Oleh. Hana Salsabila A.R
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Virus judi online (judol) kini telah menjangkit luas di tengah masyarakat dan menjadi masalah akut bagi negara ini. Dampak yang ditimbulkannya pun cukup krusial, merusak logika dan hati nurani hingga melahirkan berbagai jenis kriminalitas. Iklan judol juga merebak di berbagai sosial media. Alih-alih musnah, justru virus judol kini malah menyasar hingga anak-anak.
Dilansir dari BeritaSatu.com, 19 Mei 2025, Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) per 8 Mei 2025 mencatat sekitar 197.054 anak usia 10–19 tahun terlibat dalam aktivitas judol, dengan nilai deposit mencapai Rp50,1 miliar pada triwulan I-2025.
Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan pecandu judol juga merambah sampai ke pelajar dan anak sekolah. Padahal pada masa-masa inilah otak sedang gencar-gencarnya untuk belajar dan menuntut ilmu, tetapi dirusak oleh virus judol. Akibatnya waktu belajar mereka berantakan, perkembangan mental mereka terganggu bahkan bisa jadi sampai menderita kerusakan dini. Meskipun pemerintah melalui Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas) telah mewajibkan penyelenggara sistem elektronik (PSE) membatasi akses digital anak, melindungi data pribadi, serta ikut meningkatkan literasi digital.
PPATK menegaskan, problem yang mengkhawatirkan ini secara simultan berhasil ditekan oleh Satgas Pemberantasan Judi Online yang diketuai oleh Menko Polkam. Polri, Komdigi, OJK, Bank Indonesia, PPATK dan seluruh anggota Satgas yang berjibaku menjalankan perintah Presiden Prabowo Subianto untuk membasmi judol (cnbcIndonesia.com, 8-5-2025).
Faktanya, upaya tersebut masih sangat jauh dari nilai berhasil. Iklan-iklan judol masih banyak bertebaran di sosial media dan gim dengan tampilan visual yang unik juga memancing rasa penasaran. Tak luput tawaran judol berkedok pekerjaan pada lapak-lapak online yang menggiurkan. Jangankan anak-anak, orang tua saja masih bisa termakan umpan.
Dalam hal ini, perlu dipertanyakan bagaimana sebenarnya upaya negara dalam memberantas kasus judol? Bagaimana akses judol masih ada yang terlepas pengawasan, padahal ini bisa dibilang isu yang sudah cukup lama mengakar?
Sistem Kapitalisme menjadi alasan terhambatnya penyelesaian kasus judol. Tidak ada solusi sistematis dan solutif dari negara, masyarakat memang diarahkan agar tidak tercebur kesana, tapi akses ke sana masih dibiarkan terbuka. Lagipula, Keuntungan yang diraih dari judol cukup besar, bahkan tak ayal apabila menemukan kasus sekelas bangku pejabat pernah terciduk main judol. Lantas bagaimana mau mendidik dan menjaga anak agar tak tersandung pada lubang yang sama?
Solusi hanyalah ilusi dalam Kapitalisme, makanya kita butuh pendidikan sekaligus hukum yang jelas dan konkrit. Dalam Islam, judi diharamkan secara mutlak. Maka sedari dini, hal tersebut wajib diajarkan dan anak-anak harus selalu berada di bawah pengawasan orang tua.
Pendidikan Islam akan membentuk pribadi-pribadi yang takwa. Selain mendidik individunya, negara juga turut tegas dalam membentuk hukum aturan. Melarang tegas dan memblokir segala akses terhadap judol, juga menyediakan pendidikan Islam untuk masyarakat. Karena sekali lagi, peran negara seharusnya adalah pelindung, junnah (perisai) bagi rakyatnya. Wallahualam. [ry]
Baca juga:

0 Comments: