
cerpen
Wejangan Ibu, Terpatri di Lubuk Hati
Oleh. Ana Mujianah
Seminggu berlalu dari acara ngunduh mantu. Bu Sarti termenung di kursi jati yang terletak di halaman belakang. Sisa kelelahan dari resepsi nikah putri semata wayangnya pun berangsur mulai hilang. Kelegaan seharusnya terpancar dari wajahnya, karena sebagai orang tua, tuntas sudah tanggungan amanah anak perempuan.
Bu Sarti menghela napas dalam. Mata tuanya mulai berembun. Terbayang sebentar lagi Laras, putrinya, akan pergi mengabdi kepada suaminya.
"Ibu, kenapa di sini sendirian?" Sebuah teguran mengagetkan Bu Sarti. "Oh, nggak papa. Ibu cuma mau cari angin saja. Kamu sudah selesai berkemasnya?" tanya wanita paruh baya itu.
"Tinggal dikit lagi, Bu." Laras mengambil posisi di samping ibunya. Ibu dan anak itu pun menikmati tanaman hias yang terletak di halaman belakang rumah mereka.
"Bunga kertas kesukaan kamu mulai mekar, Ras. Dulu kamu selalu merengek minta diselipkan bunga kertas di telinga. Bapakmu akan buru-buru ambil pisau untuk memotongnya," pandangan Bu Sarti fokus pada bunga-bunga kertas berwarna pink keunguan di taman itu. Namun, pikirannya menerawang jauh, mengenang masa kecil putrinya yang kini sudah menjadi istri orang.
"Bu, maafkan Laras ya," suara Laras memecah keheningan. Laras bisa membaca kesedihan yang terpancar dari wajah ibunya.
"Besok ... Laras dan Mas Wahyu pulang ke Jakarta." Wanita di sebelah Laras bergeming. Serasa ada sembilu menusuk hatinya. Namun, ia berusaha terlihat tegar.
"Iya," jawab Bu Sarti lirih, hampir saja Laras tak mendengarnya.
"Kamu baik-baik jadi istri ya, Nduk. Jangan membantah suami. Pandai-pandailah menjaga kehormatan keluarga. Yang nrimo dengan pemberian suami." Bu Sarti meraih tangan putrinya.
"Di mana pun suami kamu tinggal, ikuti langkahnya. Karena, bakti anak gadis saat sudah menikah adalah kepada suaminya," tutur wanita itu semakin pelan.
"Bagaimana dengan Ibu?" Mata bening Laras mulai berembun.
"Laras nggak usah khawatirkan ibu. Insya Allah ibu baik-baik saja. Di sini banyak saudara kok."
"Ibu ikut Laras saja. Rumahnya kita kontrakin aja, Bu," ajak Laras. Wanita yang dipanggil ibu itu segera menggeleng.
"Rumah ini penginggalan bapak kamu. Dulu, kami bekerja keras untuk bisa memperbaiki rumah ini, sedikit demi sedikit. Biarlah ibu di sini merawatnya. Dan ... menunggumu pulang bersama cucu-cucu ibu." Laras tak bisa lagi menahan cairan hangat yang semakin membanjiri pipinya. Tubuhnya bergetar sambil memeluk ibunya erat.
**
Ba'da Isya, Laras melanjutkan packing. Tinggal beberapa barang yang belum dimasukkan. Bu Sarti pun ikut sibuk mengepak jajanan kampung untuk oleh-oleh tetangga Laras di kota.
"Biar Wahyu yang iketin, Bu," tawar suami Laras melihat mertuanya kesusahan. Bu Sarti kemudian menyodorkan kardus berisi makanan dan tali itu kepada Wahyu.
"Ibu nitip Laras ya, Nak Wahyu. Tolong nasihati dia jika berbuat kekeliruan. Bersabarlah menghadapinya. Hati perempuan itu memang mudah bengkok, tapi juga mudah diluruskan, kok." Wejangan Bu Sarti kepada menantunya di sela-sela packing.
"Insya Allah, Bu. Mohon doanya." Demi menghormati sang mertua, Wahyu menghentikan aktivitasnya sejenak.
"Besok kalian mau bekal apa buat makan di kereta?," tanya Bu Sarti sebelum beranjak masuk kamar.
"Nggak usah repot, Bu. Sarapan saja. Makan siang dan malam bisa beli di kereta." Laras menimpali sambil beberes tali dan kardus-kardus sisa packing. "Kalian ini pengantin baru, harus belajar berhemat. Nanti kalau sudah punya anak, butuh biaya sekolah besar nggak kaget," sambung Bu Sarti. Laras pun hanya mengangguk pasrah tanpa membantah.
**
Pukul delapan pagi Laras dan Wahyu sudah rapi. Barang bawaan sudah tertata di teras rumah. Tak berapa lama, suara becak yang dipesan Laras kemaren sore pun tiba.
"Ngapunten telat, Mbak Laras." Pak Min segera turun dari kemudi becaknya. Dengan cekatan laki-laki berkulit gelap itu mengangkut barang bawaan Laras ke atas becak.
"Kereta jam pinten Mbak Laras?" tanya Pak Min. "Jam sepuluh, Pak." Laras sengaja berangkat dua jam lebih awal supaya Pak Min tidak terburu-buru. Maklum becak Pak Min masih tradisional. Laki-laki itu harus mengayuh becaknya pelan untuk membawa Laras dan suaminya ke stasiun.
Karena sibuk, Laras tak menyadari bahwa dari tadi ibunya tidak ikut nimbrung mengangkut barang ke atas becak. Laras dan Wahyu masuk kembali ke dalam rumah. Dilihatnya sang ibu duduk di kursi jati di taman belakang.
"Bu, Laras dan Mas Wahyu pamit ya." Laras dan Wahyu bergantian mencium tangan wanita itu.
"Hati-hati di jalan. Semoga lancar sampai rumah." Pesan Bu Sarti sambil memeluk erat putrinya.
"Ayo, nanti kesiangan. Kasian Pak Min terburu-buru." Bu Sarti segera bangkit dari kursi dan berjalan ke depan pintu untuk mengantar Laras dan suaminya.
"Assalamu'alaikum, Bu," ucap Laras dan suaminya sambil melambaikan tangan.
"Wa'alaikumussalam." Bu Sarti melepas Laras, putrinya, dari balik pintu. Meski selalu terlihat tegar, sesungguhnya hatinya rapuh.
Namun Bu Sarti tak bisa mencegah. Hanya nasihat dan doa yang bisa ia berikan untuk kebaikan putrinya. Semoga Allah selalu menjaganya menjadi wanita sholiha. Itulah doa-doa yang setiap hari dipanjatkan Bu Sarti dalam memupuk keikhlasan melepas putri tercinta menunaikan bakti kepada suaminya.
TAMAT
Baca juga:

0 Comments: