Headlines
Loading...
Oleh. Nurfadilah Kustanti

SSCQMedia.Com- Pajak merupakan sesuatu hal yang tidak asing terutama bagi pengusaha. Saat ini pajak juga menjadi instrumen utama negara. Di sisi lain pajak juga digadang-gadang sebagai sistem ekonomi yang bisa mewujudkan keadilan sosial, mengurangi kesenjangan ekonomi, dan memberikan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Namun, ternyata niat mulia ini tidaklah seindah penerapannya. Pajak yang tinggi dan tidak proporsional membebani rakyat kecil, sementara para pemilik modal sering kali mendapatkan berbagai insentif dan keringanan. Akibatnya, ketimpangan semakin tajam dan keadilan ekonomi semakin jauh dari kenyataan.

Di dalam sistem kapitalisme sekuler, pajak digunakan sebagai sumber dana pembangunan. Karenanya, penarikan pajak dengan segala konsekuensinya adalah satu keniscayaan. Hal tersebut diterapkan kepada siapa saja karena merupakan kewajiban rakyat. Dari masa ke masa, rakyat tak henti didera sejumlah pajak. Terkadang, pungutan di tengah berbagai keterbatasan hidup berhasil menyulut perlawanan (Tirto.id, 21/12/2024). Baru-baru ini, pemerintah juga akan memberlakukan kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yaitu jenis pajak yang dikenakan pada konsumsi barang dan jasa, yang pada akhirnya dibebankan pada masyarakat luas. 

Dilansir dari Kumparan.com, 22/12/2024, rencana kenaikan PPN 12 persen pada 1 Januari 2025, dikatakan tidak menyasar semua barang dan jasa, hanya berlaku pada barang mewah saja. Namun, masyarakat masih mempertanyakan definisi barang mewah yang dimaksud, sebab pada akhirnya kenaikan pajak 12 persen menyasar hampir semua barang dan jasa yang kena pajak. 

Kebijakan pajak yang diterapkan di negeri ini merupakan buah karya penerapan sistem kapitalis sekuler. Di mana sistem ini terus memalak rakyat dengan pajak meski rakyatnya miskin. Sedangkan semua kekayaan alam diserahkan pengelolaannya kepada swasta asing dan aseng. Negara berperan sebagai regulator dan fasilitator sehingga sering berpihak kepada para pengusaha dan abai kepada rakyat. 

Ulama salaf secara umum mengharamkan pengambilan pajak jika tidak ada kebutuhan yang sangat mendesak dan tidak sesuai dengan prinsip syariat. Pengambilan pajak semacam ini dikategorikan sebagai tindakan zalim. Mengambil harta rakyat melalui pajak tanpa izin syar'i termasuk ke dalam larangan syariat. Allah Swt. berfirman:

ÙˆَÙ„َا  تَØ£ْÙƒُÙ„ُÙˆْۤا  اَÙ…ْÙˆَا Ù„َـكُÙ…ْ  بَÙŠْÙ†َÙƒُÙ…ْ  بِا Ù„ْبَا Ø·ِÙ„ِ  

"Dan janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan jalan yang batil."
(QS. Al-Baqarah : 188).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, bahwa ayat ini melarang segala bentuk kezaliman dan perampasan hak milik (harta), apalagi yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya. Penguasa yang memberlakukan pajak seperti PPN tanpa dasar syar'i akan diminta pertanggungjawaban di akhirat. Orang-orang yang mendukung kebijakan pajak, zalim, baik sebagai pengambil keputusan maupun pelaksana, juga akan ikut menanggung dosa. Hal ini sesuai dengan prinsip dalam Islam, bahwa setiap pelaku kezaliman akan dimintai pertanggungjawaban. 

Satu-satunya cara untuk membebaskan rakyat dari jeratan pajak adalah mengubah pendapatan utama negara. Adalah sistem Islam (Khilafah), sistem yang mampu mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran. Sebab, sistem yang berasal dari Sang Pencipta alam semesta ini telah menurunkan seperangkat aturan sempurna bagi manusia sebagai problem solving di semua lini kehidupan. 

Sistem ekonomi Islam menetapkan aturan kepemilikan dan menjadikan sumber kekayaan alam sebagai milik umum yang wajib dikelola oleh negara dan hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Sumber daya alam ini adalah salah satu sumber pemasukan negara dan negara juga memiliki berbagai sumber pemasukan yang cukup untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat individu per individu. Di antaranya, fa'i, kharaj, jizyah, harta kepemilikan umum, dan zakat (zakat mal, zakat perdagangan, zakat pertanian, dan zakat ternak). Semua sumber pemasukan ini disimpan di Baitulmaal dan dikelola sesuai syariat Islam. Adapun pajak (dharibah) dalam kondisi tertentu juga menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Namun, pajak tidak dipungut dari semua orang seperti yang terjadi saat ini, melainkan hanya dipungut dari kaum muslimin yang memiliki kelebihan harta (kaya) dan merupakan alternatif terakhir dipungut oleh negara jika kas negara kosong atau tidak mencukupi untuk memenuhi pengeluaran yang wajib ditunaikan. Jadi, sifatnya insidental, dan berhenti ketika pembiayaan tersebut sudah terpenuhi.

Mengambil pajak dari orang yang tidak wajib pajak, merupakan jalan batil dan zalim. Oleh karena itu, sudah saatnya kita beralih pada sistem Islam yang datangnya dari Allah Swt. yang akan menjauhkan umat manusia dari kerusakan dan selalu membawa rahmat serta kemaslahatan bagi manusia. Di mana negara bertindak sebagai ra'in (penjaga) yang mengurus rakyat, memenuhi kebutuhannya dan menyejahterakan, sehingga membuat rakyat hidup tenteram. 

Wallahualam bissawab. [An]

Baca juga:

0 Comments: