Headlines
Loading...
Ironi Harga Beras di Tengah Stok yang Melimpah

Ironi Harga Beras di Tengah Stok yang Melimpah

Oleh. Umi Hafizha
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Aneh tapi nyata, inilah yang terjadi di negeri ini. Di tengah stok beras yang sangat melimpah justru harga beras melonjak. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, bahwa harga beras terus mengalami kenaikan di beberapa kabupaten atau kota. Kenaikan harga beras ini terjadi pada pekan kedua Juni 2025 di 133 kabupaten atau kota. Padahal, pada pekan pertama Juni 2025 hanya terdapat 119 kabupaten atau kota yang mengalami kenaikan harga beras. (ekonomibisnis.com, 17/6/2025)

Beberapa pihak menilai, bahwa kenaikan harga beras di tengah stok yang melimpah sangat tidak masuk akal, karena pada tahun ini produksi beras nasional dalam kondisi yang sangat memuaskan. Stok cadangan beras pemerintah atau CBP pada tahun ini, merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah. (Beritasatu.com, 19/6/2025)

Tidak bisa dimungkiri, ketidaknormalan harga beras ini menunjukkan adanya masalah dalam rantai distribusi beras yang berdampak pada naiknya harga di pasar. Di sisi lain sebagian pihak menilai, bahwa kondisi ini merupakan efek dari penerapan aturan terbaru, di mana gabah atau beras wajib diserap oleh Bulog meskipun kualitasnya rendah.

Kebijakan mewajibkan Bulog menyerap gabah petani dalam jumlah besar, justru akan menciptakan penumpukan stok di gudang yang mengakibatkan suplai beras ke pasar terganggu dan harga mengalami kenaikan. Pengelolaan pangan yang terjadi saat ini, mencerminkan ciri khas dari sistem kapitalisme. Di mana kebijakan dan tata kelola berpihak pada kepentingan pasar dan segelintir elite daripada kebutuhan dan kesejahteraan rakyat.

Dalam sistem kapitalisme, pangan diperlukan layaknya komoditas ekonomi semata, bukan sebagai kebutuhan dasar yang harus dijamin negara untuk seluruh warga. Akibatnya, distribusi pangan tidak merata dan rawan spekulasi karena mengikuti logika keuntungan, bukan asas keadilan dan keberlanjutan. Ketika mengalami gangguan distribusi atau permainan harga oleh pihak-pihak tertentu, negara sering kali bersikap pasif dan membiarkan mekanisme pasar bekerja. Alih-alih turun tangan langsung untuk menjamin kestabilan harga dan ketersediaan stok bagi masyarakat.

Hal ini menunjukkan, bahwa negara dalam sistem kapitalisme berperan sebagai fasilitator untuk kepentingan ekonomi para pemilik modal daripada melindungi rakyat dari gejolak harga dan kelangkaan. Sistem kapitalisme telah menjadikan akses terhadap pangan sangat bergantung pada kemampuan membeli, bukan pada kebutuhan mendesak. Akibatnya, rakyat kecil menjadi pihak yang terdampak dari fluktuasi harga yang tidak menentu, terpinggirkan dari akses terhadap kebutuhan pokok, dan terus-menerus berada dalam ketidakpastian akan kecukupan pangan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ini menunjukkan, bahwa dalam sistem kapitalisme, kepentingan ekonomi diutamakan dibanding kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Maka, berharap kedaulatan dan keadilan pangan dalam sistem ini adalah suatu hal yang mustahil.

Kondisi di atas, sangat berbeda dengan negara yang menjadikan aturan Islam sebagai satu-satunya pijakan. Dalam Islam, negara memiliki kewajiban syar'i untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, termasuk pangan. Pangan tidak dipandang sebagai komoditas dagang demi keuntungan, melainkan sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi negara.

Oleh karena itu, negara akan mengelola produksi, distribusi, dan cadangan pangan secara langsung demi kemaslahatan rakyat. Negara akan memberikan berbagai dukungan kepada para petani, seperti subsidi bibit serta sarana produksi pertanian secara cuma-cuma. Hal ini dilakukan untuk memastikan hasil produksi, seperti beras memiliki kualitas yang baik dan mencukupi kebutuhan rakyat. Dukungan ini juga akan meringankan beban petani dan mendorong keberlangsungan dalam sektor pertanian sebagai tulang punggung ketahanan pangan negara.

Selain itu, negara akan membangun infrastruktur yang mendukung pertanian dan memudahkan terjadinya distribusi hingga ke wilayah terpencil. Negara akan menerapkan kebijakan larangan penimbunan yang dapat menyebabkan kelangkaan barang dan lonjakan harga yang wajar. Dalam Islam, praktik penimbunan jelas diharamkan. Sebagaimana sabda Nabi saw., "Barangsiapa menimbun makanan (dengan maksud menaikkan harga dan merugikan masyarakat) maka ia berdosa." (HR. Muslim).

Dengan distribusi yang berjalan dengan lancar dan adil, harga pangan akan terus stabil dan seluruh lapisan masyarakat terutama yang miskin akan tetap dapat mengakses kebutuhan pokok mereka tanpa kesulitan. Begitu juga sebagai kepala negara, tidak boleh lepas tangan dari urusan rakyatnya. Kebutuhan dasar seperti pangan, harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan negara dan memastikan harga barang-barang di masyarakat terbentuk secara alami melalui mekanisme pasar, tanpa adanya intervensi negara dalam bentuk pematokan harga.
Wallahualam bissawab.[US]

Baca juga:

0 Comments: