Headlines
Loading...

Oleh. Eka Suryati
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Dalam kehidupan ini, ada cinta yang begitu tulus. Di balik kehidupan yang kita jalani, ada pengorbanan yang tidak terlihat. Rasulullah saw. merangkumnya dalam satu jawaban yang diulang tiga kali saat ditanya siapa yang paling layak diperlakukan dengan baik: 'Ibumu, ibumu, ibumu.' Ini bukan sekadar petunjuk etika, tapi fondasi spiritual dalam Islam tentang siapa yang patut kita cintai melebihi yang lain setelah Allah dan Rasul-Nya.

Jauh dari masa Rasul, lalu ada sebuah video yang begitu mengiris hati —ada seorang anak yang telah dibesarkan dengan air mata dan peluh oleh ibunya— tega membuang ibunya sendiri seperti sampah tak berguna. Hati ini seakan remuk oleh kenyataan pahit zaman ini. Betapa cepat manusia melupakan tangan yang dulu menggendongnya, dada yang menjadi sandaran tangisannya, dan doa yang siang malam tak henti dipanjatkan untuk keselamatannya. Di tengah gemerlap modernitas dan egoisme yang kian menebal, akhlak dasar seperti bakti kepada orang tua kini mulai luntur. Padahal Rasulullah saw. telah menegaskan, “Ibumu, ibumu, ibumu,” sebelum menyebut ayahmu —sebuah pengulangan yang menegaskan betapa mulianya posisi ibu dalam Islam— dan betapa besarnya dosa ketika seorang anak menelantarkan orang yang paling berjasa dalam hidupnya.

Seorang ibu bernama Nasikah, berumur 74 tahun, dititipkan oleh dua anak perempuannya ke "Lansia Griya", sebuah panti jompo untuk merawat para lansia. Tapi, sungguh tak pantas! Terlalu sopan jika dikatakan mereka menitipkan ibunya ke panti tersebut. Lebih tepatnya mereka membuang ibu mereka, karena faktanya mereka membuat surat perjanjian di atas materai yang menyatakan bahwa mereka menyerahkan secara total ke panti asuhan tersebut. (Inews.id, 1/7/2025).

Ada kata-kata yang begitu mengusik hati nurani, membuat banyak orang geram saat membaca surat perjanjian yang mereka buat. Dua anak Ibu Nasikah tersebut mengatakan bahwa mereka tak perlu diberi kabar, saat ibunya meninggal. Langsung dikuburkan saja, tulis mereka tanpa perasaan. Di mana hati mereka tergadai, saat mereka menulis kata demi kata pada surat pernyataan tersebut.

Kisah tragis yang dialami Ibu Nasikah, bukan sekadar potret keterasingan seorang ibu, tetapi juga sebagai tanda rusaknya sistem kehidupan yang menelantarkan nilai-nilai Islam dalam masyarakat. Peristiwa ini lahir dari pola pikir, sistem pendidikan, dan lingkungan sosial yang secara sadar maupun tidak, dibentuk oleh ideologi sekuler dan turunannya yaitu kapitalisme.

Sistem sekuler telah menjauhkan manusia dari nilai-nilai Ilahiyah. Agama dipersempit hanya menjadi urusan pribadi antara hamba dan Tuhan, tanpa campur tangan dalam urusan sosial, keluarga, pendidikan, bahkan ekonomi. Dalam paradigma sekuler, agama tidak lagi menjadi dasar dalam mendidik anak. Ajaran tentang birrul walidain (berbakti pada orang tua) hanya menjadi nilai moral opsional, bukan kewajiban spiritual yang mulia. Ukuran kebahagiaan bergeser menjadi materi, kebebasan, dan kenyamanan hidup pribadi, bukan rida orang tua atau rida Allah.

Akibatnya, ketika seorang anak dewasa dan mampu secara ekonomi, ia tidak lagi merasa bertanggung jawab pada orang tuanya yang telah menua. Ibu dan ayah dipandang sebagai beban, bukan ladang pahala.

Kapitalisme lahir dari rahim sekularisme. Dalam sistem ini, nilai manusia diukur dari kemampuan menghasilkan uang. Yang tua, lemah, dan tak lagi produktif sering dianggap beban ekonomi. Orang tua yang telah berusia lanjut, tak lagi dihormati. Mereka dianggap merepotkan dalam kehidupan urban modern.

Bagi anak-anak Ibu Nasikah, mungkin keberadaan ibu dianggap mengganggu kestabilan ekonomi mereka, menyita waktu, dan tidak mendatangkan manfaat duniawi. Maka jalan pintasnya, diserahkan ke panti, bahkan tanpa hak atas kabar kematian. Ini adalah wajah kapitalisme dalam realitas sosial, dingin, individualistik, dan transaksional.

Islam Menyelamatkan Nurani dan Martabat Orang Tua

Solusi hakiki dari tragedi seperti yang dialami Ibu Nasikah hanya bisa terwujud dengan kembalinya manusia kepada sistem hidup Islam secara kafah, dengan sistem yang membentuk pola pikir, pola sikap, dan struktur kehidupan berdasarkan wahyu, bukan hawa nafsu atau untung rugi materi.

Sistem sekuler mencabut akar iman dari proses pendidikan, maka tak heran jika anak tumbuh tanpa ikatan ruhiyah kepada orang tuanya. Dalam sistem Islam, pendidikan bukan sekadar mengejar gelar dan karir, tapi membentuk manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai hamba dan anak. Islam memerintahkan agar anak dididik sejak dini dengan akidah yang kuat, akhlak mulia, dan pemahaman bahwa birrul walidain adalah kewajiban yang langsung terikat dengan rida Allah

Dalam Islam, keluarga adalah institusi sakral yang dilindungi oleh aturan syariat. Anak tidak dibenarkan meninggalkan orang tua, apalagi menelantarkannya. Negara Islam (Khilafah) akan menegakkan hukum syar’i atas kasus durhaka, bahkan bisa menjatuhkan sanksi jika seorang anak terbukti abai terhadap orang tuanya yang lansia. Masyarakat juga berperan sebagai kontrol sosial dan spiritual, bukan ikut-ikutan membenarkan budaya membuang orang tua ke panti.

Islam menjadikan negara bukan hanya sebagai regulator, tapi pelayan umat (ra’in). Negara Islam menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, termasuk perawatan lansia yang tidak memiliki penanggung nafkah, tanpa menggugurkan kewajiban anak. Dengan ekonomi Islam yang berbasis distribusi, bukan akumulasi kapital, tidak akan muncul alasan “tidak mampu” merawat orang tua.

Islam memandang manusia bukan dari manfaat ekonominya, tapi dari nilai kemuliaan sebagai makhluk Allah. Sistem Islam memuliakan yang muda dan yang tua, yang kuat maupun yang lemah. Ketika sistem kapitalis dibongkar dan diganti dengan sistem Islam yang rahmatan lil 'alamin, maka lansia tidak lagi tersingkir, tapi dimuliakan sebagai sumber berkah dan ladang amal anak-anaknya.

Kembalilah kepada Islam yang kafah, agar anak-anak tak lagi membuang ibu mereka, dan umat tak lagi membuang agamanya.

Kotabumi, 28 Juni 2025 [An]

Baca juga:

0 Comments: