Pengangguran Bertambah di Tengah Kekayaan yang Melimpah
Oleh. Windry Lestari, ST
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Menyedihkan, Indonesia menjadi negara dengan angka pengangguran tertinggi di Asia Tenggara per April 2024. Pernyataan ini dilansir dari laporan International Monetary Fund (IMF) (Kompas.com, 30 April 2025). IMF memperkirakan di tahun 2025 persentase tersebut akan terus meningkat. Sebelumnya, Badan Pusat Statistika pada tahun 2023 mencatat ada sekitar 22 persen dari 44 juta orang yang terkategori Gen Z di Indonesia adalah pengangguran.
Baru-baru ini kita mendengar dua pabrik besar menghentikan produksinya, menyebabkan sekitar 2500 buruh kehilangan sumber pendapatan. Kedua perusahaan itu adalah PT. Sanken Indonesia yang berada di Cikarang, Jawa Barat dan PT. Danbi International di Garut, Jawa Barat. Sementara, awal Maret 2025, PT. Sritex di kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah beserta anak perusahaannya resmi berhenti beroperasi karena dinyatakan pailit oleh pengadilan.
Tingginya angka pengangguran tentu mengancam keberlangsungan hidup masyarakat, serta menunjukkan ketidakseimbangan jumlah lapangan pekerjaan dengan jumlah tenaga siap kerja setiap tahunnya. Sedihnya, demi bertahan hidup di antara mereka (termasuk lulusan sarjana dan diploma) terpaksa banting setir menjadi asisten rumah tangga, pengasuh anak, sopir, pramusaji, bahkan pramukantor. Tentu apa yang mereka dapatkan tidak sebanding dengan yang mereka korbankan selama menempuh pendidikan yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Kalaupun mereka bekerja di perusahaan, gaji yang diterima juga tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya.
Eksploitasi Pemilik Modal
Sesungguhnya, persoalan ketersediaan lapangan pekerjaan erat kaitannya dengan sistem ekonomi yang diterapkan oleh sebuah negara. Sistem ekonomi kapitalisme yang diadopsi Indonesia menjadi rujukan perekonomian. Investasi dan swastanisasi dijadikan sebagai dasar kebijakan negara dalam menentukan arah ekonomi, termasuk menciptakan lapangan pekerjaan. Akibatnya, penyerapan tenaga kerja hanya bertumpu pada kebutuhan pasar industri. Dan industri dalam sistem kapitalisme bertumpu pada profit oriented, ditambah cara pandang yang menjadikan pekerja sebagai faktor produksi yang biayanya bisa ditekan seminimal mungkin. Muncullah kebijakan minim jumlah pekerja, maksimal beban kerja dengan upah minimun yang keberadaannya dianggap tidak adil. Maka, setiap tanggal 1 Mei yang dinobatkan sebagai Hari Buruh, tak luput dari aksi demostrasi meminta hak kenaikan upah.
Sistem ekonomi kapitalis juga melegalkan sumber daya alam dikuasai oleh asing atas nama investasi. Padahal, itu merupakan bentuk privatisasi yang melemahkan perekonomian rakyat untuk mengisi pundi-pundi kekayaaan para pemilik modal. Indonesia yang merupakan negara kaya akan sumber daya alam, mulai dari hasil perkebunan, pertanian, perikanan, peternakan, hutan, hingga pertambangan minyak bumi, batu bara, gas alam, emas, nikel dan tembaga, kenyataannya sebagian besar dikuasai oleh perusahaan asing.
Swastanisasi sudah pasti menimbulkan ketidakadilan, jika tidak ingin disebut pelanggaran syariat. Karena keuntungan dari sumber daya alam hanya dinikmati oleh pihak swasta, sementara masyarakat yang harusnya memiliki hak atas sumber daya alam tidak mendapatkan manfaat, bahkan untuk sekedar mendapatkan pekerjaan. Terdapat data yang cukup mengejutkan terkait investasi China di sektor tambang nikel, yaitu setidaknya 14.046 tenaga kerja China mendarat di Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, sepanjang tahun 2021. Dari jumlah sebesar itu, tak sedikit yang merupakan buruh kasar, dan bukan pekerja dengan keahlian tertentu. (Kumparan, 13/01/22)
Bekerja dan Lapangan Kerja dalam Islam
Sejatinya, Indonesia sebagai negara mayoritas penduduknya muslim bisa menurunkan angka pengangguran bahkan tidak ada sama sekali, jika negara kembali pada fitrahnya. Yaitu menjadi negara raaÃn (pengurus rakyat). Negara raaÃn akan mengurus rakyat dan tidak berlepas tangan dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya termasuk membuka lapangan kerja. Hal itu dijalankan negara untuk memenuhi seruan Allah Swt.
Sabda Rasulullah saw dalam sebuah hadis: ”Seorang imam (kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Rasulullah saw sebagai kepala negara Islam di Madinah saat itu memberi teladan langsung bagaimana negara bertanggung jawab menyediakan lapangan pekerjaan untuk rakyatnya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah mengisahkan, Rasulullah memberi contoh kepada seorang Anshar yang tidak punya pekerjaan untuk berusaha mencari nafkah. Nabi memberikannya dua dirham, dan menyuruhnya membeli makanan seharga satu dirham, satu dirham lagi untuk membeli kapak. Dengan kapak itu, ia gunakan mencari kayu bakar dan menjualnya. Lima belas hari setelah itu, ia kembali pada Nabi membawa 10 dirham. Dengan cara itulah, ia menafkahi keluarganya.
Bentuk ketaatan negara pada syariat dalam mengurus rakyatnya, mengharuskan negara menerapkan sistem ekonomi Islam. Sistem yang bersumber dari Allah swt. Sistem ekonomi Islam menjadikan negara memiliki berbagai sektor yang dikelola negara dan mengaturnya agar warga negara memperoleh pekerjaan dari sektor-sektor tersebut. Tentu saja akan menyerap tenaga kerja. Lapangan pekerjaan akan terbuka menyesuaikan kepentingan Islam dan kebutuhan rakyat, bukan perusahaan swasta.
Islam juga mewajibkan laki-laki bekerja untuk mencari nafkah sebagai bentuk ketaatan pada syariat, tentu membutuhkan pekerjaan. Sehingga negara bertanggung jawab untuk terus menerus menyediakan lapangan pekerjaan. Sistem ekonomi Islam akan mengembangkan ekonomi sektor riil di bidang pertanian, peternakan, industri, perdagangan, bisnis barang dan jasa. Ini jelas membutuhkan tenaga terdidik dan terampil yang berkaitan dengan bidang tersebut. Sebaliknya, negara tidak boleh membuka peluang terciptanya ekonomi non-riil seperti pasar saham, investasi berbasis ribawi, obligasi dan sejenisnya.
Di dalam sistem ekonomi Islam terdapat regulasi kepemilikan yang khas terkait pengelolaan sumber daya alam dan energi (SDAE). Dalam Islam, SDAE dikelola negara. Swasta apalagi asing haram memiliki dan mengelolanya. Dipastikan negara akan terhindar dari utang dan investasi asing, karena regulasi ini mampu mewujudkan sumber pendapatan negara melimpah. Selain itu, pengelolaan SDAE yang mandiri menjadikan lapangan pekerjaan akan terbuka secara lebar karena eksplorasi dan eksploitasi SDAE membutuhkan tenaga ahli dan terdidik dalam jumlah besar.
Seperti inilah salah satu gambaran penerapan sistem ekonomi Islam oleh negara raaÃn. Ketaatan negara dalam menjalankan syariat menjadikannya berdiri mendampingi rakyat menjamin kebutuhannya dan menyediakan keperluannya. Namun, kehadiran negara raaÃn hanya akan terwujud dalam institusi negara Islam yakni Daulah khilafah. Lantas hal apalagi yang membuat kita enggan bergerak memperjuangkan negara raaÃn? Padahal kita sangat membutuhkannya.
Wallahualam. [My]
Baca juga:

0 Comments: