Headlines
Loading...
Glamping Mewah, Rakyat Susah: Bukti Pemimpin Tidak Amanah

Glamping Mewah, Rakyat Susah: Bukti Pemimpin Tidak Amanah

Oleh. Tri Widarti S. Pd.I
(Kontributor SSCQMedia.Com, Aktivis Muslimah Semarang)

SSCQMedia.Com—Masyarakat kembali dikejutkan dengan kabar acara glamping atau glamorous camping yang digelar untuk para kepala daerah di Magelang. Acara ini disebut-sebut menghabiskan anggaran hingga Rp11 miliar, dengan biaya per peserta mencapai Rp2,75 juta per hari (Kompas.com, 14 Februari 2025).

 Di saat banyak rakyat masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, penggunaan anggaran sebesar itu tentu menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah acara ini benar-benar perlu? Apakah manfaatnya sebanding dengan biaya yang dikeluarkan?

Dalam sistem pemerintahan saat ini, penggunaan anggaran sering kali tidak berlandaskan pada kebutuhan mendesak rakyat, tetapi lebih pada kepentingan elite penguasa. Dalih seperti “pembekalan kepemimpinan” atau “penguatan kapasitas kepala daerah” kerap dijadikan alasan untuk mengadakan acara semacam ini, padahal esensinya lebih menyerupai ajang rekreasi eksklusif. Publik pun mempertanyakan urgensi acara ini, mengingat kondisi ekonomi yang belum stabil dan banyaknya kebutuhan masyarakat yang lebih mendesak (Suara.com, 13 Februari 2025).

Jika kita menelaah ajaran Islam, konsep kepemimpinan seharusnya bertumpu pada amanah dan tanggung jawab, bukan pada kemewahan atau kepentingan pribadi. Ibnul Jauzi dalam Shifat Ash-Shafwah dan Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah menjelaskan bahwa Rasulullah saw. dan para khalifah setelahnya menjalankan pemerintahan dengan penuh kesederhanaan. Umar bin Khattab, misalnya, dikenal hidup dalam kondisi yang jauh dari kemewahan meskipun saat itu Daulah Islam sedang dalam masa kejayaan. 

Dalam kitab Al-Kharaj, Abu Yusuf menulis bagaimana Umar sangat berhati-hati dalam menggunakan dana Baitul Mal, bahkan tidak mau mengambil satu dirham pun untuk kepentingan pribadinya. 

Seorang pemimpin dalam Islam bukanlah orang yang menghamburkan harta rakyat, melainkan yang menggunakannya untuk kesejahteraan umat.

Allah Swt. telah memperingatkan bahwa pemborosan adalah perbuatan yang mendekati sifat setan. Dalam Al-Qur’an disebutkan:

"Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan." (Q.S. Al-Isra: 27).

Ayat ini menjadi pengingat bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan dari kas negara harus benar-benar dipertimbangkan manfaatnya bagi rakyat. Menghamburkan uang untuk kegiatan yang tidak esensial bukan hanya bentuk ketidakadilan, tetapi juga menunjukkan lemahnya kesadaran pemimpin terhadap tanggung jawabnya. Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah menjelaskan bahwa pemimpin bertanggung jawab untuk mengalokasikan anggaran negara demi kemaslahatan rakyat, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap keputusan yang diambil.

Fenomena seperti ini bukan pertama kali terjadi. Sudah berkali-kali rakyat disuguhkan dengan berita tentang penggunaan anggaran negara yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka. Dalam sistem demokrasi, pihak yang memiliki keleluasaan dalam mengatur anggaran, sering kali tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Transparansi yang dijanjikan sering kali hanya sebatas formalitas, sementara keputusan-keputusan yang diambil lebih berpihak kepada elite ketimbang rakyat jelata. 

Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Nidham Al-Hukm Fil Islam menjelaskan bahwa dalam sistem demokrasi, kepentingan kelompok elite sering kali lebih diutamakan dibandingkan kemaslahatan umat karena keputusan-keputusan politik didasarkan pada kepentingan individu dan partai, bukan pada hukum syariah.

Berbeda dengan sistem kepemimpinan dalam Islam yang memiliki mekanisme ketat dalam mengelola 7 negara. Ibnu Taimiyah dalam As-Siyasah Asy-Syar’iyyah menegaskan bahwa dalam sistem Islam, anggaran harus dengan penuh kehati-hatian dan ditujukan untuk kesejahteraan umat.

Seorang pemimpin tidak memiliki hak istimewa dalam menggunakan dana publik, melainkan harus memastikan bahwa setiap pengeluaran benar-benar untuk kepentingan rakyat. Jika ada penyalahgunaan atau penghamburan, pemimpin tersebut akan dimintai pertanggungjawaban, baik oleh masyarakat maupun di hadapan Allah Swt.

Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Al-Amwal Fi Dawlah Al-Khilafah juga menegaskan bahwa pengelolaan harta negara dalam Islam berprinsip pada keadilan dan efisiensi. Dana negara berasal dari sumber-sumber yang telah ditetapkan oleh syariat, seperti fai, kharaj, jizyah, dan zakat, serta harus digunakan dengan tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Tidak boleh ada pengeluaran yang tidak memiliki dasar syar'i atau hanya menguntungkan segelintir orang. Dalam Islam, setiap sen yang digunakan dari Baitul Mal harus dipertanggungjawabkan dengan jelas dan memiliki dampak nyata bagi kesejahteraan umat.

Maka, wajar jika publik merasa geram terhadap acara glamping kepala daerah ini. Bukan hanya karena anggarannya yang fantastis, tetapi juga karena menunjukkan bagaimana lemahnya kesadaran para pemimpin terhadap kondisi rakyat. Namun, kemarahan saja tidak cukup. Selama sistem yang melahirkan kebijakan seperti ini masih dipertahankan, kejadian serupa akan terus berulang. Sudah saatnya kita berpikir lebih jauh, bukan hanya tentang mengganti pemimpin, tetapi juga memperbaiki sistem yang memungkinkan mereka bertindak sewenang-wenang atas nama kekuasaan.

Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Al-Khilafah menegaskan bahwa hanya sistem Khilafah yang dapat menjamin pengelolaan negara berdasarkan syariah secara menyeluruh, memastikan bahwa setiap kebijakan berorientasi pada kemaslahatan rakyat, bukan kepentingan elite politik. Jika kita menginginkan perubahan nyata, maka sistem yang mengatur kehidupan bernegara harus kembali kepada prinsip-prinsip Islam yang kaffah. [Rn]

Baca juga:

0 Comments: