Oleh. Aan Nurhasanah
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Kenaikan beras yang terjadi pada pekan kedua Juni, menjadi keluhan masyarakat. Meskipun stok beras diklaim melimpah, terdapat sekitar 133 kabupaten/kota yang mengalami kenaikan harga beras. Harga beras melampaui HET (Harga Eceran Tertinggi), dan ini sangat memberatkan rakyat kecil.
Prof. Lilik Sutarso, guru besar Universitas Gajah Mada (UGM), mengatakan bahwa kenaikan harga beras sangat tidak masuk akal mengingat tahun ini produksi beras nasional dalam kondisi memuaskan, di mana stok cadangan beras pemerintah tahun ini adalah yang tertinggi sepanjang sejarah. Anomali semacam ini tidak boleh dibiarkan karena merugikan masyarakat dan juga para petani. Berdasarkan analisanya, hal itu terjadi karena adanya ketidaknormalan dalam proses distribusi beras sehingga menyebabkan harga naik di pasar, meskipun stok beras cukup.
Kendati begitu, Prof Lilik mengatakan kenaikan harga beras di tengah melimpahnya stok cadangan beras pemerintah atau CBP berpotensi menimbulkan masalah besar (Beritasatu.com, 19/6/2025).
Negeri yang kaya akan sumber daya alam, tapi rakyatnya seolah susah untuk sekadar membeli beras. Harga beras yang seharusnya bisa dengan mudah dan murah didapat, pada faktanya rakyat masih banyak yang tidak mampu untuk membelinya.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Inilah yang seharusnya jadi topik pembahasan. Kebijakan yang mewajibkan Bulog menyerap (membeli) beras/gabah dari petani dalam jumlah besar, untuk cadangan pangan nasional justru menciptakan penumpukan stok di gudang. Bulog yang seharusnya dapat menjaga harga beras tetap stabil dan terjangkau, sebagai akibat adanya penumpukan di gudang menyebabkan Bulog memerlukan biaya besar, di antaranya untuk biaya operasional seperti penyimpanan maintenance gudang, listrik, SDM, serta pengendalian hama rutin (fumigasi) sehingga memengaruhi harga beras di pasaran.
Pengelolaan Pangan ala Kapitalisme
Pengelolaan pangan yang dikuasai oleh swasta atau korporasi besar yang tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya, bukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat secara merata. Produksi, distribusi, dan penjualan pangan dikendalikan oleh perusahaan besar, sehingga petani kecil berada pada posisi lemah dan bergantung pada perusahaan. Ditambah lagi produksi skala besar menggunakan teknologi tinggi dan petani kecil sulit bersaing tanpa modal dan teknologi yang sama.
Bagi para pemilik modal pangan dipandang bukan sebagai hak dasar manusia, melainkan menjadi komoditas yang diperdagangkan di pasar global, pemerintah juga tidak menetapkan harga minimum gabah/pangan, yang menyebabkan petani menjual di harga pasar bebas meskipun sangat rendah.
Dalam kapitalisme, harga dan jumlah barang di pasar ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran, tanpa campur tangan pemerintah. Sebagai contoh, jika barang langka tapi dibutuhkan banyak orang, maka harga melonjak. Sebaliknya, jika barang melimpah tapi tidak laku, maka harga turun drastis.
Itulah ciri pengelolaan pangan dalam sistem kapitalisme yang tidak prorakyat, tetapi tunduk pada mekanisme pasar dan kepentingan elite. Alhasil, rakyat miskin menjadi korban fluktuasi harga.
Pengelolaan Pangan dalam Islam
Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), pemenuhan kebutuhan pokok rakyat adalah kewajiban negara dan menjadi penanggung jawab utama untuk menjamin kebutuhan pokok setiap individu, seperti pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Sebagaimana berdasarkan hadis:
"Imam (Khilafah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Khilafah (negara) akan memberikan subsidi kebutuhan bertani seperti pupuk, bibit, dan lainnya kepada para petani secara cuma-cuma untuk menjamin kualitas beras yang dihasilkan. Khilafah akan memastikan distribusi merata dan harga barang-barang yang tersedia di masyarakat mengikuti mekanisme pasar, sehingga harga stabil dan rakyat terjamin.
Khilafah juga mengatur distribusi harta agar tidak terpusat pada orang kaya saja. Melalui zakat, sedekah, infak, wakaf, dan sistem waris Islam serta mengelola sumber daya alam sebagai kepemilikan umum yang dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat, bukan diprivatisasi.
Khilafah akan mengatur pasar sesuai syariat, di antaranya melarang penimbunan, sehingga harga barang terkendali, juga akan membantu rakyatnya jika ada yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya melalui Baitulmal.
Maka, sudah saatnya kita beralih kepada sistem yang sudah terbukti dapat menyejahterakan rakyatnya, bukan sistem saat ini yang hanya tambal sulam regulasi, tidak mengakar pada solusi yang hakiki. Namun, sangat disayangkan masyarakat saat ini sudah terjebak pada sistem yang rusak dan merusak, ini menjadi tugas bagi yang sudah paham untuk berjuang bersama mendakwahkan indahnya sistem pemerintahan Islam yang bersumber dari wahyu Ilahi.
Wallahualam bissawab. [An]
Baca juga:

0 Comments: