Headlines
Loading...
Oleh. Salma

Ceritanya, anak gadisku yang pertama sedang mondok di luar kota, yaitu di Pondok Tahfiz setara Madrasah Aliyah. Nah, pada suatu hari ketika dia pulang saat liburan, dia memberi buku diari kosong kepadaku.

"Apa nih?" tanyaku.

"Buat Umi. Minta tolong diisi apaaaa saja."

"Diisi apa?" celetukku.

"Terserah Umi?" tanyaku lagi.

"Ya sudah, tak coret-coret aja," godaku.

"Ahhh, Umi. Serius nih! Tulisi apa saja terserah Umi, sampai penuh, ya?!"

"Ah, kamu nih. Nambah-nambahi kerjaan Umi aja. Tugas nulis Umi aja dah banyak banget. Umi gak janji cepet lo ya. Sesempatnya Umi," jawabku.

Lalu, tiba saatnya dia harus kembali ke pondok. Dan, aku mulai mengisi lembar demi lembar diari yang dia berikan.
Aku tulis apa saja yang sedang kukerjakan atau sedang kupikirkan. Tentang kegiatanku sehari-hari. Saat duduk santai sambil ngopi dan ngopini. Saat sedang jenuh menghadapi cucian yang segunung Himalaya.
Tentang persiapanku dan ringkasan materi yang akan disampaikan dalam Majelis Taklim (MT) dan sesudahnya.
 
Jika senggang, aku suka berselancar di Facebook. Bukan sekali dua kali, berbagai kutipan menarik dan penuh hikmah yang kutemukan di Facebook, kuabadikan pula dalam buku diari.

Tentang sosok-sosok sahabat istimewa di sekitarku yang begitu menginspirasi. Tentang laporan One Day One Juz (ODOJ) SSCQ. Tentang harapan, nasihat, cita-cita, dan doa-doa untuk ketujuh anakku.
 
Kutulis pula di sana kerandoman tingkah ketujuh anakku di masa kecil mereka, ketika kami masih berkumpul bersama. Syair lagu-lagu yang relevan dengan keluarga kami, seperti "We're Big Family-nya Maher Zain, lagu Bunda-nya Nusa dan Kotak, lagu Kembali Ke Masjid dan lainnya, tak lupa pula kutulis di dalam buku diari.

Ah, iya! Aku juga menggoreskan pesan-pesan dan harapan spesial untuk anak gadis sulungku itu. Tentang masa depannya, tentang jodohnya, tentang semuanya. Kuhiasi dengan emot-emot penuh cinta.

Pokoknya, kutulis semua hal yang menarik, penuh hikmah, pesan-pesan kehidupan untuk semua anak-anakku, khususnya dia yang sudah memberiku buku diari. Walau kadang ada yang random juga. Kira-kira hampir setahun kemudian buku diari itu penuh dan siap untuk dikembalikan ke si pemberi.

Nah, suatu hari anakku yang di pondok memintaku untuk mengirimkan barang baru (entah apa aku lupa) yang merupakan milik bersama teman-teman sekelasnya, yang kebetulan ketinggalan di rumah. Maka, kupaketkanlah barang tersebut, termasuk buku diari juga kubungkus sekalian. Kira-kira butuh waktu lima harian untuk paket itu sampai di pondok anakku.

Ketika jadwal telepon mingguan tiba, seperti biasa aku meneleponnya.

"Gimana paketnya, sudah sampai?"

"Alhamdulillah sudah Mi. Ya Allah, Mi. Buku diari tulisan Umi dibaca teman-temanku lho," jawabnya.

"Apppaaaa?!" Aku auto teriak histeris.
Campur aduk perasaanku, kaget dan malu.

"Kok bisa?!" tanyaku.

"Waktu itu kan aku unboxing paket kiriman Umi. Temen-temen pada rebutan, antusias pengen segera liat barangnya. Ternyata ada buku diarinya juga dan tanpa sengaja kebuka dan dibacalah sama salah satu teman. Pas aku minta ga boleh. Dia penasaran pengen terus baca."

"Terus, terus?" tanyaku penasaran.

"Teman-teman yang lainnya akhirnya juga pengen baca. Akhirnya bukunya dikasihkan ke aku dulu, tapi dengan syarat nanti teman-teman yang lain mau pinjam juga."

"Ya Allah, padahal ada beberapa yang agak pribadi," gumamku.

"Makanya, kubaca dulu sebelum dipinjam teman-teman. Maaf Mi, yang agak-agak bahaya kucoret Mi."

"Yo wis lah, ga apa-apa"

Terus kudengar ada suara-suara di belakang anakku itu, di seberang sana. Sepertinya, teman-temannya.

"Lagi teleponan sama Umimu ya, Ya?"

"Assalamualaikum, Umi."

"Umi, masyaallah … tulisannya Umi sangat menginspirasi."

"Iya Ummi. Bla … bla … bla." Terdengar beberapa celetukan teman-teman anakku lewat telepon.  Aku sedikit kaget, bengong dengan respon mereka.

"Iya, waalaikum salam. Iyakah? balasku kepada mereka.

"Ya Allah, malu aku," batinku. Tulisanku dibaca banyak orang. Dan respon mereka ternyata positif!!! Aku benar-benar tak menyangka.

"Terus sekarang bukunya sudah kamu pegang lagi?" 

"Belum, Mi. Teman-teman masih pada antri nunggu giliran baca."

" Ya Allah, sampai segitunya," batinku. Senang-senang gimanaaaa gitu perasaanku.

Dan, akhirnya setiap aku telepon anakku, teman-temannya juga selalu ikut untuk menyapaku. Aku merasa jadi artis.

Terakhir, ketika ada momen kunjungan ke pondok, sekaligus jadi momen jumpa fans-ku dengan teman-teman anakku.  Mereka satu persatu menyapa dan menyalamiku. Masyaallah, barakallahu fiikum jami'an anak-anak salihah.

Begitulah, kehidupanku terus berlanjut. Aku berusaha lebih semangat lagi menulis. Menulis apapun yang penting bisa menginspirasi orang lain. Ternyata, bahagia rasanya ketika apa yang kita tulis memberikan dampak dan respon yang positif dari yang membaca. 

Bener lho! Kalau enggak percaya, buktikan sendiri saja. Menulislah, maka kau akan terkenal. [An]

Baca juga:

0 Comments: