surat pembaca
Kejar Pajak Sampai ke Rumah, bak Pemalak
Oleh. Nur Arofah (Jagakarsa)
Penunggak pajak bersiap-siap akan didatangi ke rumah. Pasalnya, Kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat), Sumatera Selatan, akan mengerahkan para petugasnya untuk menagih pajak kendaraan tertunggak. Petugas yang dikerahkan ada 15 petugas yang akan disebar dari pintu ke pintu dengan tujuan mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) (10/8/24).
Petugas melakukan penjemputan ke desa-desa, agar wajib pajak membayar tepat waktu dan memudahkan mereka dalam bertransaksi pembayaran pajak. Petugas mendata dan mensosialisasikan aplikasi signal melalui telepon pintar, tidak perlu jauh-jauh para pemilik kendaraan untuk datang ke kantor Samsat setempat, cukup dari rumah. Program ini sudah dilakukan di DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Miris, semua lini yang ada di kehidupan rakyat dikenakan pajak. Alih-alih pungutan pajak untuk pembangunan, namun, tidak dirasakan nyata bagi nasib rakyat. Rakyat, makin terimpit ekonomi yang semakin sulit dengan adanya potongan pajak, padahal rakyat membeli dengan upaya sendiri. Hal itu berbanding terbalik dengan pengusaha yang mendapatkan keringanan pajak.
Kejar pajak sampai ke rumah, layak disebut pemalak rakyat. Kapitalisme sekulerisme mengandalkan sumber pemasukan negara hanya dari pajak, sehingga, ketika pembangunan tersendat berdalih akibat rakyat tidak taat pajak. Sangat kontradiktif untuk kalangan menengah ke bawah yang semakin menjerit dengan sistem saat ini, yang punya modal dialah yang berkuasa. Buktinya adanya tax holiday dan membebaskan pajak penjualan mobil listrik impor dan barang mewah ini telah ditetapkan oleh Menkeu Sri Mulyani pada 15 Februari 2024 (PPNBM).
Sistem saat ini adalah sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Undang-undang dibuat berdasarkan hawa nafsu bukan untuk kemaslahatan rakyat, sehingga hanya mementingkan para oligarki. Penguasa yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, mirisnya mereka justru tidak takut akan hukum Sang Pencipta dengan ketidakpeduliannya kepada rakyat. Penguasa saat ini justru lebih pro kepada korporat. Perilaku pejabat yang terindikasi korup pun semakin menjamur. Pajak layak disebut pemalakan, sebab tidak mengubah rakyat pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan. Sungguh, sistem rusak sejatinya akan menghasilkan aturan yang merusak. Berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang meriayah rakyatnya dan memberikan upah yang manusiawi tanpa pungutan pajak. Pajak pun hanya diambil pada orang kaya pada saat tertentu saja. Sejatinya hanya dengan aturan Sang Maha Pengatur, Allah azza wa jalla, kebaikan manusia akan didapatkan. [An]
Baca juga:

0 Comments: