Headlines
Loading...
  
Oleh. Netty al Kayyisa  
 
Satu fakta kembali mencengangkan dunia. ODGJ tercatat sebagai Daftar Pemilih Tetap. Sebagaimana yang diberitakan di antaranews, 12 Desember 2023, sebanyak 22.871 disabilitas mental atau ODGJ di Jakarta tercatat sebagai DPT untuk Pemilu 2024. Anggota Divisi Data dan Informasi KPU DKI Jakarta, Fahmi Zikrillah mengatakan jika terdatanya ODGJ ini merupakan salah satu upaya memberikan hak politik bagi mereka.  
 
Pertanyaannya adalah apakah mereka bisa berpikir dengan tepat menentukan pilihannya? Sementara untuk mengurusi dirinya saja mereka tak mampu. Apakah tidak ada peluang dimanipulasi suaranya untuk kepentingan calon tertentu? Karena masih menurut Fahmi, pada pemilihan nanti mereka didampingi tim khusus atau petugas TPS setempat.  
 
Siapa yang bisa menjamin tidak ada manipulasi pemilihan? Siapa yang menjamin mereka sadar dan bertanggung jawab pada pilihannya? Bisa jadi mereka tak mengenalnya. Tak mengetahui apa program calon pemimpinnya. Bahkan mengetahui profilnya saja bisa jadi tak bisa mereka pikirkan. Kenapa? Ya karena akal mereka sedang terganggu dan tidak bisa difungsikan. Bagaimana mungkin mereka diberi amanah memilih penguasa? Amanah yang sangat besar pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak.  
 
Ironi terjadi di negeri ini. Di satu sisi ketika ada kasus penikaman ulama, yang pelakunya dinyatakan ODGJ mereka tidak diproses hukum. Dibiarkan  bebas. Terulang kembali. Sedangkan korban terus berjatuhan. Barangkali tak sampai menghilangkan nyawa tetapi mengancam keselamatan.  
 
Inilah yang terjadi di negeri ini. Satu standar ganda yang menjadi biasa. Karena  ada negara yang menerapkannya. Standar ganda sesuai kepentingan penguasanya. Jika berhadapan dengan kaum muslimin, maka bagaimana mereka bisa menekan atau menumpulkan perlawanan. Sementara untuk kepentingan dan kelanggengan sistem akan diupayakan berbagai cara untuk memenangkannya.  
 
Inilah sistem buatan manusia. Yang berpihak pada kepentingan penguasa, bukan rakyatnya. Berpihak pada segelintir orang, yang mendapatkan manfaat dari posisinya. Sementara hak orang lain tersandera. Tidak terpenuhi bahkan dikebiri.  
 
Berbeda dengan pandangan Islam pada individu rakyatnya. Sistem Islam menjadikan akal adalah penentu,  apakah seseorang tertaklif hukum atau tidak. Sebagaimana sabda beliau saw.   
 
عَنْ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ : عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ، وَعَنِ الصَّغِيرِ حَتَّى يَحْتَلِمَ ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ 
 
Dari Aisyah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Diangkat pena (tidak dikenakan dosa) atas tiga kelompok: orang tidur hingga bangun, anak kecil hingga mimpi basah, dan orang gila hingga berakal.” (HR. Ahmad, Ad darimi, dan Ibnu Khuzaimah) 
 
Dari hadis ini jelas bahwa anak kecil, orang gila yang tak berakal mereka tidak terkena taklif hukum. Akal mereka belum bisa difungsikan dengan benar. Sehingga harus ada wali yang mengurusinya. Apapun yang mereka lakukan, tidak bisa mereka pikirkan. Mereka tidak bisa mengatur dirinya sendiri. Menentukan  kehendak atas dirinya. Bahkan mengurusi diri sendiri.  
 
Sehingga jika mereka melakukan jarimah atau kejahatan, mereka tak dibebani hukum karena akal mereka yang tak berfungsi. Maka menjadi tanggung jawab walinya. Mereka  tetap mendapatkan hak hidupnya. Dan negara wajib memastikannya. Mereka tidak akan dibiarkan berkeliaran tanpa busana. Memakan makanan sembarang yang membahayakan kesehatan. Mereka diurus oleh keluarganya bahkan oleh negara jika keluarga tak sanggup mengurusnya.  
 
Tapi mereka tak diberi amanah apapun. Terutama amanah memilih pemimpin yang akan mengurusi umat. Islam memiliki mekanisme tersendiri ketika memilih pemimpin. Islam memberikan batasan siapa saja yang bisa menjadi pemimpin dengan 7 syaratnya, Islam, baligh, laki-laki, berakal, merdeka, adil dan mampu.

Pemilih pun juga dibatasi dengan keislamannya. Juga  baligh serta akalnya. Karena dengan akal dan balighnya, dia bisa bertanggung jawab atas pilihannya. Siap menanggung segala konsekuensi akibat pilihannya.  
 
Rakyat pun memilih pemimpin bukan karena popularitasnya. Bukan karena suara mayoritas saja. Tetapi karena kemampuannya. Bukan karena seberapa banyak keuntungan yang akan mereka dapatkan. Serangan fajar yang mereka terima. Atau seberapa banyak sembako yang mereka bagikan. 
  
Pemilih bisa menyalurkan aspirasinya, siapa yang mereka kehendaki untuk menjadi pemimpin mereka. Setiap  suara mereka diperhitungkan. Mereka memilih pemimpin yang mereka kenal. Yang hidup bersama mereka dan bukan sekedar pencitraan. Dan setiap pemilih akan mempertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah apa yang menjadi pilihannya. 
  
Mereka akan diminta pertanggungjawaban, apakah yang mereka pilih adalah pemimpin yang akan menerapkan syariat Islam, atau justru memusuhi Islam. Inilah  yang harus dipikirkan. Dan tentu saja jika mereka berada dalam sistem Islam, mereka akan memilih pemimpin yang menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan, sedangkan di sistem hari ini justru melanggengkan kekuasaan yang menentang Islam.  
 
Inilah sistem Islam. Sistem yang adil bagi semua manusia. Tak hanya muslim saja. Inilah  Islam. Yang menjamin pelaksanaan hak-hak individu rakyatnya, tetapi juga tak melanggar hak umum masyarakat secara keseluruhan. Sudah saatnya kembali ada sistem Islam. Sistem yang memanusiakan manusia sesuai dengan potensinya. Yang menjamin hak hidupnya dan menjalankan amanahnya dengan sempurna. Wallahu’alam bi showab. [My] 

Baca juga:

0 Comments: