Oleh. Maya Rohmah
Syaiful terbangun dari tidurnya ketika kondektur bus menggoyang-goyangkan tubuhnya.
"Sudah sampai, Mas."
Rupanya dia telah sampai terminal. Sigap diusir kantuknya yang tersisa, dia bangkit dan mengambil kardus air mineral di kolong kursi.
"Bagasi, Mas," ujarnya pada kondektur bus.
Berbekal petunjuk dalam kertas yang diberikan oleh Ardi Pramono, putra kepala desa di kampungnya, Syaiful naik angkutan kota (angkot) bernomor sekian ke sebuah perguruan tinggi.
Syaiful berkali-kali menegaskan kepada sopir tempat dia harus turun.
"Iya, Mas. Iya! Aku lho tahu kampus yang kamu maksud. Lha wong itu kampus terkenal di kota ini, kok. Se-Indonesia juga tahu kampus itu," Pak sopir kesal.
Syaiful mencicit diam. Dia tak tahu soal itu. Dia baru sekali ini bepergian jauh, sangat jauh malah untuk ukurannya. Dia berasal dari pelosok daerah yang dia yakin semua penumpang di dalam angkot ini belum mendengar namanya.
"Di sini, Mas tempatnya. Ayo turun!" Suara sopir mengagetkan Syaiful. Dengan susah payah Syaiful mengeluarkan tas besar dan kardus diiringi tatapan para penumpang angkot.
"Ngapunten, nggih, Pak, Bu, Mas, Mbak?" kata Syaiful. Sebagian penumpang hanya mengangguk. Sebagian lagi acuh tak acuh.
Akhirnya tibalah Syaiful di kampus yang dituju. Dia ingat pesan Ardi Pramono untuk bertanya ke pos satpam. Setelah itu dia menuju gedung megah di sisi kanan gerbang kampus.
Diperhatikannya mahasiswa-mahasiswa seusia Ardi Pramono yang berlalu-lalang. Yang berpapasan dengannya pun balik memerhatikan dirinya. Dia beristighfar, lupa menitipkan barang bawaannya yang banyak itu ke pos satpam tadi. Syaiful juga memerhatikan bajunya sendiri yang sudah lumayan kumal, walau itu termasuk baju bagusnya di antara baju-baju yang dia punya.
"Apa ini kampus, ya. Masa anak kampus pakaiannya begitu. Pakai rok ketat, pakai lipstik juga. Lha itu, yang di taman kampus, malah duduk deket-deketan. Apa itu kakak sama adiknya, ya? Tapi sama kakaknya kok pegangan tangan seperti itu."
Syaiful berjalan lagi. Dia terkagum-kagum dengan bangunan yang megah dan berarsitektur indah. Matanya terus mencari tulisan "Administrasi".
Setelah mengurus berbagai keperluannya di ruang administrasi, Syaiful keluar. Ardi sudah menunggunya. Dia sangat senang bertemu dengan orang yang dia kenal. Ditubruknya Ardi.
"Ya Allah. Mas Ardi, aku seneng ketemu sampeyan, Mas." Tak dipedulikannya bahasa tubuh Ardi yang agak kaku, seperti enggan dipeluk. Apa dia malu mempunyai teman sepertiku, batin Syaiful. Orang kampung. Lha, Mas Ardi juga dari kampung tapi dia sudah berpenampilan seperti orang kota. Saat berpikir demikian, segera dilepaskannya pelukannya.
"Iya, iya. Ayo, Pul. Aku antar ke kosanmu," ujar Ardi kaku. Dalam hati, Syaiful masih bersyukur Ardi Pramono mau memberikan petunjuk cara berangkat dari kampung mereka ke kampus ini. Syaiful juga bersyukur Ardi mau mencarikannya kosan dan mengantarkannya ke sana, ke tempat tinggalnya selama belajar di kampus ini.
Syaiful menjalani kehidupan kampus sebaik yang dia bisa. Selalu memerhatikan dosen dan asisten dosen yang mengajar, gesit mengerjakan tugas yang diberikan.
Dalam hal pergaulan, memang dia menemukan banyak hambatan. Banyak hal yang tak sesuai dengan prinsip hidupnya. Itu menjadikannya tak mempunyai banyak teman. Hal itu dia alihkan pada kesibukannya belajar.
Saat penat belajar dan mengerjakan tugas, dia sering berada di masjid kampus. Hanya di tempat itulah dia merasa agak setara. Meski pakaian kokonya kumal dibanding mahasiswa yang salat di sana, tetapi tak terlalu terasa. Saat sujud, baik yang berpakaian bagus maupun tidak, meletakkan keningnya di bawah. Pertanda semua sama rendahnya di hadapan sang pencipta. Hanya Allah Yang Maha Agung.
Di masjid kampus pula, Syaiful menemukan teman-teman yang mampu menerima dirinya apa adanya. Syaiful rutin ikut kajian yang diadakan di masjid kampus. Berkat kemampuan bahasa Arab yang sudah dia miliki sejak dari kampung, pemahamannya yang baik terhadap isi kitab, juga gerak dakwahnya yang lumayan, maka pada tahun kedua di kampus itu, dia dipercaya memegang satu kelompok kecil. Semuanya mahasiswa baru. Beberapa di antaranya mahasiswa yang datang dari kampung seperti dirinya. Tak tahu kehidupan kota dan dinamika kampus.
Syaiful dengan sabar mengajari para mahasiswa baru binaannya tentang Islam, juga tentang bagaimana menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus. Bergaul dengan tetap memperhatikan syarak.
Syaiful tidak ingin para mahasiswa baru tersebut dipandang rendah dan bingung seperti dirinya dulu saat awal-awal masuk.
Syaiful bertekad; dia, para mahasiswa baru, dan kakak-kakak kajiannya harus bisa mewarnai kampus dengan suasana Islami, baik pergaulan maupun pemikirannya. Dia yakin jalan ini tak mudah tetapi bukan suatu hal yang mustahil. Bukankah dalam QS. Al-Baqarah: 286, Allah berfirman bahwa Dia tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya?
TAMAT
Baca juga:

0 Comments: