
OPINI
Nikah Beda Agama Marak, Dimana Peran Negara?
Oleh. Maya A (Muslimah Gresik)
Pernikahan beda agama dalam beberapa waktu terakhir menjadi polemik, bahkan dalam batas-batas tertentu telah menciptakan keresahan di sebagian kalangan. Polemik ini tidak hanya menjadi bahasan dari sudut pandang agama saja, namun juga norma-norma atau aturan perundang-undangan negara.
Beberapa pengadilan di Indonesia sudah mulai mengizinkan pernikahan beda agama berdasarkan UU Adminduk hingga alasan sosiologis. Adapun yang baru saja membolehkan pernikahan beda agama adalah PN Jakarta Pusat.
Sebelum PN Jakarta Pusat, beberapa pengadilan di daerah lain telah lebih dulu membolehkan nikah beda agama. Yakni PN di Surabaya, Yogyakarta, Tangerang hingga Jakarta Selatan.
Termutakhir, dalih pewajaran pernikahan beda agama adalah fakta letak geografis Indonesia, heterogenitas penduduk Indonesia dan bermacam agama yang diakui secara sah keberadaannya. (Detiknews.com 25/6/2023)
Harus diakui, bahwa saat ini pelanggaran terhadap aturan aturan Allah semakin masif dilakukan dan diberi ruang. Akibatnya, tak sedikit umat berselisih paham dalam menghukumi fakta yang terjadi. Ada pihak yang menolak, ada pula yang membela mati matian. Dua sikap yang kontradiksi ini seakan tengah mempertontonkan di depan khalayak bahwa umat Islam tidak berada pada aturan yang satu, bahwa perbedaan sudut pandang adalah hal yang lazim terjadi dan harus dimaklumi sebagaimana dimakluminya perbedaan mazhab. Padahal sebenarnya, ada pula perkara yang menutup celah pertentangan seperti halnya kasus pernikahan beda agama.
Jika issue ini dibiarkan berkembang, maka ancaman miskonsepsi masyarakat terhadap toleransi beragama bisa dipastikan tidak dapat dihindari. Miskonsepsi ini bisa ditandai dengan adanya pemaksaan terhadap konsep menyatukan perbedaan dengan satu wadah yang bernama toleransi yang justru menimbulkan paradoks pada praktiknya.
Mengapa dikatakan paradoks? Karena toleransi saat ini kerap didefinisikan sebagai cara untuk saling menghormati dalam lingkup majemuk dan multikultural. Sementara disaat yang sama, umat Islam yang secara syariat dilarang melakukan praktik ini, dipaksa sedemikian rupa untuk menerima konsepnya demi mendapat gelar toleran.
Sungguh, tidaklah tepat jika pengesahan nikah beda agama ini dipandang sebagai perkara sepele. Karena sejatinya ada proyek besar bernama sekuler yang tengah diupayakan masuk untuk mereduksi agama, khususnya Islam. Pasalnya, Islam bukan sekedar keyakinan dalam urusan ritual dan spiritual semata. Tapi sebuah mabda atau ideologi utuh yang darinya lahir berbagai aturan untuk level individu, masyarakat hingga negara.
Sehingga ketika peran agama sudah dinafikkan di level individu, bukan hal yang sulit bagi mereka untuk melanggar satu aturan demi kepuasan ego untuk merasionalisasikan cinta dan perasaan. Kemudian di level masyarakat, mereka akan dibuat nyaman dengan sikap individualisme yang tercermin pada nihilnya aktivitas amar makruf nahi mungkar. Sehingga yang ada, masyarakat akan cenderung tidak peduli atas penyimpangan yang terjadi di sekitar. Pun sama di level negara, tersingkirkannya tuntunan agama menjadikan para petinggi tak segan meramu sendiri detail hukum dan melegitimasinya tanpa peduli apakah menyalahi norma agama atau tidak. Lebih jauh lagi, rahim sekularisme realitanya juga melahirkan aksi aksi liberal dengan menjadikan hak asasi manusia sebagai perisai untuk membenarkan perbuatannya. Dari sini terlihat, nihilnya peran negara dalam melindungi rakyatnya untuk tetap berada dalam koridor ketaatan pada Allah Swt.
Sungguh, dalam Islam pernikahan bukanlah perkara sepele. Bukan pula sekedar wadah untuk menyalurkan perasaan yang digaungkan sebagai cinta. Pernikahan dalam Islam ditujukan untuk beribadah kepada sang Pencipta dengan maksud menciptakan generasi umat yang unggul, yang salih dan salihah. Dan tujuan ini tidak akan diraih jika diantara dua mempelai memiliki pegangan hidup yang berbeda.
Adapun terkait hukum, maka sejatinya Islam telah melarang pernikahan seorang muslim/muslimah dengan orang musyrik/kafir. Larangan ini termaktub dalam firman Allah surat Al Baqarah ayat 221. Sehingga hubungan keduanya akan dianggap sebagai zina, dan konsekuensi anak yang dihasilkan dari perzinaan adalah tidak mendapatkan nasab dari ayahnya. Tidak berhenti disitu, pernikahan beda agama antara muslim dan non muslim mau tak mau juga akan berdampak pada keyakinan dan mengganggu ritual spiritual anak keturunan mereka.
Inilah mengapa, eksistensi agama secara utuh harus bisa dihadirkan diseluruh sendi sendi kehidupan, khususnya bernegara. Sehingga ketika terjadi penyimpangan di ranah individu atau masyarakat, negara memiliki kuasa untuk turut campur dalam memberi sanksi agar perilaku yang sama tak berulang. Pun, negara juga bisa berwenang, bahkan berkewajiban untuk mengambil Islam sebagai landasan dalam mengadopsi hukum untuk diterapkan di tengah tengah masyarakat. Karena selain menjaga aqidah, negara juga berkewajiban untuk menjaga agar syariat tegak di tengah tengah kehidupan manusia.
Baca juga:

0 Comments: