
OPINI
Dampak Sekulerisme di Dunia Pendidikan: Tidak Malu Korupsi
Oleh. Hesti Nur Laili, S.Psi.
Indonesia masuk peringkat 110 dari 180 negara berdasarkan laporan akhir tahun ICW (Indonesia Corruption Watch) akhir tahun 2022 soal pemberantasan kasus korupsi. Artinya, Indonesia masuk kategori negara terburuk dalam penanganan kasus korupsi. (Antikorupsi.org, 29/6/2023).
Karena buruknya penanganan kasus korupsi ini, dari data ICW juga tercatat bahwa negara telah mengalami kerugian mencapai Rp138,39 triliun di rentang tahun 2012-2022. (Databoks.katadata.co.id, 12/12/2023).
Hal yang paling memprihatinkan dari data di atas adalah bahwa pelaku-pelaku korupsi yang berhasil ditangkap oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yaitu sebanyak 84 persen merupakan orang-orang lulusan perguruan tinggi. (Tribunjateng.com, 17/12/2023).
Selain lulusan perguruan tinggi, hal yang membuat miris tentu saja adalah lantaran Indonesia merupakan negara dengan mayoritas muslim, di mana ajaran islam jelas melarang umatnya untuk berbuat kejahatan termasuk mencuri. Akan tetapi, mengapa kasus korupsi kian marak bahkan dilakukan oleh orang-orang beragama islam dan dengan latar pendidikan perguruan tinggi?
Tidak lain tidak bukan jawabannya adalah akibat dampak dari sistem sekulerisme yang sudah mengakar di pendidikan negeri ini.
Salah satu upaya seseorang dalam mengembangkan potensi dirinya adalah melalui jalan pendidikan. Pendidikan yang seyogyanya menjadi tempat keluarnya orang-orang yang berkualitas tak hanya dari segi ilmu keduniawian tetapi juga berakhlakul karimah, menjadi bergeser pemaknaannya ketika sistem sekulerisme masuk dan mengakar di dalam dunia pendidikan.
Sistem sekulerisme memisahkan agama dengan urusan dunia dengan pandangan bahwa seseorang harus terus-menerus berupaya untuk meningkatkan kualitas diri dan hidup tanpa terikat oleh agama. Sehingga tidak salah jika output dari sistem pendidikan berbasis sekuler ini hanya mencakup nilai-nilai prestasi akademik saja. Sementara moralitas maupun spiritualitas tidak terlalu penting, sehingga lulusan dari pendidikan sekulerisme ini hanya melahirkan orang-orang cerdas namun tidak memiliki akhlak yang baik, lebih-lebih kesadaran sebagai seorang hamba Tuhan yang harus berperilaku baik.
Asas dari pendidikan berbasis sekuler ini adalah liberalisme atau kebebasan. Di mana peserta didik dibebaskan untuk berbuat apapun, termasuk di dalamnya kebebasan dalam berpendapat dan berperilaku sepanjang itu tidak merugikan orang lain. Contoh, boleh berzina asalkan suka sama suka. Boleh berjudi atau minum-minuman keras asal tidak dari hasil mencuri barang milik orang lain.
Agama hanya menjadi rutinitas spiritual pribadi tanpa dibawa ke ranah kehidupan sehari-hari. Agama hanya sebagai ritual tanpa adanya output atau hasil dari aktivitas beragama tersebut pada kehidupan sehari-hari. Maka tak heran muncul fenomena "rajin salat tapi berzina", atau bahkan "sering pergi haji tapi korupsi". Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungannya antara tingkat religiusitas seseorang dengan moralitas atau perilakunya sehari-hari.
Sistem pendidikan seperti inilah yang pada akhirnya membentuk kepribadian seseorang untuk lebih mementingkan nilai akademik, prestasi materi, dan hidup seenaknya sendiri tanpa mempedulikan apa dampak yang akan terjadi. Hukum dan sistem dibuat semaunya demi kepentingan pribadi, sehingga tidak salah jika kemudian kurikulum pendidikan yang dibuat menjadi berantakan dan menghasilkan lulusan yang berantakan pula dalam hal moralitas dan agamanya.
Oleh karenanya, tak heran jika para pemegang kekuasaan hari ini terlihat banyak melakukan pelanggaran-pelanggaran berupa kasus korupsi itu merupakan orang-orang dengan latar belakang pendidikan perguruan tinggi. Kecerdasan dan pengetahuan dijunjung sedemikian rupa, namun moralitas merosot tajam tak menjadi soal.
Contohnya saja, para pelaku korupsi masih bisa cengengesan ketika ditangkap. Atau mantan narapidana kasus korupsi masih bisa nyaleg lagi. Lagi-lagi karena apa? Latar belakang perilaku dan moral tidak menjadi tolok ukur atau standar dalam menentukan layak atau tidaknya seseorang bisa mencalonkan diri sebagai pemimpin atau pejabat daerah. Karena sekali lagi yang diukur hanyalah latar belakang akademik, pengalaman jabatan sebelumnya, atau kelebihan harta yang dimiliki.
Sedangkan mau caleg tersebut mantan koruptor, pezina, hobi nonton film porno, penjudi atau bahkan tidak jelas agamanya apa, tidak jadi soal. Yang penting secara materi punya kelebihan. Bahkan jika dia seseorang yang memiliki penyimpangan seksual. Tidak jadi masalah. Karena standar yang digunakan tidak memberikan ruang hubungan antara moralitas dan religiusitas seseorang terhadap integritas seseorang dalam kinerjanya.
Maka tidak heran jika koruptor makin menjamur, kasus suap menyuap kian marak, dan terjadi kasus korupsi di segala lini. Karena lagi-lagi, nilai moralitas dan agama tidak menjadi ukuran.
Berbeda hasil jika yang diterapkan dalam dunia pendidikan adalah sistem Islam. Di dalam kurikulum Islam, hal utama yang menjadi dasar dari segalanya adalah akidah. Penanaman akidah yang kuat menumbuhkan kesadaran diri bahwa ia diciptakan sebagai seorang hamba yang memiliki tujuan hidup untuk beribadah kepada Allah, menghamba kepada Allah.
Sehingga dengan penanaman akidah yang kuat ini melahirkan manusia-manusia yang memiliki rasa takut dan selalu mawas diri untuk melakukan hal-hal yang terlarang. Penanaman akidah yang kuat ini juga menjadi benteng atau rem tersendiri dari setiap individu di kehidupannya masing-masing. [My]
Baca juga:

0 Comments: