OPINI
Pengelolaan Listrik yang Kapitalistik
Oleh. Ummu Faiha Hasna
(Pena Muslimah Cilacap)
SSCQMedia.Com- Kabarnya ada sekitar 22.000 kepala keluarga (KK) di Jawa Barat yang rumahnya belum teraliri listrik. Hal tersebut terungkap saat debat Pilkada Jabar 2024 pada Sabtu, 23 November 2024. Para calon gubernur diminta menyampaikan program dan strateginya untuk mengatasi persoalan tersebut, pasalnya KK yang bersangkutan tinggal di daerah terpencil. Aliran listrik sejatinya juga belum dirasakan masyarakat di wilayah lain.
Sebagaimana diberitakan pada bulan Juni lalu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jisman P Hutajulu, menyampaikan bahwa sampai triwulan I 2024 masih ada 112 desa/kelurahan yang belum teraliri listrik (tirto.id, 10/6/2024).
Dari total 83.763 desa/kelurahan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 100.1.1-6177 tahun 2022 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, rasio desa berlistrik sudah sebesar 99,87 persen. Rinciannya, 77.342 desa/kelurahan atau sekitar 92,33 persen mendapat aliran listrik dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.
Meski demikian, adanya fakta puluhan ribu warga Jabar yang hidup tanpa listrik membuktikan belum ratanya penyediaan aliran listrik di negeri ini. Listrik, merupakan kebutuhan penting yang seharusnya dipenuhi oleh negara. Namun, hal ini tidak terwujud hingga hari ini akibat diberlakukan liberalisasi tata kelola listrik pada sumber energi primer dan layanan listrik.
Tata kelola listrik yang liberal ini, merupakan buah dari penerapan sistem kapitalisme yang berorientasi mendapatkan keuntungan. Akibatnya penyediaan listrik di pedesaan tidak terlalu diperhatikan karena mahalnya biaya yang dibutuhkan.
Sistem ekonomi kapitalisme meniscayakan sumber energi primer listrik, batu bara, boleh dikelola pihak swasta. Sumber energi batu bara merupakan salah satu sumber energi milik rakyat yang seharusnya dapat dinikmati rakyat dengan harga murah bahkan gratis. Bukan hanya bagi rakyat miskin atau dalam kekurangan, bahkan untuk rakyat yang kaya sekalipun mestinya dapat menikmati listrik murah karena termasuk kepemilikan bersama (publik). Namun, di dalam tata kelola listrik ala kapitalis sumber daya alam batu bara malah diprivatisasi dan dijadikan ladang bisnis oleh pihak swasta. Alhasil, rakyat harus mengaksesnya dengan harga mahal karena pihak swasta ingin mendapatkan untung besar dalam mengelolanya.
Di sisi lain, negara yang seharusnya bertanggungjawab menyediakan kebutuhan penting bagi rakyatnya sebagaimana listrik malah berlepas tangan. Sebaliknya negara malah mengambil untung dari pengelolaan listrik yang kapitalistik ini. Kalaupun ada subsidi yang terus disalurkan, nilainya semakin dikurangi dengan alasan tidak tepat sasaran.
Dalam sistem kapitalisme, negara hanya hadir sebagai regulator yang memudahkan penguasaan tambang batu bara oleh korporasi. Adapun di sektor hilir terjadi liberalisasi (komersialisasi) layanan listrik yang menyebabkan dibukanya pintu lebar bagi swasta untuk membangun pembangkit baru. Pembangkit swasta untuk membantu suplai listrik PLN pun terus bermunculan.
Berbeda dengan pengelolaan listrik dengan sistem Islam. Dalam pandangan Islam, listrik merupakan milik umum, dilihat dari dua aspek. Aspek pertama, listrik yang digunakan sebagai bahan bakar, masuk dalam kategori "api" yang merupakan milik umum. Aspek kedua, sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik baik oleh PT PLN maupun swasta sebagian besar berasal dari barang tambang yang depositnya besar, seperti migas dan batu bara yang juga milik umum.
Rasulullah saw. bersabda yang artinya "Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yakni padang rumput, air, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Karena statusnya sebagai kepemilikan umum, maka Islam menetapkan listrik harus dikelola negara dan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk listrik gratis atau murah yakni mudah dijangkau. Wallahualam. [Ni]
Baca juga:

0 Comments: