Oleh. Yustina Yusuf
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—"Pilih ibumu atau istrimu?"
Cemburu. Seorang perempuan cenderung merasa cemburu terhadap mertuanya sering kali dikarenakan suami yang lebih mendengar ibunya, ketimbang istrinya. Jangankan didengar, istrinya dimintai pendapat saja tidak.
Adakalanya seorang suami begitu mudah memberi sesuatu kepada ibunya sendiri tanpa berpikir panjang, sedangkan untuk memberi sesuatu kepada istri atau ibu dari istrinya begitu banyak pertimbangan. Ada pula kita dapati fakta mertua yang terlalu ikut campur, mulai dari A sampai Z urusan rumah tangga. Dan masih banyak fakta lainnya.
Pada akhirnya menjadikan pernikahan itu dianggap menakutkan. Terlebih jika seorang suami sangat menyayangi ibunya, karena bisa jadi istrinya akan dinomorduakan. Si istri merasa sulit mendapatkan hak-haknya. Sampai-sampai pernah ada satu guyonan di salah satu sosial media bahwa selamatnya pernikahan Nabi Adam dan Hawa dikarenakan tidak memiliki mertua dan ipar. Astagfirullah.
Seyogianya pernikahan dalam Islam adalah sebagai penyempurna agama, pembawa ketenangan lahir batin, sekaligus pembawa keberkahan. Seorang laki-laki akan semakin baik setelah menikah, begitu juga sebaliknya seorang perempuan akan semakin baik setelah menikah.
Sayangnya, banyak fakta rumah tangga yang kita temukan saat ini yang jauh dari semua itu. Pernikahan saat ini menjadi sesuatu yang sangat menakutkan, kawin cerai menjadi hal yang biasa terjadi karena berbagai alasan, mulai dari ekonomi, perselingkuhan, perselisihan menantu mertua, dan alasan lainnya.
Banyak pernikahan kini bukannya membawa ketenangan dan kebahagiaan, justru pernikahan menjadikan anggota keluarga mengalami mental illness. Terlebih sekarang di sosial media seperti di TikTok, di mana quotes, cerita, dan trennya tidak sekadar menjadi hiburan, akan tetapi bisa menjadi standar dalam menentukan segala sesuatu. Termasuk standar siapa yang harus dipilih dalam mencari pasangan hidup.
Lalu, apa sebenarnya yang menjadi akar permasalahan dari fenomena ini? Benarkah jika seorang laki-laki yang sangat menyayangi dan taat kepada ibunya tidak bisa menjadi suami yang baik bagi istrinya? Apakah harus menjadi sosok 'Malin Kundang' agar seorang laki-laki bisa menjadi suami yang baik? Apakah bisa diartikan jika seorang laki-laki baik pada ibunya, dia akan jadi suami yang durhaka, dan sebaliknya jika baik pada istrinya, akan jadi anak yang durhaka? Naudzubillah.
Pernikahan dalam Islam adalah 'mitsaaqan ghalizhan' yaitu perjanjian yang sangat berat, karena itu pelakunya harus memiliki pemahaman yang kuat pula untuk menanggungnya. Akar masalah awal mula malapetaka dalam rumah tangga banyak terjadi adalah ketidakpahaman terhadap hukum syarak, khususnya yang berkaitan dengan pernikahan dan rumah tangga.
Banyak di antara pasangan yang akan menikah tidak membekali diri dengan pemahaman agama terkait hak dan kewajiban sebagai suami istri, di mana hak istri adalah kewajiban suami dan hak suami adalah kewajiban istri. Jika kita juga sudah memahami akan kewajiban terhadap orang tua, sebenarnya tidak ada yang bertentangan. Baik istri maupun ibu masing-masing memiliki hak yang harus ditunaikan dan tidak boleh seenaknya memilih untuk mendahulukan istri atau ibu, karena hak-hak tersebut harus diberikan semua kepada mereka tanpa terkecuali. Allah sudah menghukuminya dengan harmonis dan adil.
Pada hakikatnya saat kita menikah, tidaklah otomatis terhitung 1+1=2, dalam arti hanya berkaitan dengan kita dan pasangan saja, akan tetapi juga harus terhitung dengan seluruh keluarga. Dalam pernikahan 1+1 bisa menjadi 6, 10, atau bahkan lebih, karena saat kita menikah dengan seseorang itu berarti kita 'menikah' dengan seluruh anggota keluarga dari pasangan kita. Sehingga tidak bisa seorang istri mengatakan, "Saya sebagai istri wajib menaatimu, tetapi tidak ada hubungan diriku dengan orang tuamu atau keluargamu". Akan tetapi seharusnya dikatakan, "Ibumu adalah ibuku juga, keluargamu adalah keluargaku juga".
Dari Aisyah r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda : "Sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik kepada keluargaku.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Sehingga sudah seharusnya seorang suami berbuat baik kepada istri dan putra-putrinya tanpa melupakan orang tuanya.
Jika sudah menikah, pintu surga seorang perempuan adalah suaminya dan pintu surga seorang laki-laki adalah kedua orang tua khususnya ibu baik sebelum ataupun sesudah menikah. Ketika menikah jadi ibadah, maka baik suami ataupun istri akan mengikatkan dirinya dengan bagaimana Allah mengatur urusan rumah tangga.
Seorang istri akan bahagia saat melakukan ketaatan terhadap suaminya, begitu pula seorang suami akan bahagia berbuat baik kepada istrinya, karena pada hakikatnya mereka sedang mencari rida penciptanya. Karena keridaan Allah adalah sumber kebahagiaan mereka.
Saat seorang suami sudah mulai lalai terhadap keluarganya termasuk orang tuanya sendiri, sang istrilah yang akan mengingatkan kalau suami terkasihnya itu sudah mulai menjauhi pintu surganya. Sang istri sangat paham bahwa durhaka kepada kedua orang tua adalah satu dosa besar yang bahkan disejajarkan dengan dosa menyekutukan Allah.
Begitu juga orang tua khususnya ibu akan mengingatkan anak laki-lakinya, jika ternyata anaknya mulai melalaikan hak istri dan putra-putrinya. Pada posisi itu seorang ibu akan segera turut campur dengan pemahaman bahwa pada hakikatnya mencampuri urusan rumah tangga anak tidak diperkenankan, kecuali hanya untuk meluruskan jika terjadi pelanggaran hukum syarak.
Mesti dipahami juga bahwa bukan berarti ketika menikah dengan pasangan yang paham agama maka rumah tangganya sempurna tanpa perselisihan atau air mata. Islam sudah menyiapkan segala sesuatu untuk mengantisipasi dan sebagai solusi jika ada permasalahan rumah tangga. Bahkan, hukum cerai talak pun sudah disyariatkan di saat dalam agama lain justru 'mengharamkan' perceraian.
Dalam pernikahan bisa jadi ada perselisihan kecil yang mewarnainya. Mengingat masing-masing memiliki karakter, pola asuh, usia, suku yang berbeda, dan perbedaan lainnya yang sedikit banyak hal tersebut bisa menjadi pemicu perselisihan. Namun jika didasari dengan pemahaman agama, perselisihan ini hanya akan menjadi riak-riak kecil dalam biduk rumah tangga dan tidak akan menjadi badai di dalamnya, hanya saja tetap membutuhkan penyikapan yang tepat.
Sebagai contoh, menikahi kalangan Milenial mungkin butuh penyikapan yang berbeda dengan Gen Z, begitu pula menikahi anak tunggal dengan lima bersaudara, menikahi orang bersuku Sunda dan Batak, dan seterusnya. Sebenarnya jika sudah diniatkan untuk ibadah dan paham agama, kita hanya tinggal mencoba memahami karakter dan kebiasaan dari pasangan kita tersebut.
Adapun jika ada kekurangan pada mereka berusahalah untuk rida karena tidak akan pernah ada manusia yang sempurna. Adapun jika ternyata muncul perselisihan yang berat maka sudah seharusnya dikembalikan lagi kepada bagaimana Islam mengaturnya. Islam adalah satu-satunya aturan dari Allah yang tidak akan memihak kecuali pada kebenaran dan kebaikan. Jika kita adalah orang yang beriman maka kita pasti akan rida menerimanya karena sesungguhnya ciri orang yang beriman adalah tunduk dengan apa yang Nabi saw. bawa, yaitu Islam.
Oleh karena itu agar pernikahan dan rumah tangga menjadi berkah, awali dengan dasar iman dan niatkan untuk ibadah disertai tak henti berupaya untuk memahami ilmu agama khususnya terkait rumah tangga dalam Islam yang telah Nabi saw. ajarkan.
"Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (TQS. Ar-Rum: 21)
Wallahualam bissawab. [Ni]

0 Comments: