Headlines
Loading...
Migrasi Kerja: Solusi Semu atas Masalah Pengangguran

Migrasi Kerja: Solusi Semu atas Masalah Pengangguran

Oleh. Indri Wulan Pertiwi
(Aktivis Muslimah Semarang)

SSCQMedia.Com—Indonesia, dengan populasi yang sangat besar, sering dihadapkan pada dilema klasik, yaitu kelebihan tenaga kerja namun minim lapangan kerja yang tersedia. Alih-alih mengatasi akar masalah pengangguran struktural, pemerintah mendorong warganya menjadi pekerja migran sebuah solusi yang terkesan mengalihkan tanggung jawab. Meski didukung oleh undang-undang, efektivitas dan etika kebijakan ini patut dipertanyakan.

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Pemprov Jateng), misalnya, mendorong penganggur untuk bekerja di luar negeri sebagai upaya menanggulangi angka pengangguran yang mencapai 950.000 orang atau 4,33 persen pada Februari 2025. Langkah ini didasarkan pada ketentuan UU No. 18 Tahun 2017 yang mengatur pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI). Syarat utama bagi calon pekerja migran meliputi kemampuan berbahasa, kompetensi teknis maupun non-teknis, serta mental yang tangguh. Untuk menunjang hal tersebut, Pemprov Jateng memberikan edukasi dan perlindungan melalui komunikasi antarlembaga seperti KBRI, KJRI, Kominfo, serta aplikasi resmi Kementerian Ketenagakerjaan (tribunnews.com, 27-06-2025).

Ironis memang, Indonesia sebagai negara dengan populasi yang besar dan sumber daya alam melimpah, masih bergumul dengan masalah pengangguran yang membelit. Fenomena ini bukanlah sekadar masalah statistik, melainkan cerminan sistemik yang berakar pada struktur ekonomi dan kebijakan pembangunan yang selama ini diterapkan, yaitu sistem Kapitalisme yang telah melahirkan ketimpangan ekonomi dan menghambat pertumbuhan lapangan kerja yang berkelanjutan.

Sistem Kapitalisme, dengan orientasinya pada keuntungan maksimal, menciptakan ketimpangan ekonomi yang tajam. Akses masyarakat terhadap sumber daya dan peluang ekonomi sangat terbatas, menciptakan siklus kemiskinan dan pengangguran yang sulit diputus. Kekayaan yang terpusat di tangan segelintir elit dan korporasi besar tidak hanya menghambat pertumbuhan ekonomi inklusif.

Persaingan ketat di pasar tenaga kerja semakin memperparah situasi. Tekanan untuk menekan biaya operasional mendorong perusahaan mengadopsi teknologi dan otomatisasi, yang mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Pekerja berkeahlian rendah menjadi kelompok yang paling rentan terdampak, menghadapi kesulitan yang semakin besar untuk mendapatkan pekerjaan. Situasi ini diperburuk oleh liberalisasi ekonomi yang tidak terkendali. Banjirnya barang impor murah menghancurkan industri dalam negeri, mengurangi daya saing produk lokal, dan mengakibatkan penutupan usaha sehingga semakin banyak lapangan kerja yang hilang.

Sistem pendidikan dan pelatihan vokasi, meskipun telah mengalami kemajuan, belum mampu mengatasi persoalan ini secara maksimal. Banyak lulusan terampil yang menganggur karena terbatasnya lapangan kerja yang sesuai dengan keahlian mereka. Adapun pekerjaan yang tersedia hanya berupa pekerjaan kasar dengan upah minimum yang tidak layak. Dari berbagai masalah kompleks ini, mencerminkan kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja yang memadai dan lemahnya industrialisasi yang cenderung menguntungkan oligarki.

Meskipun peraturan perundang-undangan memungkinkan migrasi kerja ke luar negeri, fokus pemerintah pada fasilitasi migrasi tanpa upaya serius menciptakan lapangan kerja dalam negeri merupakan kelemahan mendasar. Migrasi kerja, alih-alih menjadi solusi, justru memindahkan beban pengangguran ke negara lain tanpa menyelesaikan masalah struktural. Akibatnya, angka pengangguran tetap tinggi, dan beban tersebut dibebankan pada pekerja migran yang menghadapi eksploitasi, upah rendah, dan kondisi kerja tidak manusiawi di luar negeri, dengan minimnya perlindungan dari pemerintah. Ironisnya, remitansi dari pekerja migran seringkali dianggap sebagai keberhasilan kebijakan tanpa mempertimbangkan biaya sosial dan fisik yang mereka tanggung.

Berbeda dengan sistem yang ada saat ini, sistem Islam dalam kerangka pemerintahan Khilafah, memberikan perhatian utama dan terstruktur dalam mengatasi pengangguran. Khilafah menempatkan negara sebagai penyelenggara utama kesejahteraan rakyat, termasuk kebutuhan akan pekerjaan yang layak. Hal ini sejalan dengan prinsip keadilan sosial yang diusung dalam sistem ekonomi Islam, di mana negara berperan aktif dalam menciptakan kebijakan yang adil dan mendukung sektor riil sebagai upaya menekan angka pengangguran.

Khilafah menempatkan pemenuhan kebutuhan primer  warga negara sebagai prioritas utama,  seperti pangan, sandang, papan,  layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan dijamin oleh negara. Dengan adanya jaminan kebutuhan pokok bagi kalangan kurang mampu, Khilafah menunjukkan komitmennya untuk mencegah kemiskinan dan ketimpangan sosial yang selama ini menjadi tantangan dalam pembangunan masyarakat.

Sistem ekonomi Islam, yang diterapkan dalam Khilafah, membagi kepemilikan sumber daya dalam tiga kategori besar, yaitu milik negara, milik umum (rakyat), dan milik individu. Salah satu aspek kunci dalam sistem ini adalah pengelolaan sumber daya alam yang ditetapkan sebagai kepemilikan umum. Dengan demikian, pengelolaan sumber daya alam tidak hanya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan finansial semata, tetapi lebih kepada bagaimana hasil pengelolaan tersebut dapat digunakan secara optimal untuk kesejahteraan rakyat secara luas. Negara Khilafah menggunakan hasil pengelolaan ini untuk membiayai berbagai sektor penting seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, serta pembangunan infrastruktur publik, serta aktivitas produktif yang mampu menyerap tenaga kerja.

Lebih jauh, Khilafah menyediakan berbagai program pendidikan dan pelatihan keterampilan yang disesuaikan dengan minat dan bakat individu agar setiap warga mampu memperoleh pekerjaan sesuai kapasitas dan potensinya. Negara juga secara aktif menciptakan peluang ekonomi melalui pembangunan sektor-sektor strategis yang berorientasi pada pengembangan usaha riil.

Dengan pendekatan ini, sistem Khilafah tidak hanya berfokus pada penyediaan pekerjaan, tetapi juga pada pemerataan kesejahteraan dan penghapusan kemiskinan melalui kebijakan yang berkeadilan sosial. Sehingga pengangguran dapat ditangani secara menyeluruh dengan memadukan peran aktif negara dalam pengelolaan sumber daya dan pengembangan kapasitas manusia. Hal ini membuktikan bahwa Khilafah bukan sekadar konsep politik, melainkan sistem sosial dan ekonomi efektif yang mampu mendukung pembangunan berkelanjutan serta kesejahteraan umat secara holistik.

Migrasi kerja sejatinya bukan solusi untuk mengatasi pengangguran. Ia hanya merupakan penanggulangan sementara yang menutupi kegagalan pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan layak di dalam negeri. Berbeda dengan Khilafah yang memberikan solusi nyata bagi terwujudnya masyarakat sejahtera dan harmonis tanpa mengandalkan solusi sementara yang menimbulkan risiko tambahan. Hanya dengan demikian, kemakmuran dan keadilan sosial dapat diraih secara berkelanjutan. Wallahualam bissawab. [ry].

Baca juga:

0 Comments: