Menyoal Sambutan Hangat terhadap Pemimpin Negara yang Islamofobia
Oleh. Aqila Fahru
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Presiden Prancis Emmanuel Macron, melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada 27-29 Mei 2025, untuk memperkuat hubungan bilateral melalui berbagai kesepakatan strategis di sektor energi, infrastruktur, kesehatan, dan budaya. Kedatangannya disambut hangat oleh Presiden Prabowo Subianto, di Istana Merdeka, Jakarta. Macron didampingi Ibu Negara Brigitte Macron, dalam upacara kenegaraan yang diwarnai penghormatan 21 tembakan meriam serta kibaran bendera kedua negara (Tempo.co, 30/05/2025).
Penyambutan yang hangat dan penuh penghormatan terhadap kepala negara Prancis di negeri Muslim, patut menjadi perhatian serius. Prancis adalah salah satu negara yang secara konsisten menerapkan kebijakan yang memperkuat islamofobia. Pelarangan hijab, penghinaan terhadap nabi Muhammad Saw., melalui publikasi kartun, serta berbagai kebijakan lain yang membatasi hak-hak muslim adalah bukti nyata bagaimana negara ini telah mengambil langkah-langkah yang merugikan Islam dan umatnya.
Bagi umat Islam, hubungan antarnegara tidak semestinya hanya dilihat dalam kerangka manfaat ekonomi atau politik semata, sebagaimana yang terjadi dalam sistem sekuler kapitalisme. Dalam sistem ini, kepentingan nasional sering kali diutamakan tanpa mempertimbangkan aspek moral dan prinsip agama. Akibatnya, negara-negara muslim cenderung mengabaikan sikap negara lain terhadap Islam demi menjaga kepentingan pragmatis. Padahal, sebagai negeri dengan mayoritas muslim, seharusnya para pemimpin negeri ini mengambil sikap tegas dalam membela kemuliaan agama dan umat.
Islam memberikan pedoman yang jelas tentang bagaimana bersikap terhadap pihak yang memusuhi agama Allah. Terlebih, jika kebijakan yang mereka buat secara langsung menekan umat Islam, membatasi kebebasan beribadah, atau bahkan mendukung penjajahan seperti yang dialami Palestina. Islam membagi dunia menjadi dua kategori utama: darul Islam (wilayah Islam) dan darul kufur (wilayah non-Islam). Hubungan dengan negara kafir ditentukan berdasarkan posisi mereka terhadap Daulah Islam, bukan sekadar kepentingan politik atau ekonomi. Panduan ini seharusnya menjadi pedoman bagi setiap muslim, terutama para pemimpin yang bertanggung jawab dalam menjaga kehormatan umat.
Sejarah mencatat bagaimana para khalifah Islam bersikap tegas, terhadap negara penjajah dan kebijakan-kebijakan mereka yang merendahkan Islam. Para pemimpin muslim dahulu, tidak tunduk kepada tekanan asing, melainkan berdiri teguh dalam menjaga kepentingan umat. Mereka membangun hubungan internasional berdasarkan keadilan dan kekuatan Islam, bukan sekadar kepentingan ekonomi atau diplomasi yang bisa berubah sewaktu-waktu.
Jika umat Islam memiliki negara yang kuat dan berpengaruh dalam konstelasi politik dunia, maka hubungan antarnegara akan berbeda. Negara muslim yang kokoh, akan memiliki posisi tawar yang lebih besar dalam membela hak-hak umat Islam secara global. Hal ini pernah terjadi dalam sejarah Islam, ketika kekhilafahan berdiri sebagai kekuatan besar yang dihormati dunia.
Memang, kondisi ini tidak dapat terwujud tanpa perjuangan. Umat Islam harus kembali berjuang untuk mewujudkan kekhilafahan yang mampu menjadi pelindung sejati bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Negara adidaya ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat kekuasaan politik, tetapi juga sebagai penjaga agama, pemersatu umat, dan penegak keadilan bagi muslim yang tertindas. Dengan sistem Islam yang diterapkan secara menyeluruh, umat Islam dapat memperoleh kembali kejayaan dan kehormatan sebagaimana yang pernah diraih oleh generasi sebelumnya. [US]
Baca juga:

0 Comments: