Headlines
Loading...
Oleh. Ana Mujianah

"Widya, surat apa ini?" tanya Bu Prapti sambil membuka amplop putih yang tergeletak di meja. Sementara, remaja SMA yang dipanggil Widya itu bergeming tak menyahut. Gadis itu sibuk melihat-lihat aplikasi belanja warna orange di ponselnya.

"Widya!" ulang Bu Prapti dengan nada lebih tinggi hingga membuat Widya tersentak.

"Eh, i-iya, Bund. Ada apa?" Widya gelagapan.

"Ini surat apa?" selidik Bu Prapti kepada putrinya. "Kenapa Bunda dipanggil guru BP?"

"Widya nggak tahu, Bund," jawab Widya enteng sambil mengangkat kedua bahunya. Namun, sesaat kemudian mata gadis remaja itu membulat sempurna, cemas karena teringat sesuatu. 

"Waduuh!" Gadis itu menepuk jidatnya. "Bunda bisa marah besar. Gimana, nih." Widya mondar-mandir seperti setrikaan. Panik karena beberapa hari lalu ia dipanggil Bu Wirna, guru bimbingan konseling. Widya kepergok menerima coklat dari Zaky, teman sekelasnya.

"Kira-kira Bu Wirna mau ngomong apa ya sama Bunda?" 

"Kenapa juga aku terima coklat itu ya. Ah, semua gara-gara Linda yang suka jodoh-jodohin aku sama Zaky. Jadinya Zaky ge-er, deh." Widya memukul-mukul kepalanya kesal.

Widya bersekolah di sebuah Sekolah Islam Terpadu yang sangat menjaga pergaulan para siswa siswinya. Selain memberikan edukasi, sekolah tersebut juga menerapkan sanksi mendidik bagi siswa siswinya yang ketahuan pacaran atau hal-hal yang mengarah pada pergaulan bebas. Meski hal itu mungkin dianggap sepele seperti nongkrong bareng laki-laki perempuan di kantin atau sekedar memberi coklat seperti yang dilakukan Zaky.

"Maafin Widya Ya Allah," lirih Widya sambil memejamkan mata. Berharap dalam kepasrahan semoga ia besok tidak mendapat SP 1. Remaja itu tahu betul konsekuensinya jika sampai mendapat SP 3, dia bisa dikeluarkan. Bayangan kekecewaan pada raut ayah bundanya segera menghantui.

Widya kembali mondar-mandir galau di kamarnya. "Apa aku jujur aja ya sama Bunda?" 

"Bund, ...." Widya akhirnya memutuskan untuk menghampiri sang bunda di ruang tengah. 

"Bund, ...." ulang Widya ragu-ragu. Bu Prapti masih belum fokus dengan kehadiran si sulung karena sedang mengajari Aldi, adeknya Widya, belajar matematika. Widya berinisiatif duduk di samping bundanya.

"Maafin Widya, Bund." Bu Prapti segera menoleh, menatap Widya heran. Begitupun Aldi.

"Ada apa?" tanya Bu Prati masih dalam keheranannya. 'Tumben-tumbenan nih anak bicara lembut, biasanya kalau nggak teriak sambil marah-marah,' batin Bu Prapti.

"Bunda janji jangan marah, ya. Ini semua bukan salah Widya, Bund." Bu Prapti tak menjawab hanya menatap putrinya penuh tanda tanya. 'Kenapa nih anak, nggak ada angin nggak ada hujan,' batin Bu Prapti lagi.

"Kamu cerita dulu ke Bunda, ada apa?"

"Ini semua gara-gara Zaky, Bund!" Bu Prapti menaikkan alisnya. "Kenapa dengan Zaky?" tanyanya penasaran.

"Kemaren ... kemaren, Zaky ngasih coklat ke Widya, Bund. Nah, pas dia ngasih, Bu Wirna lewat." Suara Widya semakin pelan.

"Terus?" desak Bu Prapti.

"Ya, kita berdua dipanggillah ke ruang BP!" jawab Widya cemberut. "Kata Bu Wirna besok orang tua kalian suruh ke sekolah. Sambil ngasih surat itu." Widya menaikkan alisnya menunjuk amplop putih yang tergeletak di meja.

"Bu Wirna tuh ngira Widya sama Zaky pacaran, Bund. Padahal baru sekali itu Zaky ngasih coklat. Tapi, Bu Wirna nggak percaya," kilah Widya membela diri.

"Padahal, beneran deh Bund, sumpah nggak ada apa-apa antara Widya sama Zaky. Suer!" Widya sampai mengangkat dua jari kanannya untuk meyakinkan sang bunda.

"Kakak bohong, Bund. Kemaren Aldi lihat Kakak naik mobil Mas Zaky, Bund," sahut Aldi membuat hati Bu Prapti panas dingin. Namun wanita itu berusaha tetap tenang. Kalau dia reaktif, nanti Widya nggak mau cerita lagi padanya.

"Widya nggak berduaan sama Zaky, Bund. Ada Linda dan Pak Mamat juga di sana." Widya melotot kesal ke arah Aldi.

"Yakin? Widya nggak ada perasaan suka sama Zaky?" 

"Hm, dikit sih," jawab Widya tersenyum malu-malu.

"Apa yang membuat Widya suka sama Zaky?" Bu Prapti berusaha mengorek apa yang sebenarnya sedang terjadi terhadap putrinya. Sesaat tadi, beliau baru menyadari bahwa putrinya sedang dalam masa puber. Maka, Bu Prapti harus ekstra hati-hati.

"Zaky itu anaknya pinter, baik, ngajinya bagus, terus dia juga cakep. Siapa sih yang nggak suka, Bund?" jawab Widya dengan polosnya. Sekali lagi Bu Prapti hanya bisa menghela napas dalam.

"Widya, ...." panggil Bu Prapti sambil menggenggam tangan putrinya.

"Rasa suka pada lawan jenis itu memang fitrah, Nak. Kalau suka sesama jenis, itu baru musibah." 

"Tapi, rasa suka itu kan nggak mesti harus diekpresikan, apalagi kalau belum halal. Alih-alih dapat pahala yang ada justru menumpuk dosa."

"Kalau mau halal, ya berarti nikah dulu dong, Bund," timpal Widya.

"Ya, iya, menikah. Widya siap ayah nikahin sama Zaky?" goda Bu Prapti.

"Ih, Widya kan masih pengen sekolah, Bund! Masak disuruh nikah!" sahutnya dengan cemberut.

"Nah, makanya, kalau nggak mau disuruh nikah mulai sekarang Widya harus jaga jarak sama Zaky. Boleh mengobrol tapi untuk keperluan yang penting saja dan nggak boleh berduaan." 

"Dan, nggak usah pake acara ngasih-ngasih coklat segala. Daripada buat beli coklat mahal, mending uangnya diinfakkan saja ke masjid atau ke adek-adek pemulung." Widya manggut-manggut mendengar penuturan sang bunda.

"Iya Bund, Widya janji nggak akan jaga jarak sama Zaky," jawab Widya dengan wajah menunduk.

"Besok ... kalau Bunda ketemu Bu Wirna tolong bantu jelasin ya, Bund. Widya nggak mau dapat SP 1, Bund. Please" mohon Widya sambil menangkup kedua tangannya.

"Kalau urusan dengan Bu Wirna ... ya terserah Bu Wirna." 

"Kalau Widya harus dapat SP 1, berarti ini pelajaran buat Widya. Jangan diulangi lagi. Itu baru SP dari Bu Wirna, belum dari Allah," tegas Bu Prapti agar putrinya bisa belajar dari kesalahannya. Sementara, Widya hanya bisa mematung sedih dan pasrah atas kekhilafannya.

TAMAT

Baca juga:

0 Comments: