
OPINI
Sistem Zonasi Bikin Zonk Hak Berpendidikan Anak Negeri
Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
Usai PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) dengan sistem zonasi, beredar video yang memperlihatkan Wali Kota Bogor Bima Arya melakukan sidak pada Kamis (6/7/2023) di Gang Selot, Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah. Bima memeriksa kebenaran alamat yang dicantumkan oleh calon peserta didik yang mendaftar ke SMPN 1 Kota Bogor. Terutama peserta didik yang titik koordinatnya sangat dekat dengan sekolah. Alasan Bima karena dirinya sudah mengantongi 300 laporan aduan dari masyarakat soal dugaan kecurangan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) (radarbogor.id, 6/7/2023).
Bima mengatakan, aduan itu didominasi keluhan warga yang terpaksa tersisih dalam PPDB karena banyaknya dugaan pindah dan manipulasi Kartu Keluarga . “Mereka merasa dikalahkan oleh orang yang diketahui tidak tinggal di dekat sekolah itu. Padahal sehari-hari mereka tahu teman-temannya tinggal di mana,” ujar Bima.
Hasilnya, Bima menemukan banyak data calon peserta didik yang tidak cocok dengan kondisi sebenarnya. Sejumlah nama diketahui tidak tinggal di rumah itu, dan tidak juga dikenali oleh sang pemilik rumah ataupun warga. Bima memutuskan ada kecurangan dalam pelaksanan pendaftaran PPDB. Modus yang digunakan di antaranya melalui perpindahan KK, penambahan anggota KK, dan manipulasi KK. Warga setempat bahkan tak mengetahui KK-nya dimanipulasi.
Bima menilai, sistem zonasi yang ditemukannya di lapangan tidak benar dan membuat pendaftar yang rumahnya dekat dengan sekolah justru tersisih dengan pendaftar yang jaraknya jauh dari sekolah. Sistem zonasi terbukti tidak siap. Sistem zonasi ini perlu dibatalkan karena tidak tepat. Kalaupun akan diterapkan sistem harus lebih rapi mengenai kependudukan, verifikasi, dan infrastruktur sekolah. Selama tidak merata tidak akan mungkin,” ucapnya.
Zonasi, Zonk Hak Berpendidikan Anak Negeri
Banyak pihak memuji apa yang dilakukan oleh walikota Bima, dan berharap itu tidak terjadi di wilayah Bogor saja. Begitupun apa yang diputuskan bahwa sistem zonasi belum siap. Namun benarkah hanya itu persoalan terkait zonasi?
Sistem zonasi ini mulai digunakan pada tahun 2017 dalam penataan sistem PPDB yang mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2018, tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, atau bentuk lain yang sederajat. Pemberlakuan sistem ini baru efektif di tahun 2018.
Harapan pemerintah adalah bisa meratakan pendidikan berkualitas bagi anak-anak di seluruh tanah air. Sistem ini diklaim lebih transparan dan adil, ditetapkan sesuai tempat tinggal. Pengertian ‘zonasi’ sendiri dimaknai sebagai pembagian atau pemecahan suatu areal menjadi beberapa bagian, sesuai dengan fungsi dan tujuan pengelolaan (KBBI). Semua jenjang pendidikan khususnya sekolah negeri bisa memberikan layanan pendidikan yang bermutu secara merata bagi masyarakat pada suatu areal atau kawasan tertentu.
Zonasi sekaligus dianggap bisa mengubah paradigma di mana ‘anak-anak terbaik’ tidak perlu mencari ‘sekolah terbaik’ yang berlokasi jauh dari tempat tinggalnya. Tidak ada istilah sekolah unggul atau favorit, karena akhirnya dengan zonasi statusnya menjadi sama.
Sistem ini memang berkaitan erat dengan domisili tinggal anak. Kuota zonasi 90% dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima. Radius zona terdekat ditetapkan Pemda sesuai dengan ketersediaan anak usia sekolah di daerah tersebut dan daya tampung rombongan belajar pada setiap sekolah. Namun, sekolah bersangkutan masih bisa menerima peserta didik baru di luar zona terdekat karena alasan prestasi paling banyak 5%, kemudian karena alasan khusus paling banyak 5% seperti perpindahan domisili orang tua/wali (rumah.com, 5/7/2022).
Sistem ini juga diklaim mampu mengentaskan masalah turun temurun yang umum terjadi di dunia pendidikan. Istilah ‘beli bangku’ sering terjadi khususnya pada sekolah negeri di bawah naungan Pemda. Sayangnya, pada praktiknya tetap menimbulkan masalah, selain kasus "beli bangku" yang belum hilang malah tarifnya semakin naik bak harga sembako, juga karena sistem ini mengutamakan ‘kedekatan jarak’, maka dalam prakteknya sistem tersebut memanfaatkan aplikasi peta Google. Sayangnya, titik koordinat acapkali disebut tidak akurat, sehingga menyebabkan calon murid gagal mengikuti PPDB lantaran perbedaan selisih beberapa meter saja. Padahal jarak rumah ke sekolah yang didaftarkan berada dalam radius dekat. Atau lebih sadis lagi, direkayasa oleh mereka yang paham teknologi.
Masalah lainnya adalah rentan kelebihan kapasitas, tahun awal diberlakukannya sistem zonasi ini sempat viral SDN 197 Sriwedari Surakarta hanya menerima hasil zonasi 1 murid, SDN Ponorogo hanya 12 murid, sementara sekolah lain kelebihan kuota apalagi dengan menjamurnya sekolah swasta Islam, membuat pemerataan siswa tinggal teori saja. Fenomena ini justru menyedihkan, dengan alasan sekolah swasta ada bonus pelajaran Islam lebih banyak, sehingga menjadi pilihan baru dibandingkan zonasi yang menyedihkan. Pertanyaannya, apakah tak boleh ada sekolah favorit? Bukankah seharusnya setiap sekolah itu favorit?
Masalah lainnya lagi, sebagaimana yang ditemukan oleh Walikota Bima, sstem ini justru melahirkan kecurangan baru, yaitu manipulasi Kartu Keluarga agar anak bisa memasuki sekolah unggulan. Di Jombang Jawa Timur menjelang PPDB dimulai,setiap harinya ada 300 permintaan pindah KK ke dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Jombang (radarjombang.jawapos. com, 3/6/2023). Tentu di lapangan ada banyak persoalan lagi, yang pasti inilah zonk bagi jaminan pendidikan anak negeri.
Islam Solusi Terbaik Pendidikan Berkualitas
Inilah potret pendidikan dalam sistem kapitalisme, pemerintah setengah hati memenuhi setiap kebutuhan pokok rakyatnya. Hanya melihat dari permukaan, sehingga solusinya pun tidak menyentuh akar persoalan. Dalam Islam, pendidikan adalah salah satu kebutuhan pokok. Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 sebenarnya juga disebutkan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara, dan negaralah penyelenggaranya.
Masalahnya, pemaknaan "di tangan" negara inilah yang berbeda. Kapitalis menempatkan pemerintah hanya sebagai regulator kebijakan. Setengah hati, sehingga semestinya, setiap kebijakan dibarengi dengan perbaikan sarana dan prasarana. Wajar bukan jika orang tua menginginkan anaknya sekolah di gedung yang layak, tenaga pengajar yang berkualitas dan sejahtera, sarana dan prasarana penunjang pendidikan terbaik tersedia. Sehingga zonasi tak akan memberikan dampak buruk terlalu besar, sebab, pemerintah telah melakukan pemerataan pembangunan sekolah , SDM pendidik dan semua fasilitas penunjangnya di seluruh wilayah, baik perkotaan, pedesaan, daerah pinggiran, perbatasan dan bahkan bagi warga yang tinggal di pedalaman hutan atau yang nomaden.
Pendidikan juga berkaitan dengan kurikulum, sekolah favorit biasanya menambahkan paket-paket kegiatan dan pembelajaran ekstra yang diberikan kepada anak didik sehingga mereka bisa belajar lebih banyak hal. Tentu yang terbaik adalah kurikulum berbasis akidah Islam, yang kemudian memunculkan cabang-cabang keilmuan lainnya. Sebab berbicara pendidikan bukan hanya sistem penerimaan muridnya saja yang baik, tapi juga sistem pendidikan dan kurikulumnya.
Pengurusan pendidikan yang ala kadarnya di negeri ini karena selalu berbenturan dengan pendanaan. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan anggaran pendidikan untuk 2022 terealisasi Rp472,6 triliun yang dilakukan melalui belanja pemerintah pusat Rp171,5 triliun, Tranfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) Rp281,1 triliun, dan pembiayaan Rp20 triliun (antaranews.com, 3/1/2023).
Anggaran ini ternyata untuk belanja pemerintah pusat dalam bentuk membantu masyarakat miskin dalam bentuk Beasiswa Bidik Misi, Kartu Indonesia Pintar, biaya operasi seluruh sekolah negeri, madrasah, pesantren, semua dibayar APBN langsung, atau melalui APBD.
Namun mengapa masih tidak ada perubahan? Banyak faktor yang terjadi di lapangan, selain karena kurangnya sosialisasi, kurangnya penguasaan IPTEK, kecurangan, korupsi, pungli, juga karena biaya kebutuhan pokok lainnya lebih tinggi sehingga tak jarang pendidikan jadi terabaikan. Sedangkan Islam adalah melalui pembiayaan Baitulmal dari pos pendapatan negara dari kepemilikan umum dan negara. Yang jumlahnya berlimpah, tidak fluktuatif sebagaimana pajak ataupun utang luar negeri.
Maka, jelaslah, urusan pendidikan butuh solusi yang komprehensif dan menyeluruh. Tak hanya ganti sistem penerimaan siswanya namun juga sistem tata kelola pemerintahannya, yaitu dengan Islam ,sehingga pemimpinnya amanah, rakyatnya sejahtera. Rasulullah Saw bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Wallahu a' lam bish showab. [my]
Baca juga:

0 Comments: