Headlines
Loading...
Oleh. Siti Nur Rahma 

SSCQMedia.Com- Kata toleransi seakan menjadi aktivitas wajib yang harus dilakukan oleh umat tertentu agar tercipta kerukunan dan kedamaian dalam bermasyarakat. Meskipun pada hakikatnya toleransi yang ramai diiklankan adalah toleransi yang menabrak batas akidah suatu umat beragama.

Demi mendapatkan julukan sebagai kota yang penuh dengan toleransi, Pemkot Surabaya  menyiapkan keamanan penuh jelang momen natal dan tahun baru. Pemkot pun mengerahkan beberapa ormas dan kepolisian untuk menjaga suasana tetap kondusif selama natal dan tahun baru. Ajakan menjaga keharmonisan antar umat beragama terus dihimbau oleh Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi sebagai upaya memperkuat toleransi di kota Pahlawan itu. Jawapos.com (13-12-2021).

Demikian kentalnya toleransi dijunjung tinggi di negeri ini, hingga seorang tokoh pendiri Institut Agama Islam Muhammad Azim, Jambi, Dr. dr. Maulana MKM dan juga merupakan Wali Kota terpilih Jambi mengucapkan selamat Natal kepada seluruh umat Kristiani, khususnya di Kota Jambi. Beliau juga berharap semoga Natal membawa damai, suka cita, dan kekuatan bagi kita semua untuk terus membangun Kota Jambi yang lebih baik. Penuturan yang disampaikan dengan jelas oleh walikota Jambi terpilih pada Perayaan Natal yang diselenggarakan oleh Komisi Perempuan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Wilayah Jambi (PGIW) pada Rabu 1 1/12/2024 di GBI MHCC Abadi, Paal Merah, Kota Jambi. (RRI.co.id,  11-12-2024).

Sedangkan pada laman kemenag.go.id yang diterbitkan pada 16 Desember 2024, ​​​​​​​Menteri agama, Nasaruddin Umar dalam rangka menyambut tahun baru mengimbau masyarakat menggelar giat reflektif dan kontemplatif di rumah ibadah, dengan pentas seni religi yang bisa menyentuh suasana kebatinan masyarakat. Beliau juga menjelaskan bahwa perayaan Natal akan terlaksana dengan aman dan damai sesuai dengan kondisi keberagamaan Indonesia yang amat baik.

Makna Ganda Toleransi

Toleransi sudah sejak lama dijadikan bahan untuk mencampurkan akidah umat agama yang satu dengan yang lain. Meskipun alasannya untuk menciptakan kerukunan, keharmonisan dan kedamaian, tetapi sejatinya hanya untuk menyerang Islam dan syariat-Nya.

Tak hanya pada momen Nataru, umat Islam di perayaan ibadah agama lain pun diharuskan untuk bersikap toleransi. Misalnya, saat Nyepi di Bali, umat Islam yang tidak merayakan Nyepi diatur untuk tidak beraktivitas “ramai” seharian penuh dengan alasan toleransi. Umat Islam di sana sebagai “pihak minoritas diajak untuk menghormati agama mayoritas”. Ini adalah standar toleransi yang pertama.

Sedangkan standar toleransi yang kedua terlihat pada saat bulan Ramadhan di Indonesia. Ada seruan bahwa yang berpuasa harus menghormati yang tidak puasa dengan berbagai benang merah yang dikait-kaitkan. Baik yang tidak berpuasa itu adalah non-muslim, maupun muslim yang mendapat syariat untuk tidak menjalankan puasa seperti anak belum baligh, wanita haid dan nifas, wanita menyusui dan hamil yang mendapat rukhsah, orang sakit parah, dan musafir. Dari  sini umat Islam sebagai “pihak mayoritas diseru untuk menghormati pihak minoritas”. Di sinilah letak ketidakadilan dalam memberikan makna toleransi.

Aturan Islam Mengenai Keragaman Masyarakat

Sikap toleransi yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah toleransi yang diajarkan oleh Rasulullah. Secara garis besar ada dua ketentuan syariah Islam dalam mengatur kemajemukan masyarakat. 

Pertama, jika yang diatur adalah umat Islam maka menggunakan aturan dari syariat Islam secara kafah (menyeluruh). Maka umat Islam harus tunduk dan patuh terhadap seluruh aturan hidup dalam Islam, baik kehidupan umum maupun kehidupan khususnya, berupa makanan, minuman, pakaian, adat istiadat, bahasa, perkawinan, kesenian, jual beli, politik, sosial dan lain sebagainya. 

Kedua, jika yang diatur adalah umat selain Islam, misalnya penganut Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha dan sebagainya, maka ada dua macam aturan yang dikenakan terhadapnya. Macam yang pertama adalah jika menyangkut kehidupan umum, misalnya dalam kehidupan ekonomi, politik, sosial dan lainnya. Maka umat selain Islam harus tunduk kepada syariah Islam yang diterapkan oleh negara. Sedangkan yang kedua adalah jika menyangkut kehidupan pribadi seperti ibadah, makanan, minuman, pakaian, dan pernikahan.  Di sini umat non Islam dibolehkan menjalankan agamanya masing-masing tanpa paksaan masuk Islam. 

Dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat 256, 

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّۚ فَمَنْ

Artinya: Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. (TQS. Al Baqarah: 256)

Dalam beragama Al Quran menegaskan bahwa hanya agama Islam yang benar dan diridai Allah Swt.
 
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُۗ

Artinya: Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah adalah Islam. (TQS. Ali Imran: 19).

Maka, wajib adanya negara yang mengatur keamanan dan kerukunan serta keharmonisan dalam keragaman masyarakat dengan aturan yang ada dalam agama Islam. Hal ini bukan berarti Islam memaksakan kehendak tetapi memang hanyalah Islam agama yang benar dan sesuai dengan kehendak Allah yang Maha Pencipta, Maha Pengatur.

Toleransi, Jangan Kebablasan

Seperti yang pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, pencampuran perayaan ibadah dilakukan atas nama toleransi. Umat non muslim mengucapkan selamat hari raya idul fitri kepada umat Islam. Kemudian, umat Islam diseru ikut serta dalam perayaan hari raya umat non muslim, menggunakan atribut khas agama lain bagi umat muslim menjelang hari rayanya, misal saat natal dan tahun baru, menghadiri acara keagamaan di gereja dan bahkan mengucapkan selamat natal kepada umat Kristiani adalah bentuk pencampuran adukan ritual ibadah yang dinilai membahayakan aqidah bagi umat Islam.

Sesungguhnya Rasulullah telah memberikan contoh bagaimana menyikapi kaum kafir saat mengajak untuk mencampur adukkan ritual ibadahnya.

Ketika Walid bin Mughirah dan Umayyah bin Khalaf yang merupakan pemuka kaum Quraisy menemui Rasulullah Saw dan menawarkan pada beliau konsep toleransi. “Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya”. (Tafsir Al Qurtubi 14:425). 

Kemudian Allah menurunkan surat Al Kafirun. Dalam tafsir Ibnu Katsir Juz 30 atas kejahilan mereka, orang kafir Quraisy mengajak Rasulullah Saw untuk menyembah berhala selama setahun dan mereka pun akan menyembah sesembahan beliau selama setahun. Maka Allah Swt. menurunkan surat tersebut, dan menyuruh Rasulullah Saw agar berlepas diri dari agama mereka secara keseluruhan.

Rasulullah mengajarkan kepada muslim untuk cukup membiarkan perayaan agamanya, yaitu tidak melarangnya, bukan turut serta merayakannya. Sungguh kondisi toleransi kebablasan saat ini adalah buah dari paham sekularisme yang memisahkan kehidupan dunia dengan aturan agama Islam.
Oleh karena itu, masihkah kita tetap seperti ini adanya, tanpa adanya syariat Islam diemban oleh sebuah negara untuk melindungi masyarakat secara menyeluruh, bahkan ranah akidahnya?

Wallahualam bissawab. [My]

Baca juga:

0 Comments: