
Story Telling
Kepedihan Ibu, Kepedihanku
Oleh. Umi kalila
Tak terasa 7 tahun sudah di tinggal Mamah, “panggilanku kepada Ibu.” Masih melekat di ingatanku sampai detik ini, ketika mendengar kabar dari kakak bahwa Mamah jatuh di dalam kamar mandi. Hari itu, Jum’at tepat jam 3.30 WIB, dapat kabar dari kakak bahwa Mamah terjatuh di kamar mandi.
“Assalamu’alaikum,…De, Mamah jatuh di kamar mandi tubuh bagian kakinya sudah kaku, tapi mamah masih sadar, bahkan mamah pun masih bisa ngobrol dan minum."
Tidak lama jarak setelah dikasih minum sama kakak, mamah bilang mau istirahat dulu sambil menghadapkan badannya ke sebelah kanan, tak lama kemudian saat mamah di bangunkan oleh kakak, dengan posisi telentang ternyata mamah sudah tidak bernyawa. “ Istirahat “ kata-kata terakhir yang keluar dari lisan mamah, ternyata istirahat yang panjang yang di maksudnya.
Seketika kakak menangis sambil meneleponku,
"De, Mamah sudah meninggal.”
Hancur, sakit, sedih yang tiada tara saat mendengar kata-kata itu, bahwa mamah sudah di panggil Sang Pencipta.
Baru sekitar dua minggu saya bertemu dengan mamah, kumpul bareng kakak, adik, dan semua kerabat, karena saat itu saya, suami, dan anak-anak mudik lebaran ke kampung halamanku di Tasikmalaya. Bahkan barang-barang seperti pakaian anak-anak pun masih ada di dalam tas, belum sempat di bereskan. Tidak disangka itu adalah pertemuan terakhir kami dengan Mamah. Selamat jalan Mamah, perjuanganmu, kepedihanmu, rasa lelahmu karena membesarkan kami Insyaallah berbuah surga, itu tiada lain karena Mamah ikhlas dan sabar membesarkan kami anak-anaknya sendiri, karena kebetulan bapak sudah di panggil keharibaannya ketika adik-adik saya yang nomor tiga dan empat masih ada di bangku sekolah. Sejak saat itu Mamah, berjuang sendiri menyekolahkan adik-adikku. Berjualan makanan, gorengan, ditawarkan keliling rumah tetangga, bahkan bekerja di pabrik dodol Mamah lakukan, semuanya di niatkan untuk anak-anak, untuk menyambung hidup keluarga, untuk menyekolahkan anak-anaknya. Kebetulan kakakku dan saya sendiri, walaupun sudah menikah, tetapi belum bisa membantu Mamah dari segi materi, karena keadaan kami yang hidup pas-pasan, hanya cukup buat keluarga kecilku saja. “ Maafkan saya Mah, belum bisa membahagiakan Mamah, ketika Mamah masih ada”.
Kepedihan Mamah di tinggal bapak, kepedihanku juga, di saat itu jujur saja, bahwa kami anak-anaknya, mamah juga belum siap di tinggal bapak, sosok bapak yang bisa menguatkan kami, anak-anaknya yang baru belajar membangun rumah tangga, masih haus dengan bimbingan bapak , tapi apa daya kalau Allah sudah berkendak mengamblinya, kapanpun, dalam kondisi apapun kami tidak bisa menolaknya. Begitu juga dengan kepergian Mamah, apalagi ketika Allah mengambil Mamah, kondisi Mamah dalam keadaan sehat, siangnya Mamah masih kuat pergi ke sawah, malamnya masih kuat pergi ke masjid yang kebetulan jaraknya jauh dari rumah, bahkan kata kakak dari bapak (saya panggil Ua). "De, Mamah di masjid duduknya dekat sama Ua, bahkan Mamah bilang, mau hafal Surat Al-Waqiah susah banget, gimana caranya supaya bisa cepet hafal? Kata-kata itu adalah kata-kata terakhir Mamah waktu ketemu Ua.” Istilah di kampungku kalau ada yang meninggal tiba-tiba, namanya “dirawu heulang" atau serasa di ambil Elang. Saat lebaran kami berkumpul Mamah nggak bilang sesuatu yang berbeda, hanya gelagat yang beda waktu itu, Mamah terlihat nempel terus sama kakaknya, mungkin itu pertanda kebersamaan Mamah sama kakaknya yang terakhir kalinya.
Kepedihan yang sangat mendalam, yang saya rasakan seumur hidup yaitu saat Bapak meninggal dan saat Mamah meninggal. Orang tua yang kami cintai, orang tua yang kami sayangi, yang dengan peran beliau-beliau lah kami bisa melewati kehidupan sekarang. Kebetulan keluarga kami, keluarga yang hidup pas-pasan, untuk membeli makanan pun terbatas, untuk jajan pun ketika kami masih kecil-kecil sangat terbatas, tidak semua keinginan kami di penuhi orang tua, tetapi baru sadar sekarang, bahwa itu adalah bagian dari pendidikan orang tua, bahwa pelajarannya adalah dalam hidup ini kita harus siap menghadapi keadaan apapun yang telah di gariskan atau di tetapkan Allah, mau hidup pas-pasan atau hidup serba ada semuanya adalah ujian bagi kita, apakah akan bertambah ketakwaan kita? Apakah akan bertambah rasa syukur kita? Itu tergantung dari pemahaman, kebiasaan, dan pola hidup kita. Di sanalah pentingnya kehadiran orang tua yang dengannya kita di bimbing, di sayang, dijadikan tempat curhat kalau kita sedang membutuhkan jalan keluar dalam menghadapi masalah, karena orang tua sudah banyak berpengalaman dalam membangun rumah tangga. Tapi sekarang hilang sudah harapan itu, yang ada adalah kesedihan yang dirasakan, entah kenapa sampai sekarang pun ketika saya pulang kampung, sebelum berangkat, ketika sudah sampai, dan bahkan sudah pulang lagi pun kesedihan itu selalu dirasakan, bahkan sekarang saat daku menulis yang ku persembahkan buat Mamah, sambil berderai air mata. Ayat ini yang selalu ku ingat dalam Surah Al-Ankabut ayat 57 yang artinya, “Tiap-tiap jiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.”
Pesan cinta yang Allah sampaikan yang membuatku kuat dalam menghadapi ujian ini, bahwa setiap yang bernyawa akan merasakan kematian. Karena kematian itu bersifat pasti, dan tidak bisa kita menolaknya. Kapanpun dan di manapun ajal datang, saya memohon kepada Allah mati khusnul khatimah. Selamat jalan Mamah, Bapak, Insyaallah nanti kita bertemu dan berkumpul di surga-Nya Allah Swt. Aamiin Yaa Rabbal’alamiin. [Hz]
Baca juga:

0 Comments: