Headlines
Loading...
Oleh. Naning Prasdawati, S.Kep.,Ns

Tahun 2023 telah tiba, bayangan resesi semakin di depan mata. Dampak konflik Rusia-Ukraina, potensi krisis pangan, krisis energi, krisis moneter global dan perubahan iklim merupakan faktor-faktor yang dapat mengantarkan perekonomian dunia dalam masalah. Pemerintah lantas menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 tahun 2022 tentang cipta kerja sebagai kebutuhan yang mendesak untuk mengantisipasi hal ini. Mengingat Undang-Undang Omnibus Law Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja, pada bulan November 2021 lalu, telah dinyatakan MK cacat secara formil dan harus diperbaiki dalam jangka dua tahun sejak putusan tersebut.

Oleh karena itu, menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto, terbitnya Perpu ini diharapkan menjadi payung hukum bagi para pelaku dunia usaha, baik di dalam maupun luar negeri (tempo.co, 30/12/22). Namun, penolakan dan kritikan dari berbagai lapisan masyarakat terus berdatangan. Direktur Lokataru, Haris Azhar, mempertanyakan tentang aspek kegentingan memaksa yang dimaksud oleh Airlangga. Menurutnya, apabila kegentingan yang dimaksud adalah dari sisi ekonomi dan politik, harusnya hal ini sudah diselesaikan dalam forum G20 sebelumnya, tidak perlu mengeluarkan Perpu (tempo.co, 06/01/23).

Direktur Senior INDEF, Didin S Damanhuri menilai bahwa politik negeri kita hari ini telah dikendalikan oleh para oligarki ekonomi. Terbukti dengan begitu cepatnya berbagai Undang-Undang perihal ini disahkan, bahkan di luar prosedur. Seperti UU Minerba, UU KPK, UU Cipta Kerja, IU MK, UU IKN, UU HPP, hingga yang terbaru Perpu Cipta Kerja (tempo.co, 06/01/23). Keberpihakan kepada oligarki ini semakin tampak nyata dari beragamnya fakta di lapangan. Alih-alih mengentaskan pengangguran dengan banyaknya lapangan pekerjaan karena suburnya iklim investasi, justru data dari BPS 2022 menyebutkan jumlah pengangguran di Indonesia pada Agustus 2022 sebanyak 8,42 juta orang. Jumlah ini meningkat sebanyak 20 ribuan orang dibandingkan Februari 2022 lalu (data.tempo.co, 23/10/22).

Adanya Perpu Cipta Kerja, semakin menunjukkan wajah asli para penguasa dalam sistem kapitalisme. Sistem ini telah mengamputasi peran penguasa, di mana kepentingan rakyat bukan lagi menjadi prioritas, karena yang terpenting adalah mengamankan eksistensi para pemilik modal. Keberpihakan ini semakin diperkuat dengan fakta keseriusan para pemangku kebijakan dalam mengesahkan payung hukum ini. Sekalipun harus menabrak prosedur-prosedur yang ada, serta mengabaikan kritik saran dari para pakar dan segenap elemen masyarakat.

Alasan resesi, sejatinya hanya cara manis untuk meloloskan legal formal bagi kepentingan pemilik cuan, bukan untuk sungguh-sungguh mengentaskan rakyat dari problem ekonomi. Karena keberadaan Perpu Cipta Kerja yang telah merampingkan birokrasi bisnis di Indonesia, tentu menjadi angin segar bagi para pengusaha. Meski jamak diketahui, peraturan yang mengilhami Perpu Cipta Kerja, yakni UU Cipta Kerja Nomor 11/2020 telah mendiskriminasi dan merugikan kaum buruh.

Sengketa kepentingan pengusaha dan buruh, tidak akan pernah selesai jika negara masih menggunakan paradigma kapitalisme dalam mengatasinya. Akar persoalan yang sebenarnya bukan tentang batas upah minimum, jam kerja, tunjangan, pesangon, kekhawatiran pada risiko resesi atau yang sejenisnya. Pangkal persoalannya adalah asas sistem kapitalisme, yakni sekularisme yang memberikan wewenang kepada akal manusia untuk membuat hukum. Dampaknya, produk hukum yang dihasilkan pun sarat akan asas manfaat, bukan maslahat bagi rakyat.

Lebih jauh lagi, karena asas kemanfaatan inilah, para pemangku kebijakan lebih pro kepada mereka pemilik modal dan abai terhadap kebutuhan rakyat. Rakyat bekerja banting tulang memperjuangkan upah minimum, namun nyatanya tak pernah cukup untuk menutup seluruh kebutuhannya. Karena mereka harus membagi upahnya bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar, namun juga memenuhi kebutuhan komunal yang harusnya merupakan tanggung jawab negara.

Dalam sistem Islam yang disebut Khil4f4h, perkara sengketa ini sangat mudah diselesaikan. Islam memandang akad antara pengusaha dan buruh adalah akad ijarah. Buruh wajib mengerjakan pekerjaannya dengan baik sehingga dia berhak atas upahnya. Sedangkan pengusaha berhak mendapatkan hasil pekerjaan yang baik, kemudian dia wajib memberikan dan menyegerakan upah yang layak atas pekerjaan tersebut. Di samping itu, negara merupakan pihak yang akan menjadi pemutus tatkala terdapat sengketa antara kedua belah pihak. Baik terkait standar kelayakan upah, jam kerja, hari libur dan lain-lain. Negara akan menyediakan qadhi atau hakim sebagai pemutus yang adil apabila terjadi konflik diantara keduanya.

Perkara kesejahteraan, itu adalah persoalan lain. Karena kesejahteraan adalah tanggung jawab negara selaku pihak yang memiliki seluruh perangkat untuk mewujudkan hal ini. Dalam perkara kebutuhan dasar, seperti papan, sandang dan pangan, negara akan menjaminnya melalui mekanisme tidak langsung. Yakni, dengan mewajibkan para laki-laki baligh yang memiliki kewajiban nafkah untuk bekerja. Di dukung dengan kebijakan pemerintah berupa ketersediaan lapangan pekerjaan, pemberian modal non-ribawi, pelatihan-pelatihan, maupun santunan bagi mereka yang lemah, cacat, tua, atau sakit. 

Untuk kebutuhan komunal seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, maka negara akan menjaminnya secara langsung. Hal ini sangat mungkin terjadi karena negara menerapkan sistem ekonomi Islam yang kuat, serta mata uang yang tahan dari risiko inflasi. Walhasil, ketika kebutuhan dasar dan kebutuhan komunal rakyat sudah terjamin, maka risiko resesi sangat mungkin untuk dicegah. Sejatinya kita saat ini tidak butuh solusi tambal sulam ala kapitalisme. Kita hanya butuh kembali kepada aturan Illahi yang Maha Mengetahui. Wallahu a'lam bishawab.

Baca juga:

0 Comments: