika pengelolaannya adil. Negara haruslah menjadi pelindung, bukan pedagang. Harus kembali mendengarkan suara tanah dan suara rakyat yang menapakinya setiap hari. [My]

Baca juga:

0 Comments: