
OPINI
Tikus-tikus Berdasi dalam Sistem Demokrasi Bisakah Mati?
Oleh. Ria
Tikus. Semua kenal dengan hewan yang satu ini. Binatang pengerat yang menimbulkan kerugian dan musuh besar manusia. Ada tikus sawah, tikus got, tikus rumah dan sebagainya. Sebagaimana tikus, koruptor juga bisa disebut sebagai tikus-tikus berdasi. Mereka memperkaya diri dengan menghalalkan segala cara, mengambil yang bukan haknya untuk kepentingan pribadinya.
Kasus korupsi tak pernah berhenti. Semakin lama semakin menjadi. Ibarat gunung es, yang tidak nampak jauh lebih besar. Sesuatu yang aneh jika dalam sistem demokrasi tidak korupsi. Berita yang masih hangat adalah penetapan Abdul Latif Bupati Bangkalan sebagai tersangka kasus korupsi lelang jabatan. Dia ditangkap bersama lima tersangka lainnya pada kasus yang sama. (Tirto.id/9/12/2022)
Korupsi Begitu Melekat pada Pejabat
Coba kita lihat perjalanan para pejabat itu hingga sampai pada kursi jabatan. Sebelum mereka duduk di kursi jabatannya. Butuh modal fantastis untuk kampanye dan lain-lain. Sokongan dana dari pemilik modal atau konglomerat sangat dibutuhkan agar bisa melaju dan meraih kursi jabatan itu. Tentunya ini bukan makan siang gratis. Tidak ada ceritanya pemilik modal itu ikhlas memberi tanpa pamrih. Maka ketika sudah menjabat bagaimana caranya agar modal itu bisa kembali dan menyiapkan kekayaan ketika sudah selesai tugas. Akibatnya pejabat tidak lagi mengurusi urusan rakyatnya tapi lebih memikirkan kebutuhan diri dan keluarganya.
Kasus Bupati Bangkalan ini menambah daftar panjang pelaku korupsi. Kasus lainnya misal Bupati Pemalang, Mukti Agung Wibowo menjadi tersangka karena praktik jual-beli jabatan di Pemalang setelah dilantik sebagai bupati. Dia ditangkap pada Jumat, 12 Agustus 2022.
Ada Sri Hartini mantan Bupati Klaten yang ditangkap KPK karena jual-beli jabatan di lingkungan Pemkab Klaten pada Desember 2016. Ada juga Bupati Nganjuk Taufiqurrahman pada Oktober 2017 ditangkap karena jual beli jabatan dll.
Berdasarkan data KPK, dari segi penindakan sudah ada 22 gubernur, 161 bupati/wali kota dan wakil, serta 297 pejabat eselon I hingga eselon III tersandung korupsi sejak tahun 2004 hingga tahun 2022. Khusus tahun 2022 saja, KPK sudah menangkap 18 bupati/wali kota dan wakil serta 31 pejabat eselon I hingga eselon III. (Tirto.id/9/12/2022).
Adanya peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) setiap tanggal 9 Desember berdekatan dengan penangkapan Latif dan kawan-kawan ini menunjukkan peringatan tersebut hanyalah seremonial belaka. Para koruptor seakan tidak takut dengan jeruji besi. Apalagi pada RKUHP yang disahkan beberapa waktu lalu menjadi KUHP memuat pasal diantaranya pengurangan hukuman bagi koruptor.
Pada pasal 603 yang berisi : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau Korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI.”
Kalau sudah begini, mungkinkah pelaku korupsi jera? masih efektifkah peringatan Hakordia? begitu banyak koruptor sebelum RKUHP saja mereka tidak jera apalagi setelah KUHP baru dengan hukuman koruptor dikurangi. Miris sekali. Begitulah kehidupan sekuler. Kemaksiatan tidak mungkin bisa diberantas tuntas.
Sanksi Tegas dan Efek Jera dalam Islam
Sistem Islam jelas berbeda dengan sistem sekuler. Dalam Islam peradilan dan sanksi hukum jelas. Fungsi sanksi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Artinya ketika ada orang lain yang bukan pelanggar hukum bisa tercegah dari berbuat kriminal. Dan jika sanksi diberlakukan bagi pelaku kriminal itu sebagai penebus dosa.
Coba bandingkan dengan hukum sekarang. Tidak ada jeranya. Pelaku korupsi semakin lama semakin bertambah. Merasa hukuman itu biasa saja. Toh dipenjara juga dikasih makan dan diri'ayah dengan baik. Sedangkan dalam Islam hukumannya keras. Bisa berbentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati.
Khalifah Umar bin Khattab pernah mengambil kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah yang saat itu menjadi gubernur Syam. (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm.123). (Al Wa’ie)
Ketegasan hukuman bagi koruptor hanya bisa diperoleh dalam sistem pemerintahan Islam bukan sistem demokrasi. Butuh komitmen dan kesungguhan untuk mewujudkan sistem langit tersebut.
Wallahu a'lam.
Baca juga:

0 Comments: