Headlines
Loading...
Gaza Memanggil, Umat Islam Bangkitlah!

Gaza Memanggil, Umat Islam Bangkitlah!


Oleh. Eka Suryati 
(Kontributor SSCQMedia.Com)


SSCQMedia.Com—Di tengah reruntuhan dan duka yang tak berujung, Gaza kembali menjadi saksi atas kebiadaban Zi*nis Isr*el yang terus menggempur dengan serangan udara tanpa henti. Serangan demi serangan yang terjadi tidak hanya menghancurkan rumah dan fasilitas umum, tetapi juga mengoyak martabat dan hak hidup rakyat Palestina. Krisis kemanusiaan yang terjadi bukan diakibatkan oleh bencana alam, melainkan hasil dari sistem penindasan yang disengaja dan terstruktur. Penjajahan terus berlangsung di Palestina.

Bukan waktu yang singkat, blokade telah berlangsung selama 17 tahun. Hal itu bukan sekadar penghalang fisik, tapi merupakan alat penyiksaan kolektif yang mencekik rakyat Gaza secara perlahan. Dengan menutup akses pangan, obat-obatan, dan bantuan kemanusiaan, Israel tidak hanya berperang dengan senjata, tetapi juga dengan kelaparan. Pengepungan ekonomi yang mereka lakukan adalah strategi jangka panjang untuk mendorong keputusasaan, menundukkan kehendak rakyat, dan mengosongkan tanah Palestina dari penduduk aslinya. Ini bukan sekadar kebijakan ekonomi, melainkan strategi kolonial yang menjelma dalam wajah modern.

Amerika Serikat, yang mengklaim membawa solusi, justru menghadirkan rencana distribusi bantuan yang disebut oleh penulis politik Saleh Abu Ezzah sebagai bentuk "restrukturisasi kelaparan." Bantuan dikemas dalam skema politik yang mendorong perpindahan paksa, dengan bantuan yang hanya menjangkau sebagian wilayah dan setengah populasi. Ketika bantuan menjadi alat manipulasi, bukan bentuk kasih sayang, maka yang terjadi adalah pengendalian, bukan penyelamatan. Rencana AS yang membiarkan warga di Gaza Utara kelaparan untuk memaksa mereka bergerak ke selatan bukanlah bantuan, tetapi bentuk baru dari pemindahan paksa yang terang-terangan.

Hamas yang selama ini dijadikan kambing hitam kekacauan di Palestina justru mendapat pembelaan dari para keluarga tawanan perang Hamas. Mereka mengatakan yang menjadi penyebab kekacauan sesungguhnya adalah kebijakan politik Netanyahu itu sendiri.

Lalu, ada sinyal kecil tentang kemungkinan perubahan. Hamas bersedia membebaskan tentara Israel-Amerika, Edan Alexander, sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata. Yang menarik, kesepakatan ini dilakukan melalui jalur langsung dengan pemerintahan Trump dan tanpa keterlibatan Israel. Ini menunjukkan bahwa perjuangan diplomatik Palestina pun tidak mati, dan bahwa kekuatan rakyat, sekalipun tertindas, masih bisa mempengaruhi dinamika politik global.

Namun tetap saja, Israel tak berhenti membunuh. Serangan udara terus menghantam Gaza. Kamp Jabalia menjadi lokasi kematian 13 orang di pusat pengungsian. Kamp Nuseirat dan lingkungan Al-Zaytoun pun tak luput dari kehancuran. Data dari sumber medis menunjukkan 40 warga tewas hanya dalam satu hari. Ini bukan perang, ini pembantaian. Dan dunia tetap diam, atau sibuk menyeimbangkan narasi antara korban dan penjajah. Netanyahu tetap bisa dengan bangga mengatakan bahwa akan lebih banyak lagi rumah yang dihancurkan. Tak ada tempat untuk kembali, tak ada kehidupan yang bisa dipertahankan.

Apa yang terjadi di Gaza adalah bentuk nyata kezaliman sistematis. Di wilayah pendudukan, serangan terhadap petani, interogasi terhadap warga Badui, bahkan penangkapan remaja karena bermain game online, adalah bagian dari kriminalisasi rakyat Palestina. Semua ini menunjukkan bahwa Israel bukan hanya menjajah tanah, tapi juga mencoba mematikan identitas dan eksistensi bangsa Palestina.

Dalam menghadapi semua ini, Islam memberi jalan yang jernih dan kokoh. Islam memandang bahwa bumi Palestina adalah tanah suci yang wajib dibebaskan dari penjajahan. Bukan karena kebangsaan, tapi karena ia adalah bagian dari tanah kaum Muslimin, tempat Masjid Al-Aqsha berdiri, dan bagian dari akidah umat Islam. Solusi Islam bukanlah sekadar bantuan kemanusiaan atau mediasi politik, tetapi pembebasan total dari penjajahan. Tidak cukup dengan seruan damai di atas penderitaan, tetapi dengan perjuangan yang dilandasi oleh keimanan dan kesatuan umat.

Islam memerintahkan untuk membela saudara seiman yang tertindas. Rasulullah bersabda, “Tolonglah saudaramu yang zalim dan yang dizalimi.” Para sahabat bertanya, “Kami menolong orang yang dizalimi, bagaimana menolong orang yang zalim?” Rasulullah menjawab, “Kamu cegah ia dari kezalimannya, itulah menolongnya.” Maka jelas, menentang Zionis Israel dan menghentikan kezaliman mereka adalah perintah agama.

Umat Islam harus menyadari bahwa solusi hakiki bukanlah dengan mengemis kepada PBB atau menggantungkan harapan pada negara-negara adidaya. Dunia telah berulang kali menunjukkan keberpihakannya, dan itu bukan pada kebenaran. Jalan keluar hanya ada pada persatuan umat Islam di bawah kepemimpinan yang ikhlas dan berani. Umat membutuhkan pemimpin seperti Umar bin Khattab yang memerdekakan Baitul Maqdis bukan dengan diplomasi semu, tapi dengan kekuatan iman dan keadilan.

Dalam jangka pendek, tentu kita tidak bisa diam. Dukungan kemanusiaan tetap penting, tetapi harus dibarengi dengan kesadaran politik dan seruan jihad yang benar. Umat Islam di seluruh dunia harus bersatu dalam suara, dalam aksi, dan dalam doa yang tidak hanya memohon, tapi juga mendorong perubahan nyata. Demonstrasi seperti yang terjadi di Leeds, Inggris, adalah bentuk solidaritas global yang harus terus digelorakan. Ini menunjukkan bahwa rakyat dunia tidak buta. Tapi tekanan global saja tak cukup, selama umat Islam tidak mengambil peran utama sebagai pelindung Palestina.

Kita harus memahami bahwa kezaliman tidak akan berhenti dengan belas kasihan. Ia hanya berhenti ketika ada kekuatan yang menghentikannya. Dan Islam telah memberikan pedoman itu. Melalui hukum syariah, umat Islam dipersatukan dalam satu tubuh, satu negara, satu pemimpin, dan satu tujuan: menegakkan keadilan, menghentikan penjajahan, dan membebaskan tanah suci dari cengkeraman musuh-musuh Allah.

Gaza hari ini adalah luka kita semua. Anak-anak yang kelaparan, para ibu yang menangis di antara reruntuhan, dan para syuhada yang terbaring tanpa kain kafan, semua itu adalah panggilan bagi nurani kita sebagai umat Muhammad. Kita tak bisa lagi hanya berdoa sambil menonton berita. Kita harus bergerak, menulis, berbicara, menyumbang, mendidik, dan mempersiapkan kebangkitan umat. Setiap tindakan kecil yang dilakukan dengan niat membela kebenaran, adalah bagian dari perjuangan besar.

Palestina tidak butuh simpati semu. Palestina butuh solidaritas sejati, dari saudara-saudaranya yang mengaku beriman kepada Tuhan yang sama, Rasul yang sama, dan kitab yang sama. Dan kelak, kemenangan akan datang. Bukan karena kekuatan senjata semata, tetapi karena janji Allah bahwa bumi ini akan diwarisi oleh orang-orang yang bertakwa. Maka bersiaplah, wahai umat Islam, karena sejarah akan mencatat siapa yang berdiam dan siapa yang bangkit. [My]

Kotabumi, 13 Mei 2025 

Baca juga:

0 Comments: