Headlines
Loading...
Oleh. Ratty S Leman

Alhamdulillah akhirnya hari yang dinanti telah tiba. Kamis, 25 Desember 2014, sekitar pukul 7 pagi, Ning dan Kenang berangkat sekeluarga ke Bandara Soekarno Hatta. Kurang lebih pukul 9 pagi mereka sudah sampai di pintu pemberangkatan 2D. 

Mereka mencari keluarga keponakan yang akan umrah bersama dalam satu rombongan. Alhamdulillah akhirnya bertemu, mereka mengobrol sambil menunggu visa dibagikan. Cukup lama juga mereka menunggu kepastian visa keluar.

Saat tahap pertama pembagian visa, justru anak mereka yang bungsu yang keluar atau sudah jadi visanya. Wah, mungkin karena Iza masih kecil 3,5 tahun, masih kecil dan belum dicatat dosanya yang keluar dulu visanya. Ning jadi teringat saat hendak menitipkan ke neneknya dulu. 

"Mbah, benar Mbah gak mau ikut umroh bareng kami", tanya Ning.

"Enggak, aku sudah tua. Badannya lemah, gak kuat nanti di sana. Aku sudah haji wajib, sudah cukup. Sudah umrah saat haji dulu. Sudah puas. Kalau kamu mau pergi umrah sekeluarga, pergi saja sana. Doakan Ibu supaya sehat panjang umur, murah rezeki dan disayang Allah", jawab Ibunya Ning Mbah Ti.

Ning pun bimbang, "Sebenarnya Iza belum wajib umroh, tapi  harus diajak juga. Gak ada yang bisa dititipin. Sudah cari-cari gak ada yang bisa".

Mbah Ti menasehati, "Ajak saja, jangan ragu. Uang bisa dicari. Allah Maha Kaya. Tidak usah hitungan sama Allah."

Mbah Ti melanjutkan nasehatnya "Belum wajib memang itu si Iza. Tapi bagaimana perasaannya nanti jika sudah agak besar dia tahu, dia tidak diajak. Hanya kakak-kakaknya saja. Apa dia tidak iri? Apa dia tidak merasa ada pilih kasih di antara mereka?"

"Kalau mudik saja anak masih bayi diajak. Bahkan ada yang mudiknya antar negara, ke luar negri. Bayi dibawa ke rumah kakek neneknya. Lha, ini mau ke baitullah, rumahnya Allah. Masa gak diajak? Rumah Sang Maha Pencipta, rumah yang menciptakan dia", petuah Mbah Ti kepada Ning pelan-pelan.

"Tapi kata teman, anak belum wajib diajak, apa gak rugi? Nanti dia juga bakal lupa pernah diajak ke sana", kata Ning.

"Gak ada yang rugi dan tidak akan pernah rugi. Niat baik, bawa semua anak-anak. Aku juga gak mau dititipi. Kalau kurang uangnya, sini aku kasi," kata Mbah Ti tegas. 

Haduh, Ning malu sama ibunya. Ibundanya bukan ahli agama, hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Tapi kata-katanya semua bijaksana. "Injih, Mbah. Akan saya ajak semua. Tidak usah ditambahi, uangnya ada", jawab Ning cepat-cepat.

***

Tahap kedua saat pembagian visa. Nama Rafi dan Ning yang keluar. Tahap ketiga, baru nama Faiz dan Pak Kenang yang keluar. Pukul 12.15 WIB, visa mereka berlima ditambah keluarga keponakan sudah di tangan. Mereka berdelapan sudah mendapat visa dan kepastian bisa berangkat. Tak terbayang jika ada salah satu dari mereka yang visanya tidak keluar. Bisa-bisa tidak jadi umrah saat liburan ini.

*** 

Setelah pembagian visa selesai. Semua jemaah dipersilakan salat Zhuhur dan Ashar dijamak takdhim. Tak terkecuali dengan keluarga Kenang, dengan perasaan tenang, mereka salat Zhuhur dan baru berani berfoto-foto di ruang tunggu sambil pamitan ke saudara dan teman. Memohon maaf lahir batin dan meminta doa restu.

Segera selesai salat, mereka masuk ke pesawat. Wah, deg-degan hati Ning dan Kenang. Masalahnya anak bungsunya, Iza, takut naik pesawat.

Mereka berangkat dengan penuh kepasrahan, tawakal dan keyakinan.  Niat dan tujuan mereka baik, semoga Allah berkenan mengizinkan, menyelamatkan perjalanan, menyehatkan badan,  melancarkan ibadah dan mengabulkan doa-doa mereka yang lemah ini.

Mereka datang untuk bertaubat, mohon ampun atas banyaknya dosa dan kesalahan yang dilakukan. Bukan untuk wisata keluarga di akhir tahun. Zero, kosong, nol besar.  Tidak ada yang ingin mereka banggakan.  Mereka datang semata-mata untuk bersimpuh mohon ampun atas dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan mereka yang dirasa sudah menggunung.

Bagaimana tidak pasrah? Hari-hari sebelum berangkat si kecil Iza bilang takut naik pesawat.  Waduh gawat ini, nanti kalau nangis dan gagal naik pesawat bagaimana? Gak jadi terbang nih, padahal visa sudah keluar. Mereka membawa si kecil bungsu bukan tanpa alasan. Tidak ada sanak keluarga dan saudara yang bisa dititipi si kecil.  Ibunda mereka atau nenek anak-anak pun sudah sepuh dan sakit-sakitan.  Ketika diajak umrah pun merasa sudah tak kuat fisiknya.  Doakan saja, kata beliau dan akhirnya Ning berniat untuk umrah untuk beliau di baitullah nanti sebagai bakti kepada orang tua, birrul walidain. 

Ning berdoa terus-menerus secara rinci. "Ya Allah semoga nanti masuk pesawatnya tidak lewat tangga tapi lewat 'belalai' istilahnya yaitu pintu yang terhubung dengan lorong yang tiba-tiba kita sudah di dalam badan pesawat."

Alhamdulillah akhirnya mereka benar-benar lewat lorong belalai bukan lewat tangga menuju pesawat. 

Wah, ternyata tempat duduk mereka berpencar-pencar atau terpisah-pisah dan ada juga yang sudah diduduki orang lain. Setelah bernegosiasi dengan penumpang lainnya akhirnya dapat kursi yang bisa berkumpul. Iza bersebelahan dengan Ning. Rafi dengan Kenang dan Mas Faiz sendiri di depan persis bangku Ning. 

"Gak apa-apa ya Mas, sudah besar," kata Ning kepada anak sulungnya.

Setelah agak lama di pesawat si kecil bungsu baru menyadari. Kata si kecil Iza, "Aku sudah di pesawat ya? Berani ya aku?"

Si bungsu Iza sempat berebut duduk dekat jendela dengan Rafi kakaknya yang kedua. Mau melihat awan, katanya.

Si Sulung Faiz mulai terlihat tidak nyaman di dalam pesawat.  Mual dan pengen muntah katanya. 

"Ya udah duduknya di pinggir sini saja depan ibu," kata Ning. 

Mereka memang awalnya mendapat kursi jatah duduk yang acak.  Alhamdulillah setelah berembug dengan jama'ah yang lain akhirnya bisa tukeran kursi tempat duduk. 

Mas Faiz sempat mau muntah, Ning suruh buka kantong muntahnya tapi ternyata gak jadi muntah.  Agak 'nervous' dia. Ceritanya waktu Idul Fitri dia ketemu salah satu saudara sepupunya dan ditanya, "Kamu mau umroh ya?" 

"Iya," jawab Faiz

 "Kamu berani? Kamu gak takut? Awas hati-hati di sana itu suka diperlihatkan lho kesalahan dan dosa kita," lanjut  sepupunya.

Stress lah Faiz.  Si Sulung Faiz memang  pernah didiagnosa autisme saat usia 3 tahun.  Meski dibantah oleh ahli lainnya yang mengatakan hanya speech delay. Bahkan, ADHD pun berbeda diagnosa yaitu disphasia. Apapun diagnosanya, alhamdulillah dengan izin Allah mereka bisa intervensi dini dan berdoa terus sehingga  Faiz bisa tumbuh sehat, cerdas dan salih meski 'unik'.  

Ning pernah menasehati saat dia mengungkapkan kegelisahannya dulu, "Kita kan ke sana untuk ibadah.  Kamu sudah berdoa terus-menerus ingin ikut Ayah umrah, lalu Allah kabulkan doamu.  Sekarang kita sudah daftar dan sudah siap semuanya.  Masa mau batal? Itu tidak benar kamu di sana akan di'welehke' bahasa jawanya atau ditunjukkan kesalahannya sama Allah.  Di sana bukan tempat pembalasan perbuatan kita, di sana tempat kita mohon ampun dan beribadah.  Semoga dengan kita ke sana Mas Faiz bisa menjadi anak yang lebih baik."

Ning menyuruh Faiz berdoa dan meminta rida kepada Allah agar tenang.  

Sekitar pukul 14 pesawat 'take off'. Mereka berdoa naik kendaraan dan berpasrah pada Allah Ta'ala.

"Bismillahi tawakaltu Allallah.  Laa haula wa laa quwwata illa billah".

***

Perjalanan terbang hampir 10 jam.  Di dalam pesawat mereka disibukkan dengan berdoa, membaca buku, menggambar, main game dan ngemil snack kesukaannya.  Anak-anak diajak sesantai mungkin di dalam pesawat, meski Faiz agak 'nervous'. 

Ning dan Kenang berdoa terus supaya anak-anak merasa nyaman dan rileks, menikmati perjalanan dengan baik dan selamat. [ ]

Baca juga:

0 Comments: