Oleh. Ummu Shafia
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Pemutusan hubungan kerja (PHK) terus meningkat secara signifikan. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengungkapkan pada 23 April 2025 bahwa jumlah pekerja yang terkena PHK telah mencapai 24.036 orang, setara dengan sepertiga dari total kasus selama tahun 2024.
"Dari tahun ke tahun, tren ini menunjukkan peningkatan. Tahun lalu total PHK mencapai 77.965 orang, sementara pada kuartal pertama tahun ini angka itu telah menyentuh 24 ribu," ujar Yassierli dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI di Senayan pada 8 Mei 2025 (tempo.co, 8/5/2025).
Sesuai laporan Kompas.com, Yassierli memaparkan tujuh faktor utama yang menyebabkan lonjakan PHK di 2025. Beberapa alasan utama termasuk penurunan pasar yang berdampak pada kerugian perusahaan dan keputusan untuk relokasi guna mendapatkan tenaga kerja dengan biaya lebih rendah. Selain itu, perselisihan industrial dan aksi mogok kerja juga turut berkontribusi, termasuk upaya efisiensi perusahaan, transformasi bisnis, serta kondisi pailit yang berkaitan dengan kewajiban terhadap kreditur.
Fenomena PHK ini mencerminkan sulitnya situasi ekonomi global yang tak mudah dikendalikan. Alih-alih menciptakan lapangan kerja baru, kebijakan yang diambil pemerintah justru memperkuat mekanisme outsourcing melalui Undang-Undang Cipta Kerja, yang makin memperburuk ketidakstabilan dunia kerja.
Sistem ekonomi yang diterapkan saat ini membuat tenaga kerja hanya dianggap sebagai faktor produksi semata. Negara, dalam sistem kapitalisme, berfungsi sebagai regulator bagi kepentingan investor dan pemilik modal, sehingga tak mampu memberikan perlindungan bagi pekerja yang terdampak PHK massal.
Dalam Islam, pemerintah memiliki tanggung jawab sebagai pengelola kesejahteraan rakyat. Rasulullah saw. bersabda, "Pemimpin adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas mereka." (HR. Al-Bukhari)
Islam menetapkan bahwa negara wajib membuka akses luas terhadap lapangan kerja, termasuk pemanfaatan tanah negara serta pengelolaan sumber daya alam untuk memperluas kesempatan kerja.
Selain itu, Islam mengatur kebijakan ekonomi dengan larangan terhadap praktik monopoli dan regulasi ekspor-impor yang sesuai dengan prinsip syariat. Hubungan kerja antara perusahaan dan pekerja pun didasarkan pada akad ijarah.
Negara juga perlu menghapus sektor ekonomi yang tidak berbasis produksi nyata, seperti spekulasi pasar saham dan investasi modal yang hanya menguntungkan kelompok tertentu. Selain itu, peran negara dalam menjaga iklim usaha yang sehat sangat penting, termasuk penegakan sanksi bagi para pelaku ekonomi yang merugikan masyarakat.
Gelombang PHK yang terus terjadi menunjukkan perlunya intervensi negara yang mengacu pada sistem kepengurusan berbasis syariat Islam. Hanya dengan penerapan sistem ekonomi dan politik Islam secara menyeluruh, kesejahteraan masyarakat dapat terwujud dan dampak PHK dapat diminimalkan secara efektif. [Ni]
Baca juga:

0 Comments: