Headlines
Loading...
Oleh. Umi Hafizha 

SSCQMedia.Com- Berbagai masalah masih dihadapi masyarakat Maluku. Selain kemiskinan dan pengangguran, persoalan lain yang masih melanda wilayah ini adalah terkait kelistrikan. Tercatat dari 1.200 desa di Maluku, ratusan desa di antaranya  masyarakatnya belum menikmati listrik. Padahal sebagai warga negara, mereka memiliki hak yang harus dipenuhi oleh negara.

Dari 185 desa yang belum teraliri listrik, sebagian besar berada di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Seperti halnya Kabupaten Maluku Barat Daya, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, dan Kabupaten Kepulauan Aru. Sebagai upaya penyelesaian, PLN mengakui telah melakukan berbagai program, di antaranya Light Up The Dream, berupa penyambungan listrik secara gratis kepada masyarakat. Hingga Desember 2023 sebanyak 500 desa telah teraliri listrik, termasuk Maluku Utara. (Beritamalukuonline.com, 7/11/2024). 

Fakta adanya wilayah yang belum mendapat aliran listrik sangat patut dipertanyakan. Sumber daya alam yang melimpah, teknologi yang semakin canggih dan tenaga ahli pun juga banyak, seharusnya bisa menyelesaikan masalah pemerataan listrik. Jika alasannya masalah geografis wilayah, ada banyak pula para ahli di bidang terkait untuk memberikan solusi. 

Namun, sejatinya akar masalah pemerataan listrik bukan pada hal teknis, melainkan pada konsep tata kelola. Tata kelola sumber daya alam, termasuk sumber listrik saat ini dikelola dengan sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme melahirkan konsep kebebasan kepemilikan. Akhirnya terjadi liberalisasi sumber daya alam yaitu swasta legal memiliki dan menguasai sumber daya alam. Liberalisasi meniscayakan sumber daya alam menjadi komoditas legal diperjualbelikan atau dikapitalisasi sehingga masyarakat harus membayar untuk menikmatinya.

Salah tata kelola ini membuat daerah pedesaan bahkan pedalaman hingga saat ini tidak mendapat aliran listrik. Padahal listrik bukan barang yang sulit didapatkan jika dikelola dengan benar, yakni sesuai dengan syariat Allah. Dalam Islam, listrik dikategorikan sebagai kebutuhan dasar publik karena semua rakyat pasti membutuhkan. Kemudian dari segi fakta sumber listrik, seperti batu bara, minyak bumi, gas, dan sumber listrik lainnya berasal dari sumber daya alam. Sumber daya alam adalah harta kepemilikan umum (rakyat). Rasulullah saw. bersabda, "Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad). 

Dalam hal ini, listrik termasuk sumber daya api yang disebutkan dalam hadis di atas. Karena listrik menghasilkan aliran energi panas (api) yang dapat menyalakan barang elektronik. Karena termasuk kepemilikan umum, konsep pengelolaan sumber daya alam yang syar'i adalah dikelola oleh negara secara mandiri tanpa intervensi dari pihak manapun termasuk swasta. 

Artinya sistem ekonomi Islam tidak mengakui legalisasi dan komersialisasi SDA. Selanjutnya hasil pengelolaan sumber daya alam diberikan seluruhnya kepada rakyat dalam bentuk langsung atau tidak langsung. Distribusi secara langsung berupa subsidi listrik, energi, BBM, dan sejenisnya yang diberikan kepada rakyat. Sementara distribusi tidak langsung berupa jaminan pemenuhan kebutuhan dasar publik, seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan secara gratis dan berkualitas. 

Seperti inilah pengelolaan syar'i sumber daya alam listrik yang hanya bisa diwujudkan oleh negara yang menerapkan sistem Islam. Pengelolaan yang demikian dipastikan akan menjangkau semua wilayah pedesaan maupun pedalaman. Karena negara memiliki kekuasaan penuh untuk mendistribusikan listrik kepada semua rakyatnya.
Wallahualam bissawab. [My]

Baca juga:

0 Comments: