Oleh. Surya Dewi
Wajah keriput itu duduk menghadap pintu yang terbuka. Matanya yang lamur membuatnya tak jelas memandang pemandangan dari jauh. Ia sudah tak tahu hari dan tanggal lagi. Yang ia tahu hari itu anaknya akan datang menemuinya melepas rindu.
Bu Maimunah memiliki enam anak, empat putra dan dua putri. Semua sudah berkeluarga sibuk dengan dunianya sendiri. Dari sopir, guru, pedagang, petani bahkan ibu rumah tangga. Semuanya sibuk dengan keluarganya masing-masing.
Setiap kali ia rindu, ia akan mendatanginya dengan membawa sebungkus kerupuk besar, masakan khasnya dan beberapa buah tangan yang ia temui di sepanjang jalan menuju rumah anaknya. Baik dengan jalan kaki, ojek, atau bahkan naik angkot.
Bayangan senyum putra putrinya atau bahkan cucunya menjadi kebahagiaan tersendiri baginya. Rasa lelah, letih, panas dan gerah karena panasnya terik matahari seakan terbayar indah dengan sikap mereka.
Bu Maimunah bahkan hafal betul dengan jadwal mereka. Sehingga ketika datang ia akan memilih hari dan jam yang tepat. Selain yang didatangi senang ia pun takkan kecewa karena tak jumpa.
Hari itu lain, kakinya sudah tak sanggup berjalan jauh. Ia tak mampu lagi mendatangi mereka. Ia hanya berharap mereka datang melepas rindu.
"Ara, sekarang jam berapa?" tanyanya pada cucu perempuannya.
"Jam delapan. Mbah kenapa duduk disini? Bukannya katanya gak enak badan," ujar Ara.
"Tidak, semuanya hari ini akan pulang. Aku mau menunggu di sini. Mungkin sejam lagi sampai," jelas Bu Maimunah.
"Memang ada yang janji kesini?"
"Untuk bertemu Ibunya yang sudah renta ini tak membutuhkan janji, Ra. Hanya butuh menyediakan waktu saja. Kelak kalau kamu sudah menikah jangan lupa temui ibumu barang sebentar."
"Apakah Ibu merindukan anaknya?"
"Dulu sewaktu kecil, jangankan meninggalkan anaknya barang sejenak. Makan pun ia sambil menggendong anaknya. Ia pastikan anaknya baik-baik saja. Memberikan yang terbaik agar nanti anak-anaknya juga menjadi anak yang baik."
Mendengar perkataan Bu Maimunah, Ara langsung menghubungi semua putra putrinya segera.
“Segera ke rumah, Ibu kangen.”
Pesan broadcast itu segera di respon anak-anaknya.
“Bukannya kami kemarin sudah kesana? Masa hari ini harus kesana lagi?” timpal salah satu anaknya.
“Maaf hari ini ada agenda lain. Kenapa dikit-dikit bilang kangennya?”
“Sepertinya belum bisa.”
Begitulah pesan-pesan anaknya. Ara tak sampai hati menyampaikannya.
"Mbah istirahat saja di dalam biar gak kedinginan, Mbah." Ara berusaha mengalihkan Bu Maimunah.
"Ibumu, belum pulang juga? Walah menjadi Ibu yang sudah tua ini berat... Mungkin mereka tidak mau bersama Ibu yang tua, sakit-sakitan, keriput, matanya kabur...bau tanah juga." Air matanya pun mengalir perlahan.
"Sabar, Mbah. Sebentar lagi Ibu pulang. Mbah tunggu saja sambil tidur. Biar gak bosen," bujuk Ara sambil merasa iba.
"Assalamualaikum...." Suara Ibu Ara memecah kesedihan Bu Maimunah. Ia mencium pipinya dan memeluk erat.
"Wa alaikumus salam warahmatullah... dari mana saja kamu? Aku ingin ditemani. Hari ini jangan kemana-mana ya. Nanti saudaramu kesini. Siapkan makanan yang enak biar mereka rindu makan disini bareng aku," titahnya pada Ibu Ara.
"Tentu saja, Bu. Sekarang Ibu istirahat di kamar ya aku buatin masakan yang spesial. Nanti makan bersama-sama, ya?"
"Jika mereka tidak kesini... aku takut mereka akan merasakan rindu yang berat setelah ini... kamu juga pasti merindukan Ibu kan?"
Pertanyaannya membuat Ara dan Ibunya bertanya-tanya maksud Bu Maimunah. Namun mereka memeluknya dengan penuh kasih sayang.
"Pasti, Bu."
"Pasti, Mbah. Kami sayang Mbah. Semua sayang, Mbah. Ya kan, Bu?"
Ibu Ara pun mengangguk.
Bu Maimunah pun masuk kamar dan istirahat. Sementara Ibu Ara memasak seperti yang dipesan Ibunya. Ara berusaha menghubungi siapa saja yang bisa datang ke rumah. Akhirnya dia pun pasrah.
Masakan sudah matang. Ibu Ara segera menghampiri Bu Maimunah. Ia membangunkannya secara perlahan dan mengajaknya makan bersama.
"Apa saudaramu semua sudah datang?"
"Kita makan dulu ya, Bu. Nanti kita makan lagi bareng-bareng, ya?"
Ia menggeleng.
"Aku mau tidur saja. Makan saja bersama Ara."
Ara menunjukkan pesan dan jawaban saudara Ibu Ara. Ibu Ara pun ikut meneteskan air mata. Ia tak tega mengatakan bahwa anak-anaknya tidak ada yang datang hari ini. Namun melihatnya tidur pulas membuat hatinya tenang. Ia segera menyantap makanan bersama Ara.
Usai makan dan cuci piring, ia kembali melihat Bu Maimunah yang terlelap.
"Hem... Lucunya Mbahmu, Ra. Tak punya gigi. Meski tidur saja kelihatan menggemaskan. Kulit keriput dan rambutnya yang putih. Masya Allah. Nanti aku kalau tua tetap cantik kayak Mbahmu gak?"
"Jangan ngobrol disini, Bu. Biarkan Mbah istirahat. Nanti kalau bangun nanyain anak-anaknya kita susah jawabnya. Bohong dosa jujur menyakiti hatinya."
Ibu Ara pun mengajak Ara membereskan rumah. Namun Ibu Ara tiba-tiba menjatuhkan vas. Biasanya Bu Maimunah akan segera terbangun. Namun aneh sepertinya terlalu lelap atau.... Ibu Ara segera menghampiri Bu Maimunah. Tubuhnya dingin. Sekujur tubuhnya penuh dengan keringat. Kulitnya pucat. Lemas dan terkulai. Ia pun menaruh jarinya pada lubang hidung Bu Maimunah.
"Ibu...." Tak percaya... ia mencari denyut nadinya. Tidak!
"Ara!!!" Panggil Ibu Ara.
"Ya, Bu." Ara mendekat.
"Cari denyut Mbahmu... Lihat Mbahmu, Ra... Bagaimana mungkin Mbahmu, Ra?"
"Ada apa, Bu?" Ara menyusuri nadi Bu Maimunah. Dari lengan, leher bahkan menempelkan kepalanya pada daerah organ jantung.
"Innalilahi wa innailaihi rojiun, Mbah sudah gak ada, Bu. Aku hubungi saudara Ibu, ya?"
"Ibu.... Ibu.... Ibu.... Gak mungkin, Ra. Tadi Ibu mau makan bersama anak-anaknya, Ra. Panggil Pakde, Bude bilang Mbah mau makan bersama. Biar Mbah bangun, Ra. Cepat!"
"Yang sabar, Bu. Doakan Mbah... Ibu harus kuat. Sekarang kita urus dulu semuanya. Aku hubungi semuanya. Ibu yang kuat."
Ibu Ara masih tak percaya. Bu Maimunah tidak sakit. Hanya mengeluh kecapekan saja. Tak mau dibawa ke dokter maupun rumah sakit. Bahkan ia pamit tidur.
Semua anaknya pun tak percaya. Semua hari itu sedang bersenang-senang. Namun tangis mereka pecah kala ia melihat Ibu yang memintanya untuk datang kembali. Ibu sudah tutup usia.
Kini tak ada lagi yang akan menelepon hanya sekedar menanyakan kabar, sedang apa, tidakkah merindukannya. Karena ia pulang kepada Penciptanya. Ia meninggalkan rindunya pada putra putrinya dengan penyesalan yang terdalam.
Doa Ibu melangit setiap kali teringat putra putrinya. Setiap ucapnya yang keramat dijaga betul demi kebaikan masa depan putra putrinya. Tak pernah terhapus rasa rindu Ibu pada putra putrinya. Maka datanglah saat ibumu merindukanmu selagi kau mampu mendatanginya. Peluk dan mintalah doa padanya sehingga terbuka segala pintu surga dunia hingga akhirat. Karena menanggung rindu pada yang sudah tiada itu berat.
Batu, 20 Desember 2022
Baca juga:

0 Comments: