Headlines
Loading...
Haji: Kapitalisasi vs Idealitas Syariat dalam Sistem Khilafah

Haji: Kapitalisasi vs Idealitas Syariat dalam Sistem Khilafah

Oleh. Indri Wulan Pertiwi
(Aktivis Muslimah Semarang)


SSCQMedia.Com—Ibadah haji rukun Islam kelima adalah manifestasi spiritual dan persatuan umat Islam secara global. Momen sakral ini semestinya dipenuhi dengan khusyuk beribadah, jauh dari beban finansial yang memberatkan dan praktik-praktik yang mereduksi nilai spiritualnya. 

Namun, realitas penyelenggaraan haji saat ini dibayangi oleh kecenderungan kapitalisasi yang mengkhawatirkan, mengaburkan kesucian ibadah dan membebani jemaah dengan biaya yang semakin tinggi. Meskipun pemerintah berupaya menurunkan biaya haji, upaya tersebut sering kali bersifat tambal sulam dan gagal mengatasi akar permasalahan struktural yang mendasar. 

Sebagaimana pernyataan yang disampaikan oleh Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, yang mengapresiasi rencana pembangunan kampung Indonesia di Arab Saudi sebagai salah satu upaya penurunan biaya haji, dengan potensi pengembangan sektor bisnis yang menyertainya (beritanasional.com/8/5/2025) justru menguatkan kekhawatiran akan makin mengakarnya kapitalisasi dalam ibadah suci ini. Hal ini menunjukkan bahwa solusi yang ditawarkan masih berorientasi pada logika pasar,  bukan pada prinsip kemaslahatan jemaah.

Sistem pengelolaan haji saat ini sarat dengan praktik kapitalisasi yang perlu dikritisi secara mendalam. Meskipun tujuannya meningkatkan manfaat dan mengurangi biaya, investasi dana haji yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menimbulkan pertanyaan terkait aspek etis dan transparansi. Keuntungan finansial sering kali diprioritaskan daripada kebutuhan riil jemaah. Hal ini menimbulkan dilema, apakah mengejar keuntungan finansial dari dana ibadah sesuai dengan prinsip-prinsip kesucian agama? 

Birokrasi yang rumit, keterlibatan pihak swasta yang mengejar profit, dan kurangnya transparansi semakin memperburuk situasi. Kompleksitas sistem dan ketidakjelasan pengeluaran biaya haji menyulitkan jemaah untuk memahami bagaimana dana mereka digunakan. Kurangnya pengawasan dan regulasi yang ketat membuka peluang praktik-praktik yang tidak etis dan merugikan jemaah. Lebih jauh, paradigma kapitalis ini mengorbankan kualitas layanan dan kenyamanan jemaah demi efisiensi ekonomi,  bertentangan dengan prinsip pelayanan ibadah yang maksimal. Contohnya adalah perpindahan pengelolaan dana haji dari Kementerian Agama ke BPKH, walaupun bertujuan meningkatkan pengelolaan keuangan, justru menimbulkan kekhawatiran akan semakin kuatnya pendekatan bisnis dalam penyelenggaraan haji. 

Pengelolaan Haji di Bawah Khilafah 

Terdapat kontras signifikan antara situasi saat ini dengan sistem Islam kaffah di bawah Khilafah.  Khilafah menawarkan pendekatan yang lebih ideal dalam menghormati kesucian ibadah. Dengan pengelolaan dilakukan oleh negara, bukan oleh pihak swasta yang mengejar profit akan menjamin bahwa kepentingan jemaah diutamakan di atas kepentingan ekonomi. Dengan demikian, sistem ini menjamin bahwa ibadah haji tetap suci dan terbebas dari eksploitasi ekonomi.

Selain itu Khilafah menempatkan Baitulmal, kas negara yang dikelola secara amanah, sebagai sumber utama pendanaan haji. Pengelolaan Baitul Mal dilakukan secara transparan dan akuntabel, diawasi oleh lembaga yang terdiri dari ulama dan profesional yang kompeten dan amanah. Prioritas utama adalah pemenuhan kebutuhan riil jemaah, termasuk mereka yang kurang mampu, tanpa melibatkan investasi spekulatif berisiko. Dalam Khilafah keuntungan finansial bukanlah tujuan utama, melainkan pelayanan ibadah yang maksimal dan terbebas dari eksploitasi ekonomi.

Selain pengelolaan dana, sistem Islam kaffah juga memprioritaskan kualitas layanan dan fasilitas jemaah. Aspek spiritual dan kenyamanan menjadi fokus utama. Sehingga ibadah haji dapat dijalankan dengan khusyuk dan tenang, bebas dari beban logistik dan administrasi yang rumit. Kualitas akomodasi,  transportasi, dan layanan kesehatan menjadi prioritas,  bukan efisiensi ekonomi semata.

Khilafah juga akan memastikan bahwa setiap jemaah mendapatkan pelayanan terbaik, transparansi dan akuntabilitas dijamin melalui lembaga pengawas independen yang terdiri dari ulama dan profesional yang berkompeten. Birokrasi yang rumit dihilangkan,  memudahkan akses bagi semua umat Islam tanpa diskriminasi berdasarkan latar belakang ekonomi atau sosial. Keadilan dan kesetaraan menjadi prinsip utama.

Kesimpulannya, upaya pemerintah untuk menurunkan biaya haji merupakan langkah yang positif dan patut diapresiasi. Namun, perubahan sistemik yang lebih mendalam sangat diperlukan untuk mengatasi permasalahan struktural yang mendasari tingginya biaya haji dan kecenderungan kapitalisasi. Sistem Islam kaffah menawarkan model yang lebih ideal,  mengutamakan ibadah dan keadilan. Berbeda dengan sistem saat ini yang cenderung mengarah pada kapitalisasi dan orientasi bisnis. 

Perubahan paradigma dari komoditas ekonomi menuju ibadah sebagai tujuan utama menjadi kunci untuk mewujudkan penyelenggaraan haji yang lebih adil, transparan, dan sesuai syariat Islam. 
Hanya dengan demikian, ibadah haji dapat dijalankan dengan khusyuk dan menjadi manifestasi spiritualitas dan persatuan umat yang sesungguhnya, jauh dari beban ekonomi dan praktik-praktik yang mereduksi nilai spiritualnya.
Wallahualam bissawab. [Hz]

Baca juga:

0 Comments: