OPINI
Trending Perceraian, Buah dari Sistem Kapitalisme
Oleh. Nuryati
SSCQMedia.Com- "Tok … tok … tok!" Terdengar suara ketukan pintu rumahku di siang hari.
"Assalamu'alaikum, Bu Nur, ini Laila, temanmu," sahutnya dari balik pintu.
"Iya, wa'alaikumsalam," teriakku kencang.
Perlahan kubuka pintu rumahku. "Di siang hari yang menyengat ini, apa gerangan yang membuatmu ke sini, Laila?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi.
"Ada masalah penting, Bu. Aku ingin bercerita denganmu," pintanya sambil menarik tanganku.
"Oke, duduklah dulu. Santailah sejenak. Aku tahu jarak rumahmu jauh. Minumlah dulu, agar kamu tenang." pintaku agar dia rileks setelah menempuh perjalanan sekitar satu km dengan mengendarai sepeda motor bututnya.
"Begini, Bu. Aku mau cerai dengan suamiku," sahutnya tegas. Dorrrr. Aku mendengarnya bagai disambar petir di siang bolong.
"Astaghfirullah, apa yang terjadi Laila? Coba ceritakan dulu padaku, mungkin aku bisa kasih solusi dan aku berharap engkau mengurungkan niatmu bercerai," pintaku dengan lembut.
Kali ini telingaku benar-benar kupasang lebar agar jelas semua yang ingin disampaikan oleh teman baikku ini.
"Suamiku … sudah tidak pernah menafkahiku selama belasan tahun. Dan aku telah bersabar selama ini. Saya kira ia akan berubah, nyatanya … kini aku yang menjadi tulang punggung keluarga," jawabnya sambil terisak.
"Aku lelah … aku lelah dengan semua ini. Mataku lelah untuk menangis, aku sampai terkena sakit maag, nyeri tulang punggung karena memikirkan semua ini. Sekarang aku tak sanggup lagi untuk diam. Aku harus mengambil keputusan," tegasnya.
"Tak malulah engkau dengan orang-orang?" tanyaku dengan menatap tajam.
"Biarkanlah, 'kan yang merasakan aku sendiri," jawabnya ringan.
Itulah potret derita seorang ibu dalam sistem kapitalisme. Seorang ibu yang seharusnya diayomi, dinafkahi, dilindungi tetapi tidak memperoleh haknya sebagai seorang istri dan ibu. Dan masih banyak ibu-ibu yang lain yang bernasib sama atau bahkan lebih parah, misalnya mereka mengalami KDRT (kekerasan dalam rumah tangga).
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah perceraian di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 463.654 kasus. Beberapa faktor yang menjadi penyebab perceraian di antaranya adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), masalah ekonomi, dan perselingkuhan.
Jika kita melihat maraknya perceraian, akan ada banyak sekali alasan-alasan yang melatarbelakanginya. Penulis dulu pernah bertandang ke Pengadilan Agama (PA) kota Surabaya menemani teman yang akan melakukan mediasi. Masyaallah, mata ini terbelalak melihat banyaknya peserta yang sedang mengantre untuk mengurus perceraian. Ya arhamar rahimin … aku mengelus dada, ada apa gerangan dengan semua ini?
Sungguh banyak faktor yang melatarbelakangi perceraian, antara lain:
1. Tidak adanya penafkahan (faktor ekonomi). Hal ini biasanya disebabkan oleh suami yang tidak bekerja. Padahal suami adalah kepala rumah tangga. Saat ini banyak lowongan kerja yang menampung perempuan karena faktor harga yang murah (mau dibayar berapa pun) dan mudah diatur, tidak mudah protes terhadap aturan perusahaan. Ketika para ibu bekerja, maka ada hak anak yang terabaikan.
2. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perselingkuhan. Biasanya dilakukan oleh laki-laki yang mempunyai karakter yang buruk, didikan masa kecil yang traumatik dan point penting adalah kurang atau tidak adanya keimanan sehingga tumbuh dalam kekerasan dan perbuatan yang tercela.
Semua ini merupakan buah dari sistem kapitalisme liberal dan sekularisme yang memisahkan kehidupan agama dengan dunia. Dalam sistem kapitalisme, asas materi menjadi point yang utama. Ketika seorang suami memiliki banyak materi, biasanya akan diterima lamaran pernikahannya meskipun terkadang akhlaknya kurang baik, hal ini juga banyak memicu perceraian. Kurikulum pendidikan dalam sistem kapitalisme tidak mengajarkan ketaatan kepada Sang Khalik secara paripurna. Tidak adanya ketaatan kepada Allah Swt. dan tidak mengetahui batasan halal dan haram sehingga output pendidikan menghasilkan kepribadian yang rapuh.
Harusnya setiap suami mengetahui hak dan kewajibannya sebagai seorang suami. Kewajibannya yaitu bekerja atau mencari nafkah yang halal untuk keluarganya tercinta. Untuk mereka, ia akan rela berkorban dengan tenaga, waktu, pikiran dan uang. Nafkah yang halal meskipun sedikit ia akan terasa berkahnya. Jika istri bekerja, maka itu sebagai sampingan bukan yang utama. Sedangkan hak suami adalah mendapatkan perlakuan yang baik dari istrinya sehingga terciptalah rumah tangga yang harmonis. Suami istri sama-sama mengetahui perannya masing-masing. Suami yang pengertian akan membantu pekerjaan rumah tangga tanpa disuruh istrinya. Dia akan menyayangi istri dan anaknya. Dia akan berusaha memberikan kecukupan nafkah kepada keluarganya, dermawan kepada saudara dan orang lain di sekitarnya dan suka menyambung silaturahmi. Sehingga bisa hidup bahagia hingga akhir hayatnya.
Peran seorang ibu sangatlah luar biasa, sebagai ummu wa rabbatul bait (sebagai ibu dan pengatur rumah tangga), sebagai pencetak generasi emas bangsa. Dan sebagai pencetak generasi yang saleh dan bertakwa agar umat Islam bangkit dan berjaya.
Dalam sistem Islam, peran ibu sangat diperhatikan. Mulai pada saat akan menikah dijelaskan tentang hak dan kewajiban istri dan memilih calon suami yang baik agar kelak bibit yang dihasilkan ketika bercocok tanam akan menjadi generasi yang unggul. Pada saat ijab kabul pernikahan, dipastikan tempatnya terpisah tidak ada ikhtilat atau bercampur baur dan tidak ada maksiat di dalamnya seperti lagu-lagu yang tidak syar'i. Kemudian ketika menjadi seorang ibu, maka pahala surga ada di telapak kakinya. Ketika akan melahirkan, maka jutaan pahala mengalir pada setiap urat nadinya. Ketika anaknya lahir, maka seorang ibu berperan sebagai ummu wa rabbatul bait atau sebagai Ibu dan pengatur rumah tangga. Sebagai ibu yang melahirkan anaknya dan sebagai manager rumah tangga, mengatur keuangan, merawat anak-anak dan suami sekaligus merawat rumah agar senantiasa terlihat bersih dan harmonis.
Dalam negara yang menerapkan sistem Islam juga akan sangat membantu para ibu. Adapun keuntungan dengan diterapkan aturan syari'at Islam dalam bernegara antara lain:
1. Harga sembako, listrik, dan air akan cenderung stabil bahkan murah.
2. Biaya pendidikan dan kesehatan akan murah bahkan gratis.
3. Menurunnya tindakan kriminalitas remaja
4. Tersedianya modal dan banyak lapangan pekerjaan untuk kepala rumah tangga. Jadi, tidak ada lagi kata menganggur. Dan mereka para suami mengerahkan segala daya upaya untuk bekerja sehingga meminimalisir perceraian karena faktor ekonomi.
5. Kurikulum berbasis Islam menjadikan generasi yang saleh.
Itulah beberapa poin ketika sistem Islam ditegakkan. Insyaallah tidak hanya para ibu, tetapi seluruh masyarakat atau seluruh umat akan merasakan kesejahteraan hingga ke pelosok negeri.
Akhir kata, jika engkau menjadi ibu, maka jadilah ibu pejuang yang berjuang agar aturan Allah Swt. tertegakkan di muka bumi ini sehingga kita bisa melihat wajah ibu-ibu tersenyum bahagia dan sejahtera dalam naungan Khilafah Islamiyah. Amiin. Allahu Akbar! [An]
Baca juga:

0 Comments: