
Story Telling
Di Penghujung Rindu
Oleh. Messy Ikhsan
"Aku mau itu, nggak mau yang ini," rengek gadis kecil itu dengan melemparkan badannya di tepi aspal jalan. Sesekali jeritan penolakan meluncur dari mulut kecilnya. Sedangkan wanita paruh baya disebelahnya hanya terlihat berbicara beberapa kata. Tapi, aku tak tahu persis apa yang sedang dia sampaikan pada cucunya. Iya, aku pikir gadis kecil itu merupakan cucunya.
Mataku berbinar melihat kejadian di seberang jalan, ada sosok gadis kecil kira-kira umur sembilan tahun sedang meraung-raung tak jelas. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi tak sesuai dengan keinginannya. Sedangkan wanita paruh baya di sebelah tampak dengan raut wajah berkerut. Sekali-kali dia terlihat mengusap dadanya seolah ada sesuatu yang sedang menyumbat napasnya.
Ada rasa penasaran ingin bertanya lebih jauh pada wanita paruh baya tersebut, tapi rasa segan diriku jauh lebih tinggi untuk memulai sapaan terlebih dulu. Aku masih berperan menjadi penonton dan penyimak yang baik sembari mengais plastik-plastik dari tong sampah. Lumayan hasil sampah hari ini untuk mengganjal cacing pita di perutku dan perut kakek nanti.
"Woi!"
Sekonyong-konyong lamunanku buyar saat lelaki berseragam hitam putih itu berteriak tepat di samping telinga kiri ku.
"Eh ... Nanti kalau udah beres mulung, jangan lupa dibersihkan ya. Jangan sampai baunya menyebar kemana-mana."
Aku hanya mengangguk pelan tanpa menjawab sepatah kata pun karena takut salah dan takut dimarahi lagi. Kadang ada rasa sakit hati digertak di depan umum hanya karena mengais sampah yang ibarat kata tak ada gunanya bagi mereka. Tapi aku sadar diri dan sadar posisi sebagai pemulung yang tak punya hak apa-apa untuk melawan. Dengan sekuat tenaga aku mengais sampah agar segera terkumpul dan pindah ke tempat lain yang lebih menerima diri ini, semoga saja.
"Pokoknya aku tetap mau yang itu!" teriak gadis kecil tadi masih terdengar di telingaku sepertinya masalah nenek itu dengan cucunya belum usai.
Karena semakin meresahkan telinga ini, aku memberanikan diri untuk melangkah menuju tempat nenek tersebut.
"Mohon maaf, ada masalah apa dengan cucunya, Nek?" tanyaku. "Mungkin ada yang bisa aku bantu."
Nenek itu membalikkan badan seraya tersenyum tipis padaku. Aku pun membalasnya dengan sigap.
"Ini bukan cucuku, tapi anakku, Mba," jawabnya yang sontak membuat jantung ini hampir melompat saking terkejutnya.
"Oalah mohon maaf, Bu. Ternyata aku salah sangka," ucapku dengan bibir yang bergetar karena gugup. "Anaknya nangis pengen apa ya, Bu?"
"Nggak papa, orang-orang memang sering salah kira, Mba. Mungkin karena wajah ibu yang terlihat tua sehingga lebih cocok dianggap nenek."
Aku mengangguk pelan, ada sedikit rasa bersalah di hatiku karena salah memanggil sapaan terhadap ibu tersebut.
"Ibu dulu nikah di umur 30 tahun, lalu dapat anak juga lumayan lama. Alhamdulillah, dapat anak satu ini sudah bersyukur banget," ucap ibu itu memulai cerita.
Aku menarik tangan gadis kecil itu sembari merangkulnya, berharap ia segera berhenti merengek pada sang ibu. Ibunya yang semula berdiri tegap lalu seketika mengubah posisinya menjadi duduk di kursi dekat warung yang kosong. Aku yang melihat hal itu reflek mengikuti langkah kakinya.
"Wah ternyata adek cantik ini anak tunggal ya. MasyaAllah mana cantik lagi," jawabku sambil menowel pipinya yang basah oleh air mata. Aku mengusap pelan dadanya agar merasa nyaman berada dalam pelukanku. "Tadi adek nangis mau pengen apa?"
Gadis kecil itu diam sejenak lalu menatapku secara saksama. "Ibu jahat, Kak. Ibu nggak mau beli aku mobil yang baru kek teman-temanku yang suka gonta-ganti mainan."
"Eh biasanya anak perempuan kan suka main boneka, bukan mobil. Mungkin karena itu Ibu belum mau beli, atau bisa jadi ibu belum punya uang untuk membelinya," jelasku panjang lebar. "Iya kan, Bu?"
Sang ibu mengangguk pelan.
"Nggak ada seseorang ibu yang jahat. Setiap ibu pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya." Aku melihat mata wanita paruh baya itu berbinar. "Doain rezeki Ibu selalu lancar dan bisa jadi Ibu yang terbaik untuk adek. Emang adek nggak kasihan lihat Ibu panas-panas jual tisu?"
Gadis kecil itu menangis sembari memeluk Ibunya. Duh, tak terasa air mataku mengalir deras. Sedari kecil aku belum pernah merasa kehangatan pelukan sang Ibu. Bahkan aku tak tahu bagaimana bentuk rupa perempuan yang telah melahirkan diri ini.
Dari cerita yang aku dapatkan dari kakek, Ibu dan Ayah sudah pisah jauh sebelum aku menapaki dunia ini. Lalu Ayah pergi entah kemana mencari kehidupan dan tak pernah kembali ke rumah. Tepat pada saat melahirkan diriku, Ibu mengalami pendarahan hebat hingga membuat dirinya harus kembali pada pangakuan Sang Pencipta.
Sejak saat itu aku hidup dan dibesarkan oleh seorang Kakek yang bekerja sebagai pemulung. Tapi beberapa tahun belakangan Kakek mengidap penyakit struk yang membuatnya tak bisa bekerja dan mencari uang. Mau tak mau, memaksa diri ini untuk terjun dan merasakan bagaimana pedihnya kehidupan. Aku tak pernah menyalahkan Allah. Aku pun tak menyalahkan siapapun. Aku berusaha rida dengan ketetapan-Nya. Ya Rabb, walaupun di dunia aku tak bisa bertemu dengan orang tuaku. Maka izinkan kami untuk berjumpa kembali di surga nanti. Sungguh, rindu ini sudah tak tertahankan lagi.
Allah berfirman yang artinya:
Kami mewasiatkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Hanya kepada-Ku (kamu) kembali. (QS Luqman ayat 14)
Aku hanya sedih melihat orang-orang yang begitu mudah berkata kotor dan bersikap kasar pada orang tuanya. Aku merasakan bagaimana pedihnya hidup tanpa kehangatan dan kehadiran orang tua terutama Ibu. Aku merasakan bagaimana sulitnya hidup mandiri tanpa ada sosok malaikat tersebut. Jadi, selama mereka masih ada dan sehat, berbaktilah padanya. Jangan pernah sekalipun menyakitinya sebelum kalian menyesal nanti. Sebab seseorang akan terasa berharga saat dia tak lagi berada di sisi. Sebelum hal buruk itu terjadi, jaga Ayah dan Ibu kalian baik-baik. [Rn]
Baca juga:

0 Comments: