Oleh. Eka Suryati
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Malam menggantung pekat di langit Gaza. Angin membawa debu dan bau mesiu, menyelusup ke setiap celah bangunan yang tinggal kerangka. Di dalam sebuah tenda robek di tepi reruntuhan, seorang ibu merapatkan selimut tipis ke tubuh anaknya yang menggigil. Matanya sembab, tetapi dari bibirnya terucap lirih, “Hasbunallahu wa ni’mal wakil.” Ia tahu, pertolongan manusia mungkin lambat, tapi Rabb-nya tidak pernah lalai.
Situasi yang dialami ibu tersebut sangat sering terjadi dan dapat dilihat di Gaza dan menjadi pemandangan yang seakan-akan lumrah terjadi. Banyaknya luka di Gaza sehingga menjadi duka, harus juga menahan gigil akibat hancurnya rumah-rumah tempat mereka berlindung dari dinginnya udara.
Gaza kembali membara, karena sejak pertengahan Maret 2025, Gaza menjadi sasaran utama serangan militer Israel. Gencatan senjata yang sempat diharapkan menjadi jeda nyatanya hanya jeda ilusi. Dalam hitungan hari, lebih dari empat ratus nyawa terenggut. Angka itu terus bertambah hingga kini, mencapai lebih dari tiga puluh ribu korban jiwa. Mayoritas yang menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak.
Di tengah kerusakan yang luar biasa, umat Islam di Palestina menggenggam erat keyakinannya. Mereka tahu apa yang menimpa mereka bukanlah akhir, tapi bagian dari janji Rabb-nya. Allah Swt. berfirman dalam Surah Ali 'Imran ayat 169:
"Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki."
Ayat ini menjadi peneguh jiwa-jiwa yang sedang berjuang di jalan Allah. Maka mereka yang kehilangan keluarganya, rumahnya, bahkan tubuhnya, tetap menjaga iman dengan kepala tegak. Karena mereka tahu, syahid bukanlah akhir yang menyedihkan, tapi awal dari kehidupan yang mulia.
Saat membaca berita, Rumah Sakit Al Ahli yang menjadi satu-satunya tempat bernaung bagi korban luka kini telah hancur. Serangan itu datang tiba-tiba, dengan peringatan yang tak manusiawi: hanya delapan belas menit. Banyak pasien tidak sempat diselamatkan. Seorang dokter berkata sebelum listrik padam: “Kami tidak takut mati, kami hanya takut tak sempat menolong.” Kata-kata itu bukan keluhan, tapi cermin dari nilai yang diajarkan Islam tentang hidup yang bermanfaat hingga detik terakhir.
Sekolah-sekolah berubah menjadi puing. Lebih dari sebelas ribu pelajar gugur. Mereka yang dulu datang pagi dengan buku dan cita-cita, kini kembali kepada Rabb dalam keadaan suci. Di antara reruntuhan, sebuah papan tulis masih tampak berdiri, dengan tulisan terakhir berbunyi: “Bersabarlah, karena Allah bersama orang yang sabar.”
Dan mereka memang sabar. Di tengah pengungsian, di antara kehilangan, mereka tetap salat berjamaah. Mereka tetap berzikir. Bahkan seorang anak kecil terlihat membaca Al-Qur’an dengan mushaf robek yang ia temukan di reruntuhan rumahnya. Ia duduk bersila, wajahnya penuh debu, tapi matanya bercahaya.
Di sisi lain dunia, kita hanya bisa menyaksikan. Tapi Islam tak membiarkan kita pasif. Rasulullah saw. bersabda:
"Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih sayang, cinta, dan kelembutan di antara mereka bagaikan satu tubuh; jika satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh merasakan sakit dengan demam dan tidak bisa tidur." (HR. Bukhari dan Muslim)
Kita satu tubuh. Jika Gaza luka, kita pun seharusnya merasa nyeri. Jika Palestina menjerit, kita pun seharusnya tersentak. Bukan hanya dengan air mata, tapi juga dengan doa, dukungan, dan kesadaran bahwa ini adalah bagian dari amanah keimanan.
Kepedihan ini bukan hanya bencana kemanusiaan, tapi juga panggilan iman. Di tanah yang diberkahi, tempat berdirinya Masjid Al-Aqsa, kiblat pertama umat Islam, Allah sedang menguji siapa yang benar-benar peduli. Siapa yang tetap teguh di jalan kebaikan, meski tak menyaksikan langsung kepedihannya.
Lalu aku kembali membaca berita, seakan-akan melihat sendiri sebuah peristiwa. Ada anak kecil duduk sendirian di bawah langit Gaza. Ia kehilangan orang tuanya. Tangannya memeluk mushaf kecil, satu-satunya yang tersisa. Ketika ditanya oleh seorang relawan, “Apa yang kamu inginkan?” ia menjawab lirih, “Aku ingin Allah memeluk kami.”
Itulah Palestina hari ini. Di tengah duka, masih ada anak kecil yang memeluk iman. Masih ada doa yang naik ke langit, melewati kabut debu dan kepulan asap. Dan selama masih ada satu anak yang menyebut nama Allah di Gaza, maka bumi itu belum mati.
Kini, giliran kita. Apakah kita bagian dari tubuh yang sama? Apakah kita juga merasa sakit? Ataukah kita sudah kehilangan rasa? Luka di Gaza, dapatkah dirasa?
Palestina adalah cermin. Ia menunjukkan siapa kita sesungguhnya. Bukan hanya siapa yang menolong, tapi juga siapa yang masih memiliki hati yang hidup.
Kotabumi, 20 April 2025
Baca juga:

0 Comments: