Headlines
Loading...
Harga Beras Terbang, di Mana Negara?

Harga Beras Terbang, di Mana Negara?


Oleh. Rini Sulistiawati
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Aku seorang ibu. Seperti jutaan ibu lain di negeri ini, aku hanya ingin satu hal: anak-anak bisa makan dengan layak. Tapi entah mengapa, akhir-akhir ini belanja ke warung rasanya seperti ikut lomba menahan napas. Harga beras makin tinggi, dan aku tak tahu lagi harus mengurangi apa. Kadang masak nasi dengan garam saja sudah jadi kemewahan. Padahal katanya, stok beras melimpah.

Menurut Bisnis.com, 16 Juni 2025, lebih dari 130 kabupaten dan kota mengalami kenaikan harga beras. Bahkan, seorang Guru Besar dari UGM seperti diberitakan BeritaSatu, 18 Juni 2025, bilang bahwa ini semua tidak masuk akal — stok berlimpah kok harga naik?

Aku bukan ekonom, tapi sebagai ibu, aku tahu ada yang salah. Kami bukan sekadar angka di layar statistik. Kami manusia yang perutnya bisa keroncongan.

Lalu aku membaca berita lagi. Ternyata Bulog menyerap gabah petani dalam jumlah besar, tapi stoknya menumpuk di gudang. Alhasil, suplai ke pasar tersendat dan harga jadi naik terus. Makin bingung rasanya. Apa gunanya panen bagus kalau berasnya tak sampai ke piring kami?

Sebagai rakyat biasa, rasanya kami sudah terlalu sering diminta sabar. Sabar saat harga naik. Sabar saat subsidi dicabut. Sabar saat kebijakan berubah-ubah. Tapi perut anak-anak tidak bisa disuruh sabar. Mereka butuh makan, bukan pengumuman.

Masalahnya bukan cuma soal distribusi. Ini soal sistem. Kami hidup dalam dunia yang memperlakukan beras seperti barang dagangan, bukan kebutuhan pokok. Dalam sistem kapitalisme, beras hanyalah komoditas yang bisa dimainkan di pasar. Negara hanya jadi pengatur, bukan penjamin. Si miskin harus pasrah kalau harga melambung, sementara yang kaya tetap bisa berpesta.

Kadang terbayang, kalau keadaan terus seperti ini, para ibu akan turun ke jalan. Bukan untuk rusuh, tapi untuk bersuara. Membawa kardus bekas bertuliskan tangan gemetar:
“Turunkan harga beras!”
“Anak kami kelaparan!”
“Kami tak butuh janji!”
“Kami butuh harga beras yang manusiawi!”

Tapi entah sampai kapan suara itu akan terdengar. Air mata di dapur tak pernah sampai ke ruang rapat ber-AC. Mungkin karena penderitaan rakyat kecil tak dianggap penting, atau memang sudah dianggap biasa.

Maka, jika ingin benar-benar mengakhiri semua ini, kita harus berani bicara tentang perubahan sistem.

Islam, dengan sistem pemerintahannya Khilafah, telah meletakkan dasar yang adil dalam mengurus urusan pangan. Dalam Khilafah, negara wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat, termasuk pangan. Negara tidak boleh menyerahkan beras ke tangan pasar bebas. Produksi, distribusi, dan cadangan pangan dikelola langsung oleh negara, bukan oleh tengkulak atau spekulan.

Petani akan dibantu tanpa pamrih. Negara akan menyediakan bibit, pupuk, dan alat pertanian secara gratis. Penimbunan akan dilarang keras, dan distribusi dijamin merata. Harga tidak ditetapkan pemerintah, tapi dibiarkan mengikuti pasar alami yang bersih dari manipulasi—sebagaimana syariat Islam mengajarkan. Maka kestabilan harga bukan hasil kebetulan, tapi buah dari sistem yang benar.

Inilah solusi sesungguhnya. Bukan tambal sulam. Bukan janji kampanye. Tapi perubahan arah hidup bangsa. Karena kami para ibu tak ingin lagi menanak air demi menenangkan anak-anak yang menangis lapar. []

---

Tentang Penulis:
Penulis adalah seorang ibu dari lima anak, pendakwah, dan pendongeng yang peduli terhadap nasib umat. Suaranya lahir dari dapur sempit, dari peluh perjuangan, dan dari cinta yang dalam terhadap generasi masa depan Islam.

Baca juga:

0 Comments: