Rakyat Mencuri untuk Makan, di Mana Peran Negara?
Oleh. Indri Wulan Pertiwi
(Aktivis Muslimah Semarang)
SSCQMedia.Com—“Mencuri untuk makan” adalah frasa yang menyakitkan sekaligus menjadi refleksi keras atas kondisi sosial-ekonomi bangsa. Ironisnya, di tengah kemajuan teknologi dan informasi, masih ada yang terpaksa melanggar hukum demi memenuhi kebutuhan dasar, seperti makan. Persoalan ini jauh melampaui kriminalitas biasa. Tetapi juga menjadi cermin retak dari sistem yang gagal menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama
Contoh nyata ditemukan pada kisah Poniman, lelaki berusia 68 tahun yang tertangkap mencuri handphone di Bandara Soekarno-Hatta pada Mei 2025. Ia mengakui mencuri untuk dijual agar dapat membeli beras guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Kehidupannya memburuk sejak ia terkena PHK dan istrinya sakit parah yang membutuhkan biaya pengobatan. Kasusnya berakhir damai lewat restorative justice. (banten.idntimes.com, 23/6/2025).
Kisah Poniman bukanlah satu-satunya kasus memilukan yang terjadi di Indonesia. Masih banyak kisah lainnya yang tak terangkat oleh media, yang mengantar kita pada refleksi lebih luas. Tentu, tidak ada yang dapat membenarkan tindakan ilegal, seperti pencurian. Dari berbagai perspektif pencurian jelas merupakan perbuatan salah. Namun, dalam konteks ini, negara sebagai pilar utama dalam tata kelola pemerintahan, adalah pihak yang paling bertanggung jawab. Karena gagal memberikan kesejahteraan dan mencegah kemiskinan hingga memaksa rakyatnya mengambil langkah-langkah berbahaya demi bertahan hidup.
Namun, dalam sistem kapitalisme yang mengedepankan keuntungan, peran negara sering terpinggirkan dan hanya melayani kepentingan pemilik modal. Akibatnya, tanggung jawab besar atas kesejahteraan rakyat tergeser, bahkan diabaikan. Ketimpangan sosial kian melebar karena kebijakan ekonomi lebih mengakomodasi kepentingan bisnis besar daripada memperkuat sistem perlindungan sosial bagi kelompok rentan. Dalam situasi ini, rakyat kecil kerap menjadi korban sistem tidak adil, menghadapi dilema antara kelaparan atau menjalani tindakan kriminal.
Pencurian yang terjadi akibat kemiskinan seharusnya menjadi peringatan penting bagi negara untuk segera memperbaiki sistem perlindungan sosial-ekonomi secara menyeluruh dan menyentuh akar permasalahan. Kebijakan yang diterapkan harus bersifat komprehensif, tidak cukup hanya dengan memberikan bantuan sosial semata, tetapi juga harus dilengkapi dengan upaya pemberdayaan masyarakat. Yang meliputi peningkatan kesejahteraan, pemenuhan kebutuhan dasar, serta penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan guna mencegah terulangnya kasus serupa. Dalam konteks ini, negara harus hadir sebagai pelindung dan pendukung nyata bagi seluruh warganya.
Di sisi lain, Islam bukan sekadar keyakinan pribadi, melainkan sebuah ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk sistem pemerintahan dan hukum negara. Syariat Islam yang kafah (menyeluruh) dapat menjadi solusi optimal apabila diterapkan secara konsisten dalam sebuah negara. Kepemimpinan dalam Islam pun sangat berbeda dengan sistem politik sekuler dan kapitalistik yang saat ini banyak dianut.
Dalam Islam, kepemimpinan merupakan amanah berat yang hanya layak diemban oleh sosok yang kuat, bertakwa, adil, dan penuh kasih sayang terhadap rakyat. Pemimpin dalam Islam wajib memerintah sesuai dengan hukum Allah dan dilarang mengambil keputusan di luar koridor syariat. Dan jika mengambil hukum selainnya, dalam QS Al-Maidah ayat 44, 45 dan 47 Allah menyebut mereka kafir, zalim dan fasik. Hal ini kian menekankan kewajiban penerapan hukum Islam dalam setiap aspek kehidupan dan bernegara.
Dalam paradigma Islam, negara berperan sebagai raa’in, atau pengurus yang memikul tanggung jawab penuh atas kesejahteraan seluruh rakyat, sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasulullah ï·º yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad. Peran ini didukung oleh syariat Islam yang menetapkan aturan paripurna dan komprehensif dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi. Misalnya, dalam konsep kepemilikan, Islam membagi menjadi tiga: kepemilikan umum, kepemilikan negara, dan kepemilikan individu.
Sumber daya alam dikategorikan sebagai milik umum yang harus dikelola sepenuhnya oleh negara. Pendapatan dari pengelolaan tersebut diperuntukkan memenuhi kebutuhan dasar seluruh umat. Apabila hasil pengelolaan sumber daya alam belum mencukupi, negara akan mengoptimalkan berbagai sumber pendanaan lain, termasuk zakat, jizyah, dan lain-lain.
Guna mencegah terjadinya ketimpangan yang dapat menimbulkan berbagai masalah sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, dan konflik sosial. Sehingga Islam sangat menekankan pentingnya keadilan dalam pembagian kekayaan. Dalam QS. Al-Hashr ayat 7, Allah Swt. menegaskan bahwa harta dan kekayaan tidak boleh terkonsentrasi hanya di tangan segelintir individu saja. Selain itu, Islam juga menanamkan konsep zakat, infak, dan sedekah sebagai mekanisme konkret untuk mendistribusikan kekayaan secara langsung kepada mereka yang membutuhkan, sehingga mampu mereduksi jurang kesenjangan ekonomi secara signifikan.
Untuk mengimplementasikan prinsip tersebut dalam tatanan negara, sistem Islam juga akan menerapkan sistem hukum yang tegas dan transparan. Pendidikan berbasis nilai-nilai Islam yang menjadi aspek penting dalam membentuk karakter masyarakat yang bertakwa dan berintegritas, yang tidak hanya fokus pada aspek pengetahuan tetapi juga menanamkan akidah, mengedepankan moral dan kejujuran, serta menghindari korupsi yang jelas-jelas dilarang dalam Islam.
Selain itu, negara Islam sangat menekankan pemberdayaan rakyat sebagai fondasi penting. Peningkatan kapasitas dan keterampilan masyarakat menjadi kunci agar mereka tidak lagi hanya bergantung pada bantuan, melainkan mampu mandiri.
Dengan demikian, negara Islam bersungguh-sungguh menekan angka kemiskinan secara signifikan melalui pengelolaan urusan umat yang sejalan dengan mekanisme syar’i. Hingga kemiskinan dan kelaparan dapat diminimalisir, bahkan dihapuskan.
Oleh karena itu, sudah saatnya sistem kapitalisme-sekuler yang terbukti menimbulkan ketidakadilan dan penderitaan ditinggalkan. Dan beralih kepada sistem Islam yang berlandaskan wahyu Allah dan teladan Rasulullah ï·º, sebagai kunci satu-satunya kunci dalam membangun masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Wallahualam bissawab. [Hz]
Baca juga:

0 Comments: