Oleh. Eka Suryati
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Dalam hidup ini, kita selalu dihadapkan pada dua sisi yang berdampingan. Ada siang, ada malam. Ada tangis, ada tawa. Begitu pula ketika detik-detik terakhir Ramadan menyapa. Di satu sisi, hati kita bersedih karena akan berpisah dengan bulan yang penuh berkah. Namun di sisi lain, kita bersiap menyambut hari kemenangan. Hari kemenangan itu adalah Idulfitri yang tiba pada 1 Syawal. Tangis dan tawa pun berdampingan, menjadi simfoni rasa yang begitu dalam.
Kesedihan yang datang bukan karena Idulfitri itu sendiri, tetapi karena perginya Ramadan, bulan yang menghadirkan banyak momen istimewa antara seorang hamba dengan Rab-Nya. Hari-hari di mana tilawah menjadi rutinitas harian, qiamulail menjadi kemuliaan malam, dan sedekah menjadi pelipur lara bagi yang membutuhkan. Ramadan datang membawa semangat perubahan, dan kepergiannya membuat kita takut akan kembali pada kelalaian.
Namun, kebahagiaan juga hadir bukan tanpa alasan. Idulfitri adalah momentum kelahiran kembali, saat di mana jiwa yang telah ditempa selama sebulan disambut sebagai pribadi yang baru. Ia laksana bayi yang kembali suci, bersih dari noda dan dosa. Kita bahagia karena Allah masih memberi kita kesempatan untuk menyambut Syawal, membawa bekal takwa yang telah kita kumpulkan sepanjang Ramadan.
Dua rasa ini, sedih dan bahagia, bukanlah kontradiksi. Ia justru menunjukkan kedalaman iman dan kematangan jiwa. Karena yang kita tangisi dan yang kita rayakan adalah dua hal yang berbeda. Kita menangis karena perginya momen spiritual yang luar biasa. Kita tertawa bahagia karena hari kemenangan adalah tanda diterimanya amal dan bukti kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Maka, biarkan dua rasa itu mengalir dalam satu doa: semoga Allah mempertemukan kita kembali dengan Ramadan tahun depan, dan menjadikan kita tetap istikamah menjaga ruh Ramadan meskipun ia telah berlalu. Karena sejatinya, hidup yang fitri tidak berhenti di hari raya, tapi terus berjalan hingga ajal menjemput kita dalam keadaan husnul khatimah.
Malam Takbiran Pertanda Esok Hari Raya Tiba
Ketika terdengar gema takbir, yang terdengar dari sore hari, hatiku berkata, duhai Ramadan, akhirnya usai sudah tugasmu membersamai kami. Gegas diri mempersiapkan segala sesuatu untuk merayakan hari raya. Hari raya Idulfitri di tempat kami biasanya dirayakan lebih meriah dari pada hari raya Iduladha. Entahlah apa sebabnya, tapi memang seperti itu yang terjadi dan menjadi tradisi yang terus berlangsung.
Meriahnya Idulfitri juga ditunjang banyak faktor. Aturan libur hari raya Idulfitri juga lebih lama dibanding hari-hari perayaan yang lainnya. Ditambah cuti bersama yang membuat libur Idulfitri menjadi panjang, sangat memungkinkan sanak saudara yang ada di perantauan pulang kampung alias mudik hari raya.
Kembali pada malam takbir, biasanya kami mempersiapkan diri, dengan membersihkan dan merapikan rumah agar esok hari sudah siap untuk menyambut hari yang fitri dengan suasana yang berbeda dari hari biasanya. Di meja-meja sudah dipersiapkan kue-kue khas lebaran. Taplak meja, sprei, gorden pun ikut diganti. Tak harus baru, tetapi bersih dan enak dipandang mata.
Baju di hari raya juga dipersiapkan. Nah ini juga tak harus baru, bisa memanfaatkan baju-baju lama yang masih bagus dan layak untuk dipakai di hari raya. Tapi jika memungkinkan maka membeli baju baru tak mengapa, asal tak membebani dan memang ada dananya. Begitulah yang kami lakukan jelang hari raya. Walau ada sisa tangis akibat berpisah dengan Ramadan tetapi harus tetap bergembira karena memang kita diberi hak untuk menyambut hari kemenangan sebagai tanda syukur kepada Allah.
Syiar Agama Melalui Salat Id
Pada saat hari raya Idulfitri kami kompak bangun lebih awal dari hari biasa. Yang dimaksud bangun lebih awal adalah, semua anggota keluarga seakan mendapat komando bangun serentak, jauh sebelum azan salat subuh terdengar. Jika di hari biasa, anak-anak bangun pagi menjelang salat subuh, pada saat 1 Syawal mereka sangat mudah terbangun lebih awal lagi.
Mereka ikut membereskan rumah, lalu bergegas mandi untuk mempersiapkan diri pergi ke masjid atau tanah lapang. Hari raya kami diawali dengan pergi secara bersama untuk menunaikan salat id.
Walaupun salat id hukumnya sunah, namun selalu dikerjakan karena selain berpahala, juga menjadi bagian dari syiar agama. Bukankah amat menyenangkan hati melihat kompaknya umat Islam melaksanakan salat id berjamaah. Lalu kita ikut mendengarkan khotbah salat secara khusyuk. Banyak hikmah yang bisa dipetik pada saat mendengarkan ceramah dari khatib. Di antaranya adalah pesan untuk menjaga keistikamahan setelah Ramadan tiada. Ramadan yang menjadi ajang berlatih diri, harus mampu diterapkan pada 11 bulan ke depan. Jadi jangan mundur ke belakang seperti sebelum kita beribadah di bulan Ramadan.
Saling Memaafkan di Hari Raya
Setelah salat id usai biasanya tanpa dikomando, kami berdiri, saling bermaaf-maafan. Saling memaafkan berawal dari tempat kami salat. Semua itu kami lakukan karena pada saat itu kami berpikir mumpung bertemu, karena terkadang setelah bubar dari salat, kami memiliki acara masing-masing dan belum tentu bisa bertemu kembali. Itulah yang melatarbelakangi tradisi salam-salaman setelah bubar dari salat.
Lalu di sepanjang jalan, jika bertemu dengan teman, kerabat, sanak saudara kami juga langsung bermaaf-maafan. Bersalam-salaman saling memaafkan yang perempuan dengan perempuan dan laki-laki dengan laki-laki. Indahnya saling memaafkan di hari raya membuat kita bagaikan kertas putih, karena dosa akibat kesalahan dengan sesama sudah direlakan untuk dimaafkan.
Saling Berkunjung di Hari Raya
Hal pertama setelah sampai di rumah adalah kami saling bermaaf-maafan dengan anggota keluarga. Karena Papa adalah satu-satunya orang tua yang kami miliki saat ini, maka Papa adalah orang pertama yang kami mintai maafnya. Aku meminta maaf kepada suami terkasih dan anak-anak meminta maaf kepada kami. Begitulah tradisi keluarga yang tetap terjaga dan dilakukan setelah pulang salat.
Setelah itu baru dilanjutkan bermaaf-maafan dengan para tetangga. Karena tak semua bisa saling bertemu di saat salat tadi, maka kami berinisiatif saling berkunjung antara tetangga, terutama dengan tetangga terdekat. Selain bertujuan untuk saling memaafkan biasanya kami juga saling cicip kue atau menu lebaran yang ada di rumah masing-masing. Hal itu membuat suasana makin terasa akrab dan dekat.
Setelah selesai saling berkunjung dengan para tetangga dekat, biasanya akan dilanjutkan dengan saling berkunjung dengan kerabat, sanak saudara dan handai taulan. Jika tak sempat di hari pertama, maka bisa dilanjutkan di hari-hari berikutnya.
Oh ya, biasanya keluarga yang berada di perantauan mudik lebaran, tapi pada hari raya tahun ini tidak bisa pulang. Namun hal itu tidak membuat hubungan menjadi terputus karena kami memanfaatkan sosial media untuk saling menyapa dan bersilaturahmi.
Itulah sekilas kisah kasih kami di hari raya kali ini. Masih banyak kisah dan kejadian yang terjadi, namun tak semua bisa diceritakan. Yang pasti hari raya kali ini ada rasa prihatin yang mendera jiwa. Ada yang tidak bisa merayakan hari kemenangan seperti kami di sini. Idulfitri di Palestina dinodai dengan suasana duka akibat kekejaman zionis yang justru menodainya dengan membantai warga Palestina. Banyak syuhada yang gugur dan mereka melaksanakan salat id dalam suasana yang mencekam. Itulah yang menyebabkan Idulfitri kami juga tak bisa terlalu meriah seperti biasanya. Doa-doa kami panjatkan agar Palestinaku memperoleh kemenangan. Semoga kelak umat Islam bersatu agar Idulfitri menjadi indah di seluruh belahan dunia ini. [Ni]
Kotabumi, 25 April 2025
Baca juga:

0 Comments: