Headlines
Loading...
Oleh. Rus Ummu Nahla 

Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) telah selesai digelar 12 Desember lalu, dengan mengusung tema Sinergi Berantas Korupsi untuk Indonesia Maju. Gelaran ini tentunya memiliki harapan besar bagi semua kalangan agar negeri ini bersih dari korupsi. Harapan ini sepertinya hanyalah ilusi, karena pada realitanya korupsi kian hari semakin menjadi-jadi. 

Selama ini masyarakat mempercayakan tugas  pemberantasan korupsi ini kepada lembaga KPK, tapi apa yang terjadi? Ternyata lembaga yang digadang-gadang menjadi garda terdepan untuk  memberantas korupsi justru malah ikutan menjadi bagian dari pelaku korupsi. Ketua KPK non aktif Firli Bahuri ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Firli terjerat dugaan kasus pemerasan dan gratifikasi terkait perkara korupsi di Kementerian Pertanian. Dia juga tersandung dugaan kepemilikan rumah mewah di Kertanegara Jakarta Selatan. (Tirto.id,  8/12/2023)

Selain di lembaga KPK sendiri, banyak juga ditemukan kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal ini menambah deretan panjang daftar koruptor di negeri ini.

Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi sebesar Rp15 miliar. Kemudian, Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej juga menyandang status tersangka karena dugaan menerima suap dan gratifikasi. Yang mengagetkan, baru-baru ini mantan ketua KPK, Agus Rahardjo, melayangkan tuduhan yang serius di media. Ia mengaku bertemu dan mendapat perintah Presiden Jokowi agar menghentikan kasus korupsi e-KTP yang melibatkan Ketua DPR saat itu, Setya Novanto. ( Sumber dari berbagai media)

Sistemik

Sungguh ironis, para elit pejabat telah mengkhianati seluruh mandat yang diberikan rakyat kepada mereka, penyalahgunaan kewenangan dan jabatan telah nyata dilakukan demi hasrat dunia dan keserakahan. Terlebih pasca revisi UU KPK 30 tahun 2002, yang menurut banyak pengamat, bahwa revisi tersebut merupakan bentuk pemandulan sistemik pemberantasan korupsi. Termasuk memberikan peluang kepada Firli Bahuri untuk menjadi ketua KPK yang terjerat kasus saat ini adalah bagian dari implementasi UU KPK hasil revisi tersebut. Padahal sebelumnya, banyak pengamat menilai sosok Fikri Bahuri tidak memiliki kapabilitas dan integritas untuk menjadi ketua lembaga anti rasuah tersebut. Dan terbukti, belum terbilang lama menjabat, sudah tersandung kasus pemerasan dan gratifikasi.

Jika melihat realitas demikian, niatan memberantas korupsi di Tanah Air akan sulit direalisasikan. Pasalnya, pelaku korupsi berada di lingkar kekuasaan yang mereka bisa kompromikan melalui undang-undang yang mereka buat. Tidak berlebihan jika dikatakan, gurita korupsi saat ini, bak lingkaran setan. Oleh karena itu, gelaran Harkodia boleh dibilang ambigu dan hanya sebatas pencitraan penguasa saja. 

Memang benar, sebuah sistem yang jahat akan menghasilkan banyak para penjahat. Mental para pejabat dan elit politik saat ini tidak dibentuk dari sebuah persepsi keimanan, jauh dari nilai ketakwaan, tidak takut akan perkara dosa dan siksa. Pribadi mereka dibentuk dari pola kehidupan sekularisme-kapitalisme, yang mengukur kebahagiaan hanya sebatas pada nilai materi. Dari hal itu, mereka lost control kemudian memanfaatkan jabatannya untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya. Ironisnya, hal ini terjadi disaat rakyat banyak yang dalam kesulitan, bahkan kelaparan.

Selain keserakahan para individu, hal yang mendorong terjadinya praktik korup, berawal dari mahalnya biaya politik dalam sistem demokrasi. Sebagai contoh, ongkos untuk  menjadi seorang kepala daerah saja calon harus memiliki dana sekitar dua milyaran rupiah bahkan bisa lebih. Maka wajar ketika jadi pejabat berusaha mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan saat pencalonan. Begitupun dengan mengangkat seorang menjadi pejabat, tidak melihat dari ketakwaan, tapi lebih kepada kepentingan sekelompok elit politik.

Diperparah dengan lemahnya hukum yang diterapkan saat ini, sering memberikan potongan hukuman bagi pelaku korupsi, sehingga tidak memberikan efek jera kepada para koruptor. Inilah faktor-faktor yang membuat korupsi menggurita dan para pejabat tidak jera melakukan korupsi. Alhasil, mengguritanya korupsi, bukan hanya dipandang sebagai persoalan buruknya mental individu para pejabat, melainkan sudah menjadi hal yang sistemik.

Islam, Sistem yang Mumpuni

Islam memiliki solusi tuntas untuk menyelesaikan segala permasalahan umat saat ini, termasuk korupsi. Islam akan mudah memberantas korupsi secara tuntas, karena sistem Islam dibangun berdasarkan ketakwaan individu, kuatnya kontrol masyarakat dan pelaksanaan hukuman yang diterapkan berasal dari Wahyu Allah Swt.

Dalam sistem Islam, mekanisme penetapan sebuah undang-undang dan penentuan kebijakan anggaran sepenuhnya di bawah Khalifah dengan mengadopsi hukum-hukum syariat. Sehingga tidak akan ada celah bagi para politisi untuk memanipulasi anggaran demi pemberlakuan sebuah undang-undang.

Dalam mencegah dan memberantas korupsi, Islam memiliki mekanisme. Pertama, negara akan  melakukan transparasi jumlah harta kekayaan  yang dimiliki pejabat sebelum  menjabat, yakni dengan melakukan pencatatan jumlah harta dan melakukan perhitungan harta setelah menjabat. Hal ini sebagaimana pernah dilakukan di masa kekhilafahan Umar bin Khattab, bahwasanya Umar bin Khattab tak segan untuk merampas kembali harta yang diketahui telah diberikan pejabat kepada para karib kerabatnya dan kemudian  harta tersebut di masukan ke Baitul Mal. Begitupun jika harta yang dimiliki pejabat  setelah menjabat  memiliki  kelebihan harta, maka Khalifah Umar membagi dua harta pejabat tersebut dan kemudian separuh harta itu dimasukan ke Baitul Mal.

Kedua, sistem Islam akan memberlakukan hukuman bagi pelaku korupsi maupun penerima komisi ( suap), yaitu dengan hukum takzir atau sanksi yang jenis kadar hukumannya ditentukan oleh hakim. Hukuman yang akan dijatuhkan akan disesuaikan  dengan ringan dan beratnya kasus korupsi yang dilakukan.
Adapun hukuman ringannya  adalah berupa hukuman cambuk, penjara, hingga denda  dan hukuman yang paling berat yaitu berupa hukuman mati.

Dengan penerapan hukum-hukum Islam tersebut, pastinya pintu korupsi akan tertutup rapat  bagi para pejabat dan elit politik. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah sistem Islam yang akan merealisasikan aturan-aturan tersebut. Sistem Islam yang dimaksud adalah Khilafah, yang dipimpin oleh  seorang Khalifah. Khalifah merupakan wakil umat untuk menjalankan syariat Islam di bidang kekuasaan. 

Wallahu 'alam bi asshawab. [My]

Baca juga:

0 Comments: