
OPINI
Miris, Rakyat Diperas dengan Melambungnya Harga Beras
Oleh. Nur Syamsiah Tahir
Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi AMK
Bagaikan anak ayam mati di lumbung padi. Peribahasa di atas setidaknya bisa dijadikan gambaran tentang realita yang terjadi di negeri ini. Indonesia sebagai negara kepulauan yang membentang di atasnya garis katulistiwa, menjadikannya sebagai negara yang gemah ripah loh jinawi. Bahkan, sebuah grup penyanyi legendaris mengabadikannya dalam lagunya yang tersohor hingga kini. Namun sayang, kondisi rakyat di seluruh belahan Nusantara saat ini benar-benar dalam kondisi terpuruk. Pasalnya di tengah hiruk pikuknya musibah yang terjadi, harga-harga barang di pasaran kian tak pasti. Apalagi harga beras sebagai bahan makanan pokok rakyat negeri ini.
Sebagaimana dilansir oleh TEMPO.CO, Jakarta pada hari Ahad, 25/12/2022, beras yang menjadi sumber makanan pokok di Indonesia memiliki banyak jenis dan beragam mutu, mulai dari premium hingga medium. Tentunya harga jenis beras satu dengan lainnya berbeda.
Di sisi lain, Bank Dunia (World Bank) dan pemerintah Indonesia berbeda pendapat soal harga beras di Indonesia. Bahkan dilaporkan oleh Bank Dunia bahwa harga beras Indonesia termasuk yang paling tinggi di Asia Tenggara. Lebih-lebih Indonesia telah menetapkan ketentuan tentang standar kualitas beras. Acuan mutu beras dengan SNI 6128:2015, lalu diperbaharui dengan SNI 6128:2020. Akan tetapi anehnya di laman pertanian.go.id dinyatakan SNI beras tersebut bersifat sukarela atau tidak wajib.
Sementara itu, untuk mengatasi kondisi ini
Budi Waseso (Buwas) selaku Direktur Utama Perum Bulog telah mengambil tindakan dengan menggelontorkan 100.000 ton beras melalui program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) atau operasi pasar pada awal Januari 2023. Kebijakan ini diambil berdasarkan arahan Presiden Jokowi dalam rangka segera meredam kenaikan harga beras. (Kompas, 19-1-2023).
Kenyataannya, upaya yang dilakukan Budi Waseso tidaklah banyak pengaruhnya pada kestabilan harga beras. Hal ini terjadi karena penggelontoran ini tidak merata. Tidak semua masyarakat bisa menikmatinya.
Di sisi lain, muncul pula mafia-mafia beras. Fakta ini membuktikan bahwa perlindungan negara atas bahan pangan rakyat tidak totalitas, bahkan tidak serius. Justru menjadi sebuah bencana saat persoalan beras telah berdampak langsung pada kemiskinan. Sebagaimana diketahui, beras adalah komoditas strategis dan merupakan kebutuhan asasi bagi kehidupan masyarakat.
Lebih-lebih beras adalah bahan makanan pokok rakyat Indonesia. Oleh karena itu, harga beras sangat tidak layak naik. Jika harganya naik/melambung, bisa dipastikan tekanan ekonomi masyarakat juga meningkat, rakyat semakin diperas.
Kondisi ini juga menggambarkan bahwa mekanisme negara dalam menjaga keamanan pangan dan kemudahan dalam mengakses kebutuhan pokok rakyat amat lemah. Akan tetapi, apalah daya, kapitalisme tidak akan pernah peduli dengan kenaikan harga beras. Kenaikan harga komoditas strategis tersebut justru sangat bermanfaat bagi para kapitalis, aktor sekaligus sutradara di balik liberalisasi pangan. Mereka justru panen cuan ketika masyarakat kian diperas (baca: dicekik) oleh harga-harga yang naik.
Penerapan kapitalisme ini pula yang menjauhkan keberkahan Allah Swt. dari kehidupan manusia. Ini terjadi karena aturan buatan manusia yang ditegakkan, bukan aturan Allah. Padahal Allah Swt. telah berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf [7]: 96)
Dengan demikian, meningkatnya angka kemiskinan menunjukkan adanya kesenjangan yang tidak bisa lagi kita toleransi. Oleh karena itu, ini merupakan alarm keras di berbagai sektor kehidupan, termasuk sektor pangan. Maka penerapan syariat Allah-lah yang harus kita lakukan secara sistemis agar keberkahan Allah Swt. turun di negeri ini. Di samping itu, syariat Islam telah memiliki paradigma dan konsep politik ekonomi yang jelas berbeda dengan kapitalisme neoliberal.
Sebagaimana disampaikan oleh pengamat kebijakan publik Emilda Tanjung, M.Si., bahwa politik ekonomi ini akan dapat berjalan jika berpijak pada penerapan sistem ekonomi Islam dan negara menjalankannya dengan peran politik yang benar. Sistem ekonomi Islam ini bersumber dari syariat Islam yang memiliki konsep dan model pengaturan yang sangat berbeda dengan kapitalisme, seperti pengaturan kepemilikan lahan, hukum-hukum seputar perdagangan, hukum industri, dan sebagainya.
Dalam Islam, menurutnya, negara bertugas sebagai pelayan urusan rakyat sebagaimana hadis riwayat Muslim dan Ahmad bahwa imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.
Sedangkan pada hadis lainnya yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah saw. juga menegaskan, "Khalifah itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya." Maka dari sini, negara Islam berusaha mewujudkan tanggung jawabnya secara utuh dalam pengelolaan pangan mulai dari aspek hulu sampai ke hilir.
Begitu pula pada aspek distribusi dan stabilisasi harga. Secara prinsip, distribusi dan pembentukan harga dalam pandangan Islam mengikuti hukum permintaan dan penawaran yang terjadi secara alami, tanpa adanya intervensi negara.
Pemerintah Islam hanya melakukan pengawasan jika terjadi kondisi yang tidak normal. Pada kondisi harga tidak normal, pemerintah akan mengambil dua kebijakan utama, yaitu pertama menghilangkan penyebab distorsi pasar seperti penimbunan, kartel, dan sebagainya. Kedua, menjaga keseimbangan permintaan dan penawaran. Bahkan, distribusi yang dikawal negara akan menciptakan pasar yang sehat.
Selanjutnya, Islam memiliki aturan tegas terhadap tata kelola komoditas strategis pangan dan energi. Pengaturannya sistemis dan diampu melalui format negara Islam. Ini sebagaimana tuntunan Rasulullah saw., “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)
Oleh karena itu, aturan Islam menutup celah kapitalisasi sektor pangan. Islam juga memastikan setiap individu bisa makan dengan layak dan cukup, per individunya. Bukan sebaliknya, menimbulkan dan meningkatkan angka kemiskinan dengan memeras rakyatnya sebagaimana kapitalisme. Satu orang saja yang hari itu tidak mampu makan, sudah menjadi genderang tanda bahaya dalam sistem Islam. Karena pangan adalah kebutuhan pokok dan asasi, sekaligus penunjang kehidupan. Oleh karena itu, penguasa Islam harus memastikan pemenuhan kebutuhan pangan setiap individu warganya.
Alhasil, amat berbeda dan sempurna periayahan rakyat dalam sistem Islam. Sistem Islam sangat peduli kepada rakyat, karena ini adalah tugas utama negara yang akan dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Wallahualam bissawab
Baca juga:

Ma Syaa Allah..
BalasHapusPenjabarannya sangat jelas dan akurat
Mencerahkan pemikiran
Barakallah Bunda 😍🙏🏻
Sangat menginspirasi 💪💪
BalasHapusSaya ingin bisa nulis artikel seperti ini umm, semoga saya bisa ketularan, ya.
BalasHapus