Headlines
Loading...
Harga Beras Melambung, Siapa Untung?

Harga Beras Melambung, Siapa Untung?

Oleh. Indri Wulan Pertiwi
(Aktivis Muslimah Semarang)

SSCQMedia.Com—Masalah kenaikan harga beras di tengah melimpahnya stok bukanlah semata-mata persoalan teknis atau kebijakan parsial yang dapat diatasi dengan solusi jangka pendek seperti penyaluran bantuan pangan.

Permasalahan ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam pengelolaan pangan di Indonesia, yang tunduk pada logika ekonomi kapitalis yang mengutamakan keuntungan daripada kesejahteraan rakyat

Sebuah paradoks terjadi di pasar beras Indonesia. Meskipun Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyatakan stok beras cukup (49.960 ton di Pasar Induk Beras Cipinang), harga beras justru meningkat di 133 kabupaten/kota pada pekan kedua Juni 2025 (data BPS), naik dari 119 kabupaten/kota pekan sebelumnya. 

Khudori Pengamat dari AEPI menilai hal ini disebabkan oleh penumpukan stok di Bulog yang menyebabkan harga beras medium dan premium berada di atas HET selama berbulan-bulan.  Sebagai solusi sementara, diusulkan penyaluran bantuan beras (10 kg/keluarga) melalui program SPHP, namun solusi jangka panjang tetap krusial (bisnis.com, 17-06-2025).

Sistem pengelolaan beras berbasis Kapitalisme menimbulkan tantangan serius bagi ketahanan pangan dan stabilitas harga. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, salah satu penyebab utama ketidakstabilan harga beras adalah kebijakan penyerapan gabah oleh Badan Urusan Logistik (Bulog). Kebijakan ini awalnya dirancang untuk menjamin kesejahteraan petani dengan cara menyerap hasil panen mereka secara langsung. Namun, pada praktiknya kebijakan tersebut justru menyebabkan penumpukan stok beras di gudang-gudang Bulog. Hal ini memicu terjadinya gangguan dalam rantai suplai beras ke pasar domestik, sehingga harga beras di tingkat konsumen mengalami kenaikan yang signifikan.

Selain itu, menciptakan ketidakseimbangan dalam distribusi beras. Meski secara kuantitas stok beras tersedia, distribusinya menjadi tidak merata dan tidak optimal. Akibatnya, daerah-daerah tertentu mengalami kelangkaan beras sementara di sisi lain stok malah menumpuk. Kondisi ini tentunya berdampak langsung pada harga jual di pasar, yang pada akhirnya memberatkan konsumen terutama kelompok menengah ke bawah.

Permasalahan ini memperlihatkan bahwa strategi pengelolaan pangan yang tidak terintegrasi dengan baik dapat berujung pada konsekuensi negatif yang tidak diharapkan.

Lebih jauh, fenomena ini sekaligus menjadi cerminan bagaimana sistem Kapitalisme memengaruhi pengelolaan pangan secara umum. Dalam sistem Kapitalisme, pangan tidak lagi dipandang sebagai kebutuhan dasar atau hak fundamental rakyat yang harus dipenuhi oleh negara, melainkan sebagai komoditas yang diperjualbelikan di pasar dengan tujuan utama mendapatkan keuntungan materi semata.

Oleh karena itu, keputusan-keputusan yang diambil dalam pengelolaan pangan sangat dipengaruhi oleh mekanisme pasar dan sering kali mengakomodasi kepentingan elit ekonomi, baik pelaku bisnis besar maupun pemilik modal, dibandingkan memprioritaskan kesejahteraan rakyat secara luas.

Dalam sistem Kapitalisme, negara biasanya berperan sebagai regulator pasar yang mengatur aturan main agar pasar berjalan, namun tidak terlibat langsung dalam menjamin ketersediaan dan keterjangkauan pangan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Akibatnya, ketika terjadi fluktuasi harga yang tajam dan tidak terkendali, kelompok masyarakat paling rentan, yaitu golongan kelas bawah dan miskin, menjadi korban utama.  Kondisi ini memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi serta menimbulkan tekanan sosial yang berat di masyarakat.

Dengan demikian, pengelolaan beras yang berparadigma Kapitalisme menimbulkan dilema struktural dalam upaya mencapai ketahanan pangan dan stabilitas harga. Ketergantungan pada mekanisme pasar tanpa peran negara yang aktif sebagai penjamin utama kebutuhan pokok rakyat berpotensi menimbulkan masalah jangka panjang yang serius, terlebih di negara yang mayoritas penduduknya masih bergantung pada beras sebagai makanan pokok utama.

Fenomena ini menegaskan perlunya pemikiran ulang dan alternatif solusi yang mampu mengatasi kelemahan-kelemahan yang inheren dalam sistem Kapitalisme demi terciptanya pengelolaan pangan yang lebih adil, berkelanjutan, dan berpihak kepada seluruh lapisan masyarakat.

Pengelolaan Pangan dalam Khilafah 

Berbeda dengan sistem Kapitalisme, dalam institusi negara Khilafah, negaralah  pemegang peranan yang sangat krusial dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, termasuk pangan. Dengan secara langsung mengelola seluruh aspek produksi, distribusi, dan penyimpanan pangan secara menyeluruh untuk menghindari distorsi pasar yang merugikan masyarakat.

Pengelolaan ini dilakukan dengan prinsip kesejahteraan bersama dan keadilan sosial, bukan semata-mata memperhitungkan keuntungan materi.

Lebih jauh lagi, Khilafah menyediakan berbagai dukungan berupa subsidi bibit, pupuk, dan fasilitas pertanian lainnya secara cuma-cuma guna memastikan kualitas dan kuantitas produksi beras tetap optimal. Kebijakan ini tidak hanya memperkuat ketahanan pangan nasional, tetapi juga menjaga kesejahteraan petani sebagai produsen utama. Selain itu, negara juga melarang praktik penimbunan komoditas pangan dan menegakkan distribusi yang merata ke seluruh lapisan masyarakat agar harga tetap stabil dan tidak merugikan konsumen. Mekanisme ini berlandaskan pada prinsip keadilan dan kepedulian sosial yang tinggi.

Uniknya, Khilafah menerapkan prinsip penyesuaian harga berdasarkan mekanisme pasar alami yang bebas dari intervensi pemerintah yang bersifat sewenang-wenang. Hal ini sejalan dengan ajaran syariat Islam yang menolak manipulasi harga secara paksa dan eksploitatif. Dengan demikian, harga beras dan kebutuhan pokok lainnya mengikuti dinamika pasar yang wajar, diiringi pengawasan agar terhindar dari praktik spekulasi dan monopoli yang merusak.
Sistem ini memungkinkan harga tetap adil bagi penjual dan pembeli sekaligus menjamin kestabilan ekonomi makro.

Oleh karena itu, solusi jangka panjang untuk mengatasi masalah kenaikan harga beras dan ketidakadilan distribusi pangan tidak cukup hanya dengan melakukan penanganan parsial atau memberlakukan regulasi sementara. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa tanpa perubahan sistemik yang mendasar, persoalan ini akan terus berulang. Hal ini memerlukan sebuah transformasi menyeluruh yang melibatkan kerangka aturan dan kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial, keberlanjutan, dan kedaulatan pangan, sebagaimana yang ada dalam penerapan sistem Islam kafah, agar semua lapisan masyarakat dapat menikmati pangan yang terjangkau dan berkualitas secara berkesinambungan.
Wallahu'alam bissawab. [ry].

Baca juga:

0 Comments: